Komisi IV DPR Sebar Kearifan Lokal Indonesia di Madrid
A
A
A
JAKARTA - Pimpinan Komisi IV DPR menyampaikan isu lingkungan dalam konferensi Perubahan Iklim di Madrid, Spanyol. Tema yang diangkat dalam konfrensi ini adalah tentang kekuatan spiritualitas.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi menjelaskan, kekuatan spiritualitas dalam konteks lingkungan yaitu hutan sebagai kekuatan spiritual dalam tata nilai local wisdom atau kearifan kaum tradisi yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Tradisi ini mengajarkan tentang kearifan dalam mengelola lingkungan. (Baca juga: Ketua Komisi IV DPR RI: Pencegahan Karhutla Butuh Partisipasi Masyarakat)
Dedi memaparkan, perubahan iklim dalam istilah yang dipakai saat ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Di Indonesia perubahan iklim itu adalah pancaroba dalam masyarakat tradisi. Sehingga istilah perubahan iklim bukan merupakan hal baru.
Pancaroba atau perubahan iklim adalah terjadinya lima perubahan waktu dalam kehidupan manusia. "Sebuah fenomena ketidakseimbangan alam sebagai akibat dari ketidakseimbangan waktu, musim atau iklim. Dari hal itu terjadi kekacuan dalam pancaroba, kekacauan kehidupan," kata Dedi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/12/2019).
Dedi mengibaratkan pancaroba dalam wayang adalah ketika Krisna dan Arjuna dicabut hingga menyebabkan kehancuran akibat peperangan. Keduanya dicabut ketika menghadapi musuh sehingga memunculkan malapetaka. Krisna dan Arjuna dalam dunia pewayangan adalah faktor penting dalam menjaga keseimbangan.
Dari cerita itu menunjukkan bahwa ajaran kesimbangan itu sudah ada dalam spiritualitas Indonasia. Misalnya, ada ajaran keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia yang di dalamnya adalah bentuk penyerahan diri pada Tuhan.
Saat ini telah terjadi eksploitasi sumber daya alam. "Eksploitasi melahirkan perusakan hutan, gunung dan laut. Kerusakan itu melahirkan ketidakseimbangan," kata Dedi. (Baca juga: Manisnya Kearifan Lokal Pakidulan)
Saat Orde Baru, lanjut Dedi, mulai dibangun sektor pertanian untuk mengejar pertumbuhan dan produksi. Akibatnya, terjadi modernisasi pengelolaan lingkungan. Misalnya, modernisasi dalam pertanian melahirkan pestisida yang merusak lingkungan. Di bidang kehutanan terjadi pembabatan hutan untuk menjadi kawasan ekonomi seperti perkebunan dan sejenisnya.
Akhirnya, spiritualitas dan tata nilai local wisdom mulai ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara modern.
Namun sekarang, kata Dedi,ternyata perkembangan dunia internasional, terutama di belahan barat, kembali ke local wisdom yang dulu dipergunakan di Indonesia.
"Misalnya, go green itu bukan istilah baru bagi masyarakat tradisi Indonesia. Sampai hari ini, Indonesia masih melaksanakan prinsip go green, yakni pengelolaan lahan pertanian secara alamiah, seperti pupuk organik dan lain sebagaianya," katanya.
Dedi mengatakan, perlu dibuat tiga regulasi undang-undang terkait lingkungan. Pertama, hutan adalah sebagai sumber ketahanan nasional. Maka, perlu dibuat Undang-undang ketahanan nasional dalam konteks kehutanan. Menurutnya, Indonesia sudah tidak perlu lagi membuka hutan untuk kepentingan ekonomi. Hutan kembali menjadi sumber ketahanan nasional.
"Jadi hutan hanya berfungsi konservasi saja, karena untuk kepentingan ekonomi sudah cukup, malah berlebih," katanya.
Kedua, perlu didorong undang-undang perlindungan masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat itu adalah polisi kehutanan sejati Indoneia. Merekalah yang menjaga alam Indonesia berdasakan kekuatan keyakinannya.
"Karena bagi mereka, hutan dan laut adalah tempat bersemayamnya Tuhan, sehingga terjadi sakralitas. Itu juga sama di masyarakat Amazon dan tempat lainnya," paparnya.
