Permanen dan Berkesinambungan
A
A
A
SUATU hari, seorang pejabat mengatakan bahwa untuk membangun atau mengatasi persoalan di Ibu Kota tidak perlu konsep baru. Sang pejabat mengatakan bahwa sudah banyak konsep yang komprehensif dari para ahli. Yang dibutuhkan adalah bagaimana mengeksekusi konsep tersebut. Persoalan banjir hingga kemacetan di DKI Jakarta telah banyak dilakukan kajian hingga solusinya. Kajian dan konsep tersebut hasil dari para ahli dari universitas-universitas ternama di Indonesia.
Entah pernyataan itu benar atau tidak. Namun jika melihat persoalan yang terus menghantui DKI Jakarta sejak puluhan yang lalu, diyakini pernyataan itu benar. Toh juga tidak benar alias belum ada, mungkin saat ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, bisa mengajak ahli tata kota di Indonesia untuk melakukan kajian untuk merumuskan konsep yang bisa menjadi solusi persoalan DKI Jakarta. Melihat rumitnya persoalan di DKI Jakarta, tentu butuh waktu yang lama. Bahkan mungkin seorang gubernur yang memimpin selama dua periode atau 10 tahun belum tentu bisa.
Dua persoalan di DKI Jakarta yang selalu jadi isu menarik media massa tersebut hingga sekarang masih saja menghantui. Hingga sekarang belum ada solusi yang permanen dan berkesinambungan. Bisa jadi keputusan pemerintah pusat memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur sebagai solusi. Solusi di mana di tempat yang saat ini tidak bisa dilakukan solusi secara permanen. Seolah bermain lego, tidak bisa menyambung kepingan-kepingan lego, atau bahkan malah berantakan, akhirnya memilih menyusun lego yang baru.
Kejadian banjir di DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, dan daerah lainnya adalah bukti bahwa belum ada solusi yang permanen dan berkesinambungan. Memang bisa jadi tiap tahun banjir akan selalu ada. Namun, belum bisa mengurangi dampak dari kejadian tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun, dampak dari banjir tersebut bagai roller coaster yang naik dan turun sangat tajam. Ini menunjukkan belum ada solusi permanen dan berkesinambungan dalam mengatasi persoalan yang jelas-jelas tiap tahun ada. Setali tiga uang dengan kemacetan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Selain dapat dilihat dampak yang seperti roller coaster , ciri lain dari tidak mempunyai solusi permanen dan berkesinambungan adalah saling silang pendapat atau bahkan saling menyalahkan antarpemangku kebijakan.
Ini tentu bukan manajemen yang baik. Manajemen yang baik adalah perencanaan yang matang dan eksekusi yang baik. Perencanaan didasarkan dengan analisis internal dan eksternal, sedangkan eksekusi didasarkan pada kemauan dan kapabilitas. Dan, ini bagaikan lingkaran karena setelah eksekusi perlu ada evaluasi hingga kembali lagi ke perencanaan. Manajemen yang tidak baik tentu merugikan masyarakat yang semestinya menjadi stakeholder utama dalam sebuah kawasan. Poinnya adalah perlu ada solusi permanen dan berkesinambungan dalam mencari solusi bagi dua masalah besar di DKI Jakarta dan sekitarnya tersebut. Tentu harus adalah penyelesaian komprehensif jika melihat persoalan banjir dan macet.
Hal yang sederhana untuk mencari solusi tentang banjir adalah berseliweran analisis persoalan dan solusi terhadap persoalan ini. Contoh yang mungkin telah tersebut melalui media sosial atau lainnya adalah bagaimana konsep pencegahan di kawasan hulu (Bogor) dibantu penyangga lainnya seperti Depok dan Cileungsi, dan bagaimana mengatasi di kawasan hilir atau DKI Jakarta. Analisis tentang kondisi kawasan telah dilakukan cukup baik. Misalnya pencegahan kawasan hulu dengan cara mengurangi air meluncur ke hilir dengan bendungan, embung, atau kawasan hijau (hutan), sedangkan di kawasan hilir bagaimana membuat air yang sudah masuk segera dialirkan ke laut.
Gambaran umum yang mungkin bisa menjadi batu loncatan untuk mencari solusi yang lebih komprehensif. Itu pun jika konsep solusi persoalan belum ada. Jika sudah ada, tentu tinggal melakukan eksekusi. Nah , tentu hal lain agar ada solusi permanen dan berkesinambungan adalah menjauhkan dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, apalagi kepentingan politik. Hal ini yang tampaknya menjadi kekhawatiran banyak pihak bahwa pemangku-pemangku jabatan di pusat dan daerah lebih mengedepankan narasi kepentingan politik kelompok dibandingkan kepentingan rakyat. Jika ini benar maka DKI Jakarta dan daerah lainnya akan menghadapi persoalan yang sama setiap tahun. Banjir dan kemacetan.
