Kado Istimewa dari MK

Kamis, 12 Desember 2019 - 07:30 WIB
Kado Istimewa dari MK
Kado Istimewa dari MK
A A A
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan seorang mantan narapidana baru bisa mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah (pilkada) lima tahun setelah ia selesai menjalani hukuman penjara.

Sebuah putusan yang tentu sangat melegakan. Bagaimana pun ini salah satu bentuk nyata upaya memerangi kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Di tengah gonjang-ganjing isu pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pascarevisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah, MK membuat putusan istimewa yang bak angin segar. Lewat putusan ini MK bisa disebut kembali menunjukkan diri sebagai lembaga penjaga demokrasi yang berintegritas.

Putusan MK ini menjadi kado khusus dalam suasana peringatan Hari Antikorupsi Internasional (9 Desember 2019) dan Hari Hak Asasi Manusia Internasional (10 Desember 2019).

MK, dalam putusannya, menyatakan menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Sebelumnya, pemohon uji materi, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta MK menyatakan seorang mantan narapidana yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah mereka yang telah melewati masa 10 tahun setelah selesai menjalani hukuman penjara. Namun, MK memutuskan jeda hanya perlu lima tahun.

Selama ini, akibat UU Pikada tidak mengatur masa tunggu atau jeda dari bebasnya mantan narapidana dengan pencalonan dirinya di pilkada, parpol dengan mudah mencalonkan mantan narapidana bersangkutan. Bahkan ada di antaranya yang terpilih memimpin daerah, semisal di Minahasa Utara dan Solok.

Menurut Perludem, ada alasan kuat mengapa mantan narapida korupsi sebaiknya tidak dicalonkan lagi di pilkada. Alasan tersebut didasarkan pada fakta yang bersangkutan setelah dicalonkan lagi oleh parpol ternyata kembali mengulangi perbuatannya melakukan tindak pidana dan terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Itu misalnya terjadi pada Muhammad Tamzil, Bupati Kudus, yang terpilih di Pilkada 2018 namun terkena OTT KPK pada 2019.

Pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang ada saat ini hanya menyebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Berhubung MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon maka otomatis bunyi Pasal 7 ayat (2) berubah. Beberapa inti dari putusan MK terkait Pasal 7 ayat (2) yakni seseorang yang dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah ia yang tidak pernah diancam dengan hukuman pidana lima tahun penjara atau lebih, kecuali tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik.

Selain itu, seorang mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya bisa apabila ia telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara. Berikutnya, mantan narapidana jika maju sebagai calon kepala daerah diharuskan mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan terpidana. Terakhir, calon bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.

Penyakit korupsi memang ibarat virus yang tak henti menjangkiti pejabat, terutama kepala daerah. Penangkapan oknum kepala daerah karena terbukti menerima suap seolah tidak membuat takut atau gentar kepala daerah lainnya. KPK mencatat, sejak berdiri pada Desember 2002 lalu, lembaga antirasuah tersebut mencatat telah memproses 119 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Khusus pada 2019 setidaknya ada sekitar tujuh kepala daerah yang harus mengenakan rompi oranye.

Maka, putusan MK ini sangat penting, apalagi sebentar lagi akan dilaksanakan pilkada serentak di 270 daerah di Indonesia. Putusan ini sekaligus memberi pelajaran kepada partai politik yang sering tanpa peduli mencalonkan mantan terpidana, terpidana, terutama kasus korupsi.

Sekarang tinggal Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu menyusun peraturan teknis menyusul putusan MK ini. Termasuk pengaturan teknis yang konkret yang sekiranya akan menghindarkan masyarakat memilih figur-figur yang bermasalah secara hukum saat pilkada.

Masyarakat membutuhkan calon kepala daerah yang berintegritas dan jejak langkahnya bebas dari kasus korupsi. Mengapa demikian? Sebab, calon yang demikian lebih bisa diharapkan bisa menghadirkan pelayanan publik yang baik dan mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan menyejahterakan.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4256 seconds (0.1#10.140)