Kejagung Diminta Tegas Respons Kasus Jiwasraya
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSPBB) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) segera menangkap sejumlah mafia pasar modal, terkait dugaan kasus pembobolan investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merugikan negara hingga Rp13,7 T.
Sekretaris Jendral FSPPB, Tri Sasono meyakini di dalam kepemilikan saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) dan PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP) yang dikelola Heru Hidayat, terdapat indikasi fraud dengan modus transaksi jual-beli saham dengan harga yang tidak wajar.
(Baca juga: Kejagung Terancam Dipraperadilankan Jika Tak Tetapkan Tersangka Kasus Jiwasraya)
Motifnya, direksi lama Jiwasraya di era Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo memborong saham TRAM dan IIKP dengan harga yang tinggi, namun selang beberapa bulan dua saham tadi jatuh dengan nilai yang sangat rendah.
Untuk menyembunyikan transaksi ini katanya, manajemen lama Jiwasraya kemudian menempatkan sebagian saham TRAM dan IIKP dalam bentuk reksadana saham melalui penunjukkan sejumlah manajer investasi.
"Kalaupun saham tersebut harganya naik juga bukan akibat kinerja bisnis perusahan. Tetapi akibat goreng-menggoreng saham," kata Tri Sasono di Jakarta, Rabu (8/1/2019).
Berdasarkan laporan kepemilikan efek di atas 5 persen yang dirilis PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Jiwasraya diketahui mengantongi 5,37 persen saham TRAM dengan total investasi sekitar Rp760 miliar pada Mei 2013. Harga saham TRAM saat itu masih berkisar Rp1.300 per lembar.
Kemudian per 7 April 2014, laporan KSEI menyatakan kepemilikan Jiwasraya atas saham TRAM naik menjadi 5,87 persen atau senilai Rp571,4 miliar.
Saham TRAM pernah berada di posisi tertinggi Rp1.885 pada Mei 2014. Padahal saat itu, perusahaan pelayaran yang dulunya bernama PT Trada Maritime ini belum terlepas dari utang seusai kebakaran tanker FSO Lentera pada 2011.
Peristiwa itu menjadikan aset tetap perusahaan anjlok sepanjang 2012 hingga 2014. Tak lama berselang, pada 6 Juni 2014, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan saham TRAM untuk mencegah transaksi tidak wajar setelah munculnya kabar penyelundupan minyak oleh kapal TRAM.
"Aksi goreng-menggoreng saham ini pun sejalan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoal penyebab gagal bayar Jiwasraya diantaranya karena penempatan portofolio yang mengabaikan prinsip kehati-hatian bisnis," ungkapnya.
Selain pembelian saham berkualitas rendah yang kemudian disembunyikan di reksadana saham, pada 2006 BPK juga pernah memberi peringatan kepada manajemen Jiwasraya atas pembelian medium term note (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX) milik Benny Tjokrosaputro.
Berangkat dari temuan ini, Tri Sasono pun mendesak Kejagung segera menangkap direksi lama dan mafia pasar modal.
"BPK juga menyebut investasi Jiwasraya di instrumen reksadana tak jauh berbeda. Jiwasraya membeli produk reksa dana dengan underlying saham kinerja buruk. Salah satu saham yang menjadi sorotan BPK adalah saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP)," tegasnya.
Saat ini, saham perusahaan perikanan, perdagangan, industri, dan perkebunan itu tak bergerak di posisi Rp50 per saham. Dalam lima tahun terakhir, sahamnya turun 58,33 persen. "Artinya sudah cukup bukti dari hasil audit BPK," tutup Tri Sasono.
Sekretaris Jendral FSPPB, Tri Sasono meyakini di dalam kepemilikan saham PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) dan PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP) yang dikelola Heru Hidayat, terdapat indikasi fraud dengan modus transaksi jual-beli saham dengan harga yang tidak wajar.
(Baca juga: Kejagung Terancam Dipraperadilankan Jika Tak Tetapkan Tersangka Kasus Jiwasraya)
Motifnya, direksi lama Jiwasraya di era Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo memborong saham TRAM dan IIKP dengan harga yang tinggi, namun selang beberapa bulan dua saham tadi jatuh dengan nilai yang sangat rendah.
Untuk menyembunyikan transaksi ini katanya, manajemen lama Jiwasraya kemudian menempatkan sebagian saham TRAM dan IIKP dalam bentuk reksadana saham melalui penunjukkan sejumlah manajer investasi.
"Kalaupun saham tersebut harganya naik juga bukan akibat kinerja bisnis perusahan. Tetapi akibat goreng-menggoreng saham," kata Tri Sasono di Jakarta, Rabu (8/1/2019).
Berdasarkan laporan kepemilikan efek di atas 5 persen yang dirilis PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Jiwasraya diketahui mengantongi 5,37 persen saham TRAM dengan total investasi sekitar Rp760 miliar pada Mei 2013. Harga saham TRAM saat itu masih berkisar Rp1.300 per lembar.
Kemudian per 7 April 2014, laporan KSEI menyatakan kepemilikan Jiwasraya atas saham TRAM naik menjadi 5,87 persen atau senilai Rp571,4 miliar.
Saham TRAM pernah berada di posisi tertinggi Rp1.885 pada Mei 2014. Padahal saat itu, perusahaan pelayaran yang dulunya bernama PT Trada Maritime ini belum terlepas dari utang seusai kebakaran tanker FSO Lentera pada 2011.
Peristiwa itu menjadikan aset tetap perusahaan anjlok sepanjang 2012 hingga 2014. Tak lama berselang, pada 6 Juni 2014, Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan saham TRAM untuk mencegah transaksi tidak wajar setelah munculnya kabar penyelundupan minyak oleh kapal TRAM.
"Aksi goreng-menggoreng saham ini pun sejalan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoal penyebab gagal bayar Jiwasraya diantaranya karena penempatan portofolio yang mengabaikan prinsip kehati-hatian bisnis," ungkapnya.
Selain pembelian saham berkualitas rendah yang kemudian disembunyikan di reksadana saham, pada 2006 BPK juga pernah memberi peringatan kepada manajemen Jiwasraya atas pembelian medium term note (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX) milik Benny Tjokrosaputro.
Berangkat dari temuan ini, Tri Sasono pun mendesak Kejagung segera menangkap direksi lama dan mafia pasar modal.
"BPK juga menyebut investasi Jiwasraya di instrumen reksadana tak jauh berbeda. Jiwasraya membeli produk reksa dana dengan underlying saham kinerja buruk. Salah satu saham yang menjadi sorotan BPK adalah saham PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP)," tegasnya.
Saat ini, saham perusahaan perikanan, perdagangan, industri, dan perkebunan itu tak bergerak di posisi Rp50 per saham. Dalam lima tahun terakhir, sahamnya turun 58,33 persen. "Artinya sudah cukup bukti dari hasil audit BPK," tutup Tri Sasono.
(maf)