Entah pernyataan itu benar atau tidak. Namun jika melihat persoalan yang terus menghantui DKI Jakarta sejak puluhan yang lalu, diyakini pernyataan itu benar. Toh juga tidak benar alias belum ada, mungkin saat ini pemerintah, baik pusat maupun daerah, bisa mengajak ahli tata kota di Indonesia untuk melakukan kajian untuk merumuskan konsep yang bisa menjadi solusi persoalan DKI Jakarta. Melihat rumitnya persoalan di DKI Jakarta, tentu butuh waktu yang lama. Bahkan mungkin seorang gubernur yang memimpin selama dua periode atau 10 tahun belum tentu bisa.
Dua persoalan di DKI Jakarta yang selalu jadi isu menarik media massa tersebut hingga sekarang masih saja menghantui. Hingga sekarang belum ada solusi yang permanen dan berkesinambungan. Bisa jadi keputusan pemerintah pusat memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur sebagai solusi. Solusi di mana di tempat yang saat ini tidak bisa dilakukan solusi secara permanen. Seolah bermain lego, tidak bisa menyambung kepingan-kepingan lego, atau bahkan malah berantakan, akhirnya memilih menyusun lego yang baru.
Kejadian banjir di DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor, dan daerah lainnya adalah bukti bahwa belum ada solusi yang permanen dan berkesinambungan. Memang bisa jadi tiap tahun banjir akan selalu ada. Namun, belum bisa mengurangi dampak dari kejadian tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun, dampak dari banjir tersebut bagai roller coaster yang naik dan turun sangat tajam. Ini menunjukkan belum ada solusi permanen dan berkesinambungan dalam mengatasi persoalan yang jelas-jelas tiap tahun ada. Setali tiga uang dengan kemacetan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Selain dapat dilihat dampak yang seperti roller coaster , ciri lain dari tidak mempunyai solusi permanen dan berkesinambungan adalah saling silang pendapat atau bahkan saling menyalahkan antarpemangku kebijakan.
Ini tentu bukan manajemen yang baik. Manajemen yang baik adalah perencanaan yang matang dan eksekusi yang baik. Perencanaan didasarkan dengan analisis internal dan eksternal, sedangkan eksekusi didasarkan pada kemauan dan kapabilitas. Dan, ini bagaikan lingkaran karena setelah eksekusi perlu ada evaluasi hingga kembali lagi ke perencanaan. Manajemen yang tidak baik tentu merugikan masyarakat yang semestinya menjadi stakeholder utama dalam sebuah kawasan. Poinnya adalah perlu ada solusi permanen dan berkesinambungan dalam mencari solusi bagi dua masalah besar di DKI Jakarta dan sekitarnya tersebut. Tentu harus adalah penyelesaian komprehensif jika melihat persoalan banjir dan macet.
Hal yang sederhana untuk mencari solusi tentang banjir adalah berseliweran analisis persoalan dan solusi terhadap persoalan ini. Contoh yang mungkin telah tersebut melalui media sosial atau lainnya adalah bagaimana konsep pencegahan di kawasan hulu (Bogor) dibantu penyangga lainnya seperti Depok dan Cileungsi, dan bagaimana mengatasi di kawasan hilir atau DKI Jakarta. Analisis tentang kondisi kawasan telah dilakukan cukup baik. Misalnya pencegahan kawasan hulu dengan cara mengurangi air meluncur ke hilir dengan bendungan, embung, atau kawasan hijau (hutan), sedangkan di kawasan hilir bagaimana membuat air yang sudah masuk segera dialirkan ke laut.
Gambaran umum yang mungkin bisa menjadi batu loncatan untuk mencari solusi yang lebih komprehensif. Itu pun jika konsep solusi persoalan belum ada. Jika sudah ada, tentu tinggal melakukan eksekusi. Nah , tentu hal lain agar ada solusi permanen dan berkesinambungan adalah menjauhkan dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, apalagi kepentingan politik. Hal ini yang tampaknya menjadi kekhawatiran banyak pihak bahwa pemangku-pemangku jabatan di pusat dan daerah lebih mengedepankan narasi kepentingan politik kelompok dibandingkan kepentingan rakyat. Jika ini benar maka DKI Jakarta dan daerah lainnya akan menghadapi persoalan yang sama setiap tahun. Banjir dan kemacetan.
(cip)