TV Kabel Tanpa Hak Siar Divonis Bersalah, APMI: Patuhi Regulasi!
A
A
A
JAKARTA - Pemilik Local Cable Operator (LCO) PT Bintang Kejora diputus bersalah oleh PN Ternate, Maluku Utara terkait dengan redistribusi Piala Dunia tanpa Hak Siar dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan denda sebesar Rp1 miliar subsidair 3 bulan kurungan.
Vonis tersebut dibacakan pada sidang majelis Hakim PN Ternate, Selasa (17/12) yang dipimpin oleh Nova Loura Sasube. Hakim memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana melakukan pelanggaran ekonomi yang dimaksudkan dalam Pasal 25 ayat (2), melanggar pasal 118 ayat (1) UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Putusan tersebut mendapat apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Kementerian Hukum dan HAM menegaskan, putusan pengadilan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 25 ayat 2 UU no 28 tahun 2014 ttg hak cipta, yaitu terbukti adanya pelanggaran atas hak ekonomi lembaga penyiaran dalam bentuk menyiarkan ulang sebuah karya siaran.
"Dengan adanya sangsi hukuman bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas karya siaran maka hal ini dapat menjadikan pembelajaran untuk pihak-pihak lainnya agar berhati-hati dalam melakukan penyiaran ulang karya siaran, untuk terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemegang hak," kata Kasubdit Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Direktorat Hak Cipta & Desain Industri, Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Agung Damarsasongko, di Jakarta, Kamis (26/12/2019).
Di Indonesia, pembajakan hak siar memang masih menjadi masalah dan merugikan pemegang hak siar dan juga merugikan masyarakat karena membeli produk ilegal. Praktik Pembajakan Hak Siar oleh LCO dengan melakukan redistribusi dan komersialisasi.
"Saya menyarankan agar pihak pihak yang melakukan pemanfaatan atau penggunaan karya cipta secara komersial untuk dapat terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemegang hak dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan," tandasnya.
Penyelenggaraan penyiaran sendiri sangat erat kaitannya dengan Hak Siar. Terdapat tiga regulasi yang memayunginya yaitu UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, UU HKI 28 Tahun 2014 dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelanggaran terkait dengan redistribusi dan komersialisai tanpa izin dari pemilik content (tanpa Hak Siar) merupakan pelanggaran berat dan berlapis serta hukuman pidana penjara diatas dari 5 tahun.
Senada, Ketua Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI) Ade Tjendra mengingatkan Pasal 25 ayat 3 UU HKI No. 28 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.
"Kita berharap semua stakeholder penyiaran yang terlibat baik penyelenggara maupun masyarakat sendiri harus bersama-sama mematuhi regulasi yang berlaku dan oleh karena itu, mari kita bersama-sama memajukan Industri Penyiaran di Indonesia dengan kompetisi yang sehat," ujar Ade.
Untuk masyarakat, APMI menghimbau untuk lebih berhati-hati dalam memilih operator TV berlangganan baik melalui satelit atau kabel untuk menikmati tayangan program siaran di TV Berlangganan.
Adapun Yohanes Yudistira mewakili K-Vision mengatakan, Direktur dari PT Bintang Kejora telah mengambil dan menyiarkan salah satu konten K-Vision tanpa izin. Walau pun yang bersangkutan tidak mengambil langsung dari receiver, melainkan mengambil dari satelit. Konten yang diambil dan ditayangkan itu yang akhirnya pihaknya mempolemikan, sebab konten itu merupakan hak eksklusif dari K-Vision.
“Jadi, mau diambil dari manapun dan kemudian didistribusikan tanpa izin, maka itu akan menjadi masalah hukum. Apalagi kita tahu setiap konten pasti punya pemiliknya,” ujarnya. Diungkapkan pula, banyak pemilik TV Kabel tidak minta izin meredistribusi konten.
Yohanes mengatakan, bukan suatu masalah jika pelanggan sekadar membeli voucher yang telah disediakan secara resmi oleh pihaknya. Misalnya mau membeli voucheruntuk bola, film, musik/dangdut, atau voucher berita dan lain-lain untuk digunakan di rumah.
Namun, jika konten itu kemudian dikomersilkan/di distribusikan ke rumah-murah melalui kabel, seperti yang dilakukan oleh pengusaha TV Kabel, maka wajib hukumnya mengurusi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari Kemenkominfo. Dan, selanjutnya bekerja sama dengan pihaknya selaku penyedia konten atau pemilik hak eksklusif atas konten tersebut, supaya dapat memberikan izin terhadap pengusaha TV Kabel dalam meredistribusi konten.
“Jika pendistribusiannya dilakukan tanpa izin, ini termasuk kegiatan illegal, dalam istilahnya disebut pembajakan atau Piracy (pencurian Konten) dengan menyebarluaskan konten yang bukan milik Tv Kabel,” urainya.
