Penjelasan PBNU Terkait Natal
A
A
A
JAKARTA - Ucapan selamat Natal bagi umat Islam kepada umat Nasrani kembali menjadi polemik. Apalagi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pada Jumat (20/12/2019) lalu, mengeluarkan imbauan bagi umat Muslim untuk tidak mengucapkan selamat bagi mereka yang melakukan perayaan Natal.
Lantas seperti apa pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait polemik ucapan Natal ini? Ketua Tanfidziah PBNU Robikin Emhas mengatakan, ada dua hal yang perlu ditekankan dalam konteks ini.
Pertama soal prinsip kebhinekaan. Menurutnya, dalam konsep kebhinekaan yang menjadi pilar kebangsaan, kemajemukan dalam masyarakat justru menjadi sumber kekuatan utama bangsa Indonesia. "Ini dulu frame dasar yang harus kita insyafi," tutur Robikin dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (21/12/2019).
Kedua, terkait prinsip toleransi. Dikatakan Robikin, hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, serta saling menghargai.
"Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi," urainya.
Menurutnya, belajar dari sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia.
"Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa," papar Staf Khusus Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin ini.
Dikatakan Robikin, sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia karena toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran Islam. "Islam mengenal konsep tasamuh yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi," tuturnya.
Secara umum sebagai sebuah ajaran, papar Robikin, sikap toleran itu ada penjelasan dan petunjuknya. Menurutnya, dalam hidup bermasyarakat, orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu, bagiamana bersikap lemah lembut itu, agama telah memberikan panduannya.
"Nah, dari sini saya ingin masuk ke pertanyaan seputar Natal. Begini, prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi saya kira jelas. Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah tidak boleh kita pertukarkan," urainya.
Robikin pun bercerita bahwa dulu suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi Muhammad SAW. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi.
Mereka berkata, "Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu, dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya."
"Maka turunlah ayat, “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya. Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya," katanya.
Terkait ucapan Natal, kata Robikin, para ulama memiliki beberapa pendapat. Ada yang melarang karena khawatir mengganggu akidah, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan Natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah.
"Sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa, itu dimensinya ukhuwah wathaniyah. Kalau dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan Natal saya kira tidak mengganggu akidah kita," tuturnya.
Dalam konteks ini, kata Robikin, dirinya setuju pendapat ulama asal Mesir, Syekh Yusuf Qaradhawi. "Pendapat beliau, boleh atau tidaknya ucapan selamat Natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang nasrani, maka tidak masalah. Indonesia kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan Natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa AS sebagai rasul," katanya.
"Nah, dengan panduan dan batasan seperti itu, kata Robikin, apakah momentum Natal bisa menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan kita? Saya jawab pasti. Akan tetapi tentu tidak sebatas ucapan selamat Natal ya," tambahnya.
Karena itu, dirinya lebih setuju dan mengimbau kepada semua semua pemeluk agama di Indonesia bahwa jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama di antara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antarumat.
"Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan?Salam," pungkasnya.
Lantas seperti apa pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait polemik ucapan Natal ini? Ketua Tanfidziah PBNU Robikin Emhas mengatakan, ada dua hal yang perlu ditekankan dalam konteks ini.
Pertama soal prinsip kebhinekaan. Menurutnya, dalam konsep kebhinekaan yang menjadi pilar kebangsaan, kemajemukan dalam masyarakat justru menjadi sumber kekuatan utama bangsa Indonesia. "Ini dulu frame dasar yang harus kita insyafi," tutur Robikin dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (21/12/2019).
Kedua, terkait prinsip toleransi. Dikatakan Robikin, hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, serta saling menghargai.
"Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi," urainya.
Menurutnya, belajar dari sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa Indonesia, bisa dikatakan bahwa toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia.
"Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika. Berpuluh bahkan beratus tahun sebelum Indonesia merdeka, bangsa kita sudah beragam suku, budaya, dan agamanya. Tetapi para leluhur kita bisa hidup rukun, damai, dan saling welas asih sebagai sesama anak bangsa," papar Staf Khusus Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin ini.
Dikatakan Robikin, sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia karena toleransi sesungguhnya juga bagian inheren dari ajaran Islam. "Islam mengenal konsep tasamuh yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi," tuturnya.
Secara umum sebagai sebuah ajaran, papar Robikin, sikap toleran itu ada penjelasan dan petunjuknya. Menurutnya, dalam hidup bermasyarakat, orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan seterusnya. Tetapi bagaimana berlaku baik itu, bagiamana bersikap lemah lembut itu, agama telah memberikan panduannya.
"Nah, dari sini saya ingin masuk ke pertanyaan seputar Natal. Begini, prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi saya kira jelas. Lakum diinukum wa liya diin. Bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Kalau sudah menyangkut akidah tidak boleh kita pertukarkan," urainya.
Robikin pun bercerita bahwa dulu suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi Muhammad SAW. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi.
Mereka berkata, "Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu, dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya."
"Maka turunlah ayat, “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya. Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya," katanya.
Terkait ucapan Natal, kata Robikin, para ulama memiliki beberapa pendapat. Ada yang melarang karena khawatir mengganggu akidah, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan Natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah.
"Sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa, itu dimensinya ukhuwah wathaniyah. Kalau dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan Natal saya kira tidak mengganggu akidah kita," tuturnya.
Dalam konteks ini, kata Robikin, dirinya setuju pendapat ulama asal Mesir, Syekh Yusuf Qaradhawi. "Pendapat beliau, boleh atau tidaknya ucapan selamat Natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang nasrani, maka tidak masalah. Indonesia kita ini kan negara majemuk. Apalagi ucapan Natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa AS sebagai rasul," katanya.
"Nah, dengan panduan dan batasan seperti itu, kata Robikin, apakah momentum Natal bisa menjadi ajang untuk mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan kita? Saya jawab pasti. Akan tetapi tentu tidak sebatas ucapan selamat Natal ya," tambahnya.
Karena itu, dirinya lebih setuju dan mengimbau kepada semua semua pemeluk agama di Indonesia bahwa jauh lebih bernilai sebenarnya apabila ada kemauan bersama di antara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antarumat.
"Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan?Salam," pungkasnya.
(maf)