Lalu ketiga perlu dibuat Undang-undang konservasi ekosistem dan sumber daya hayati.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi menjelaskan, kekuatan spiritualitas dalam konteks lingkungan yaitu hutan sebagai kekuatan spiritual dalam tata nilai local wisdom atau kearifan kaum tradisi yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Tradisi ini mengajarkan tentang kearifan dalam mengelola lingkungan. (Baca juga: Ketua Komisi IV DPR RI: Pencegahan Karhutla Butuh Partisipasi Masyarakat)
Dedi memaparkan, perubahan iklim dalam istilah yang dipakai saat ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Di Indonesia perubahan iklim itu adalah pancaroba dalam masyarakat tradisi. Sehingga istilah perubahan iklim bukan merupakan hal baru.
Pancaroba atau perubahan iklim adalah terjadinya lima perubahan waktu dalam kehidupan manusia. "Sebuah fenomena ketidakseimbangan alam sebagai akibat dari ketidakseimbangan waktu, musim atau iklim. Dari hal itu terjadi kekacuan dalam pancaroba, kekacauan kehidupan," kata Dedi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/12/2019).
Dedi mengibaratkan pancaroba dalam wayang adalah ketika Krisna dan Arjuna dicabut hingga menyebabkan kehancuran akibat peperangan. Keduanya dicabut ketika menghadapi musuh sehingga memunculkan malapetaka. Krisna dan Arjuna dalam dunia pewayangan adalah faktor penting dalam menjaga keseimbangan.
Dari cerita itu menunjukkan bahwa ajaran kesimbangan itu sudah ada dalam spiritualitas Indonasia. Misalnya, ada ajaran keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan manusia yang di dalamnya adalah bentuk penyerahan diri pada Tuhan.
Saat ini telah terjadi eksploitasi sumber daya alam. "Eksploitasi melahirkan perusakan hutan, gunung dan laut. Kerusakan itu melahirkan ketidakseimbangan," kata Dedi. (Baca juga: Manisnya Kearifan Lokal Pakidulan)
Saat Orde Baru, lanjut Dedi, mulai dibangun sektor pertanian untuk mengejar pertumbuhan dan produksi. Akibatnya, terjadi modernisasi pengelolaan lingkungan. Misalnya, modernisasi dalam pertanian melahirkan pestisida yang merusak lingkungan. Di bidang kehutanan terjadi pembabatan hutan untuk menjadi kawasan ekonomi seperti perkebunan dan sejenisnya.
Akhirnya, spiritualitas dan tata nilai local wisdom mulai ditinggalkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip negara modern.
Namun sekarang, kata Dedi,ternyata perkembangan dunia internasional, terutama di belahan barat, kembali ke local wisdom yang dulu dipergunakan di Indonesia.
"Misalnya, go green itu bukan istilah baru bagi masyarakat tradisi Indonesia. Sampai hari ini, Indonesia masih melaksanakan prinsip go green, yakni pengelolaan lahan pertanian secara alamiah, seperti pupuk organik dan lain sebagaianya," katanya.
Dedi mengatakan, perlu dibuat tiga regulasi undang-undang terkait lingkungan. Pertama, hutan adalah sebagai sumber ketahanan nasional. Maka, perlu dibuat Undang-undang ketahanan nasional dalam konteks kehutanan. Menurutnya, Indonesia sudah tidak perlu lagi membuka hutan untuk kepentingan ekonomi. Hutan kembali menjadi sumber ketahanan nasional.
"Jadi hutan hanya berfungsi konservasi saja, karena untuk kepentingan ekonomi sudah cukup, malah berlebih," katanya.
Kedua, perlu didorong undang-undang perlindungan masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat itu adalah polisi kehutanan sejati Indoneia. Merekalah yang menjaga alam Indonesia berdasakan kekuatan keyakinannya.
"Karena bagi mereka, hutan dan laut adalah tempat bersemayamnya Tuhan, sehingga terjadi sakralitas. Itu juga sama di masyarakat Amazon dan tempat lainnya," paparnya.
Lalu ketiga perlu dibuat Undang-undang konservasi ekosistem dan sumber daya hayati.
(shf)