Hadapi Krisis Global, Yenny Wahid: Kita Butuh Narasi Bersama
A
A
A
JAKARTA - Ancaman krisis global membutuhkan kesadaran bersama berbagai elemen bangsa untuk mengatasinya. Dibutuhkan inisiatif untuk menjembatani kesenjangan dan menyatukan ide-ide dalam mengonsolidasikan berbagai sumber daya yang ada.
Hal itu disampaikan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dalam konferensi internasional Meeting of Minds (MeMinds) di Opus Grand Ballroom, The Tribrata, Jakarta, Rabu 11 Desember 2019.
“Konkretnya, kita membutuhkan narasi yang lebih baik yang dapat mengarah pada tindakan lebih komprehensif untuk mengatasi krisis global,” ujar Yenny.
MeMinds adalah forum yang bertujuan menyatukan beragam pemikiran, kemampuan dan keahlian lintas budaya dan bangsa untuk mengatasi berbagai ketimpangan serta kemelut yang selama ini membelenggu masyarakat dunia.
Konferensi dua hari bertema Menghadapi Isu-isu Global Demi Masa Depan yang Makmur dan Berkelanjutan itu digelar Heritage Amanah International bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (Baca Juga: Yenny Wahid Puji Komitmen Toleransi di Oman)
Yenny menjelaskan, dunia saat ini sedang menghadapi tiga masalah besar yakni disrupsi teknologi, ancaman perubahan ikilim dan keselapahaman antar-iman. Tiga masalah tersebut sekilas tidak memberikan dampak langsung secara ekonomis.
“Tetapi sebenarnya dampak tiga masalah besar tersebut ujungnya mempunyai konsekuensi ekonomi yang dirasakan oleh manusia di seluruh penjuru dunia,” katanya.
Terkait disrupsi teknologi, lanjut Yenny, revolusi yang terjadi dari teknologi informasi ke bioteknologi dipastikan akan mengubah banyak pekerjaan. ”Otomasi dan kecerdasan buatan akan memusnahkan seluruh industri dan mengarah pada penciptaan lapangan kerja baru, sementara jutaan orang kehilangan pekerjaan,” tuturnya.
Sedangkan masalah yang terkait lingkungan, kata Yenny, di antaranya adalah bencana ekologis yang akan menelan biaya sangat besar. Kepada peserta MeMinds Forum yang berasal dari berbagai negara, Yenny Wahid lantas menceritakan pengalamannya saat diundang dalam konferensi perubahan iklim ”CoP 25” di Madrid, Spanyol, akhir pekan lalu.
Dia diminta menyampaikan catatan tentang bagaimana organisasi keagamaan memberikan dampak dalam perjuangan melawan pemanasan global.
”Dalam forum tersebut, saya mengajukan pertanyaan: ”Mengapa konsep tentang surga dan neraka yang abstrak, mampu memotivasi orang untuk mengikuti cara hidup tertentu? Di sisi lain, kita memiliki pengetahuan dan data faktual tentang perubahan iklim, namun tidak mampu menggerakkan orang untuk memasukkan dalam prioritas mereka upaya pencegahan guna menghentikan pemanasan global,” tutur putri Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid itu.
Menurut Yenny, agama memberikan pedoman tentang cara menjalani hidup. Sejak manusia dilahirkan sampai mati. Di sana, agama jelas merupakan kekuatan. Mengutip World Economic Forum, sebanyak 80 persen populasi dunia percaya pada keyakinan agama.
”Tetapi, sekali lagi, mengapa kita tidak mampu menggunakan kekuatan tersebut untuk membuat orang mengambil tindakan menyelamatkan bumi?” Yenny bertanya.
Kepercayaan kepada agama, menurut Yenny Wahid, sebagian besar dimotivasi oleh emosi yang dalam Islam disebut iman. Keyakinan yang mendorong suatu tindakan atau dalam Buddha dikenal sebagai dharma, yang memotivasi orang untuk berbuat baik.
”Agama telah menjadi sumber motivasi dan kekuatan kemajuan besar sepanjang sejarah umat manusia. Banyak prestasi besar dicapai atas nama agama. Namun, dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas politik, agama seringkali disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,” tambahnya.
Namun, sejatinya bukan cuma agama yang menyebabkan ”suhu emosional” dunia meningkat. Ras dan etnis, kelas sosial dan ekonomi, jurang besar antara si kaya dan si miskin, semua juga berpotensi membuat orang galau.
Untuk menghadirkan narasi dunia yang lebih baik, Yenny Wahid berpendapat perlu dilakukan pertemuan pikiran (Meeting of Minds) untuk membantu membimbing orang ke arah yang benar.