Pihaknya juga sangat terbuka untuk peluang kerja dan bisnis saling menguntungkan antar pemilik TV kabel dengan penyedia konten (K-Vision atau MNC Vision) dan mengupayakan menyediakan konten sebaik mungkin untuk kemudian didistribusi melalui TV Kabel dengan model kerjasama atau izin penyiaran konten.
Vonis tersebut dibacakan pada sidang majelis Hakim PN Ternate, Selasa (17/12) yang dipimpin oleh Nova Loura Sasube. Hakim memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana melakukan pelanggaran ekonomi yang dimaksudkan dalam Pasal 25 ayat (2), melanggar pasal 118 ayat (1) UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Putusan tersebut mendapat apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak. Kementerian Hukum dan HAM menegaskan, putusan pengadilan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 25 ayat 2 UU no 28 tahun 2014 ttg hak cipta, yaitu terbukti adanya pelanggaran atas hak ekonomi lembaga penyiaran dalam bentuk menyiarkan ulang sebuah karya siaran.
"Dengan adanya sangsi hukuman bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas karya siaran maka hal ini dapat menjadikan pembelajaran untuk pihak-pihak lainnya agar berhati-hati dalam melakukan penyiaran ulang karya siaran, untuk terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemegang hak," kata Kasubdit Pelayanan Hukum dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Direktorat Hak Cipta & Desain Industri, Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, Agung Damarsasongko, di Jakarta, Kamis (26/12/2019).
Di Indonesia, pembajakan hak siar memang masih menjadi masalah dan merugikan pemegang hak siar dan juga merugikan masyarakat karena membeli produk ilegal. Praktik Pembajakan Hak Siar oleh LCO dengan melakukan redistribusi dan komersialisasi.
"Saya menyarankan agar pihak pihak yang melakukan pemanfaatan atau penggunaan karya cipta secara komersial untuk dapat terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemegang hak dengan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan," tandasnya.
Penyelenggaraan penyiaran sendiri sangat erat kaitannya dengan Hak Siar. Terdapat tiga regulasi yang memayunginya yaitu UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, UU HKI 28 Tahun 2014 dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelanggaran terkait dengan redistribusi dan komersialisai tanpa izin dari pemilik content (tanpa Hak Siar) merupakan pelanggaran berat dan berlapis serta hukuman pidana penjara diatas dari 5 tahun.
Senada, Ketua Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI) Ade Tjendra mengingatkan Pasal 25 ayat 3 UU HKI No. 28 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.
"Kita berharap semua stakeholder penyiaran yang terlibat baik penyelenggara maupun masyarakat sendiri harus bersama-sama mematuhi regulasi yang berlaku dan oleh karena itu, mari kita bersama-sama memajukan Industri Penyiaran di Indonesia dengan kompetisi yang sehat," ujar Ade.
Untuk masyarakat, APMI menghimbau untuk lebih berhati-hati dalam memilih operator TV berlangganan baik melalui satelit atau kabel untuk menikmati tayangan program siaran di TV Berlangganan.
Adapun Yohanes Yudistira mewakili K-Vision mengatakan, Direktur dari PT Bintang Kejora telah mengambil dan menyiarkan salah satu konten K-Vision tanpa izin. Walau pun yang bersangkutan tidak mengambil langsung dari receiver, melainkan mengambil dari satelit. Konten yang diambil dan ditayangkan itu yang akhirnya pihaknya mempolemikan, sebab konten itu merupakan hak eksklusif dari K-Vision.
“Jadi, mau diambil dari manapun dan kemudian didistribusikan tanpa izin, maka itu akan menjadi masalah hukum. Apalagi kita tahu setiap konten pasti punya pemiliknya,” ujarnya. Diungkapkan pula, banyak pemilik TV Kabel tidak minta izin meredistribusi konten.
Yohanes mengatakan, bukan suatu masalah jika pelanggan sekadar membeli voucher yang telah disediakan secara resmi oleh pihaknya. Misalnya mau membeli voucheruntuk bola, film, musik/dangdut, atau voucher berita dan lain-lain untuk digunakan di rumah.
Namun, jika konten itu kemudian dikomersilkan/di distribusikan ke rumah-murah melalui kabel, seperti yang dilakukan oleh pengusaha TV Kabel, maka wajib hukumnya mengurusi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari Kemenkominfo. Dan, selanjutnya bekerja sama dengan pihaknya selaku penyedia konten atau pemilik hak eksklusif atas konten tersebut, supaya dapat memberikan izin terhadap pengusaha TV Kabel dalam meredistribusi konten.
“Jika pendistribusiannya dilakukan tanpa izin, ini termasuk kegiatan illegal, dalam istilahnya disebut pembajakan atau Piracy (pencurian Konten) dengan menyebarluaskan konten yang bukan milik Tv Kabel,” urainya.
Pihaknya juga sangat terbuka untuk peluang kerja dan bisnis saling menguntungkan antar pemilik TV kabel dengan penyedia konten (K-Vision atau MNC Vision) dan mengupayakan menyediakan konten sebaik mungkin untuk kemudian didistribusi melalui TV Kabel dengan model kerjasama atau izin penyiaran konten.
(zil)