Pajak Migas Loyo Target Pajak Tergerus

Sabtu, 21 Desember 2019 - 07:04 WIB
Pajak Migas Loyo Target Pajak Tergerus
Pajak Migas Loyo Target Pajak Tergerus
A A A
TARGET realisasi penerimaan pajak tahun ini sulit tercapai. Tengok saja, realisasi
penerimaan pajak hingga akhir November lalu baru mencapai Rp1.136,17 triliun. Hal
itu berarti baru tercatat sekitar 72,02% dari pagu yang dipatok dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp1.577,56 triliun. Bila
dibandingkan realisasi penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu, justru
mengalami penurunan sebesar 0,04%. Pemerintah berdalih, sebagaimana dituturkan
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, bahwa seretnya penerimaan pajak
salah satunya dipicu realisasi penerimaan pajak sektor minyak dan gas (migas) yang
loyo. Disebabkan lifting minyak yang turun dan harga minyak lebih rendah.

Berdasarkan data publikasi terbaru dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang
disajikan ke publik pekan ini, terungkap realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh)
migas baru mencapai Rp52,89 triliun atau 79,95% dari target APBN 2019 sebesar
Rp66,15 triliun hingga akhir November lalu. Angka tersebut menunjukkan realisasi
penerimaan pajak migas merosot sebesar 11,51% bila dibandingkan periode yang
sama tahun lalu. Sebaliknya, penerimaan PPh nonmigas membukukan Rp615,72
triliun atau 74,34% dari target APBN 2019 sebesar Rp828,29 triliun hingga akhir
November lalu, atau terjadi peningkatan sebesar 4,07% bila dibandingkan periode
yang sama pada tahun lalu.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kemenkeu telah memproyeksi
kekurangan penerimaan perpajakan (shortfall) hingga Rp140 triliun sampai akhir
tahun ini. Artinya, angka tersebut bakal lebih tinggi sebesar Rp30 triliun
dari shortfall tahun lalu yang menembus Rp110 triliun. Meningkatnya kekurangan
penerimaan pajak tersebut berdasarkan perhitungan dari melambatnya pertumbuhan
penerimaan pajak belakangan ini. Memang, kekurangan penerimaan perpajakan pada
2019 mendapat sorotan karena lebih tinggi dari periode 2017 dan 2018. Data Ditjen
Pajak menunjukkan realisasi penerimaan pajak pada 2017 mencapai Rp1.151,12
triliun dengan shortfall sebesar Rp127,2 triliun. Selanjutnya, pada 2018 realisasi
penerimaan pajak tercatat Rp1.313,51 triliun dengan shortfall sebesar Rp110 triliun.

Melihat kinerja perpajakan yang loyo itu, anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad
Misbakhun telah mengingatkan pemerintah untuk bekerja lebih giat dalam mendorong
penerimaan pajak. Pasalnya, bila penerimaan pajak melenceng dari target yang telah
dipatok, dampaknya sudah pasti mengganggu pelaksanaan APBN atau dengan kata
lain realisasi penerimaan APBN berjalan di luar desain awal. Karena itu, Mukhamad
Misbakhun yang pernah tercatat sebagai pegawai Ditjen Pajak mengingatkan
Kemenkeu untuk menghadirkan sebuah mitigasi risiko guna mengantisipasi dampak
dari realisasi penerimaan pajak yang tidak menembus target.

Bisa dipahami bahwa melemahnya realisasi penerimaan pajak tidak lepas dari kondisi
perekonomian baik domestik maupun global. Upaya mengumpulkan pajak yang
berkontribusi dominan dalam sumber pendapatan APBN memang pemerintah, dalam
hal ini Kemenkeu, tidak tinggal diam. Berbagai jurus pun dikeluarkan, tetapi hasilnya
tetap menjauh dari target. Namun, alasan pelemahan ekonomi sepertinya menjadi
alasan klasik. Lalu, muncul pertanyaan sederhana, jangan-jangan target penerimaan
pajak yang dipatok tiap tahun terlalu tinggi alias di luar kemampuan hanya
berdasarkan potensi-potensi yang sulit untuk diaktualisasikan. Tengok saja, dalam
tiga tahun terakhir ini target realisasi pajak tidak tercapai.

Meski demikian, tetap harus optimistis bahwa pajak yang membiayai lebih dari 70%
anggaran tahunan negara tetap menjadi tulang punggung sehingga defisit anggaran
negara tidak semakin melebar, yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan utang
pemerintah yang selalu menjadi sorotan belakangan ini. Salah satu langkah nyata
pemerintah mengatasi masalah pajak adalah menerbitkan Omnibus Law suatu
undang-undang (UU) yang diterbitkan untuk menyasar satu isu besar yang
memungkinkan mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi
lebih sederhana di bidang perpajakan. Sayangnya, draf kebijakan yang seharusnya
sudah di tangan Badan Legislasi DPR RI, baru bisa diajukan awal tahun depan.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah menargetkan regulasi tersebut sudah
diterapkan paling lambat April 2020.

Adapun Omnibus Law Perpajakan mencakup aturan mengenai Pendanaan Investasi,
Sistem Teritori, Subjek Pajak Orang Pribadi, Kepatuhan Wajib Pajak, Keadilan Iklim
Berusaha, dan Fasilitas. Dan, substansi perpajakan dan kebijakan fiskal yang ada
dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan masuk pada Omnibus Law
Perpajakan. Namun, di balik aturan yang segera dibahas DPR, ada juga
konsekuensinya pada perpajakan, sebab pemerintah telah merelaksasi sejumlah
peraturan perpajakan demi mendongkrak arus investasi. Berpotensi memunculkan
risiko kehilangan pajak.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6010 seconds (0.1#10.140)