”Cuma, pertemuan pikiran hanya dapat dicapai ketika ada pertemuan hati. Hanya ketika Anda memenangkan hati, Anda dapat mengubah pikiran,” tuturnya.
Hal itu disampaikan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dalam konferensi internasional Meeting of Minds (MeMinds) di Opus Grand Ballroom, The Tribrata, Jakarta, Rabu 11 Desember 2019.
“Konkretnya, kita membutuhkan narasi yang lebih baik yang dapat mengarah pada tindakan lebih komprehensif untuk mengatasi krisis global,” ujar Yenny.
MeMinds adalah forum yang bertujuan menyatukan beragam pemikiran, kemampuan dan keahlian lintas budaya dan bangsa untuk mengatasi berbagai ketimpangan serta kemelut yang selama ini membelenggu masyarakat dunia.
Konferensi dua hari bertema Menghadapi Isu-isu Global Demi Masa Depan yang Makmur dan Berkelanjutan itu digelar Heritage Amanah International bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (Baca Juga: Yenny Wahid Puji Komitmen Toleransi di Oman)
Yenny menjelaskan, dunia saat ini sedang menghadapi tiga masalah besar yakni disrupsi teknologi, ancaman perubahan ikilim dan keselapahaman antar-iman. Tiga masalah tersebut sekilas tidak memberikan dampak langsung secara ekonomis.
“Tetapi sebenarnya dampak tiga masalah besar tersebut ujungnya mempunyai konsekuensi ekonomi yang dirasakan oleh manusia di seluruh penjuru dunia,” katanya.
Terkait disrupsi teknologi, lanjut Yenny, revolusi yang terjadi dari teknologi informasi ke bioteknologi dipastikan akan mengubah banyak pekerjaan. ”Otomasi dan kecerdasan buatan akan memusnahkan seluruh industri dan mengarah pada penciptaan lapangan kerja baru, sementara jutaan orang kehilangan pekerjaan,” tuturnya.
Sedangkan masalah yang terkait lingkungan, kata Yenny, di antaranya adalah bencana ekologis yang akan menelan biaya sangat besar. Kepada peserta MeMinds Forum yang berasal dari berbagai negara, Yenny Wahid lantas menceritakan pengalamannya saat diundang dalam konferensi perubahan iklim ”CoP 25” di Madrid, Spanyol, akhir pekan lalu.
Dia diminta menyampaikan catatan tentang bagaimana organisasi keagamaan memberikan dampak dalam perjuangan melawan pemanasan global.
”Dalam forum tersebut, saya mengajukan pertanyaan: ”Mengapa konsep tentang surga dan neraka yang abstrak, mampu memotivasi orang untuk mengikuti cara hidup tertentu? Di sisi lain, kita memiliki pengetahuan dan data faktual tentang perubahan iklim, namun tidak mampu menggerakkan orang untuk memasukkan dalam prioritas mereka upaya pencegahan guna menghentikan pemanasan global,” tutur putri Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid itu.
Menurut Yenny, agama memberikan pedoman tentang cara menjalani hidup. Sejak manusia dilahirkan sampai mati. Di sana, agama jelas merupakan kekuatan. Mengutip World Economic Forum, sebanyak 80 persen populasi dunia percaya pada keyakinan agama.
”Tetapi, sekali lagi, mengapa kita tidak mampu menggunakan kekuatan tersebut untuk membuat orang mengambil tindakan menyelamatkan bumi?” Yenny bertanya.
Kepercayaan kepada agama, menurut Yenny Wahid, sebagian besar dimotivasi oleh emosi yang dalam Islam disebut iman. Keyakinan yang mendorong suatu tindakan atau dalam Buddha dikenal sebagai dharma, yang memotivasi orang untuk berbuat baik.
”Agama telah menjadi sumber motivasi dan kekuatan kemajuan besar sepanjang sejarah umat manusia. Banyak prestasi besar dicapai atas nama agama. Namun, dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas politik, agama seringkali disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,” tambahnya.
Namun, sejatinya bukan cuma agama yang menyebabkan ”suhu emosional” dunia meningkat. Ras dan etnis, kelas sosial dan ekonomi, jurang besar antara si kaya dan si miskin, semua juga berpotensi membuat orang galau.
Untuk menghadirkan narasi dunia yang lebih baik, Yenny Wahid berpendapat perlu dilakukan pertemuan pikiran (Meeting of Minds) untuk membantu membimbing orang ke arah yang benar.
”Cuma, pertemuan pikiran hanya dapat dicapai ketika ada pertemuan hati. Hanya ketika Anda memenangkan hati, Anda dapat mengubah pikiran,” tuturnya.
(dam)