Lewat Buku, Achmad Baidowi Ceritakan Soal 'Badai' di PPP
A
A
A
JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengungkap cerita musibah menimpa partainya dalam kurun waktu lima tahun, 2014-2019.
Pria yang biasa disapa Awiek ini mengungkapnya dalam sebuah buku berjudul Musibah Partai Kakbah.
Dalam buku itu, Awiek bercerita awal mula partai berbasis Islam itu diterpa konflik internal. Dia menyebut ikhwal konflik terjadi pada saat Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP saat itu bersama Waketum PPP, Djan Faridz menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno.
"Itu menjadi pukulan telak seluruh kader di Indonesia," kata Awiek saat memaparkan isi bukunya di kantor PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (9/12/2019). (Baca Juga: PPP Kritisi Wacana Menag Sertifikasi Majelis Taklim)
Anggota DPR ini mengingat Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi yang menyebut kehadiran Suryadharma dan Djan di kampanye tersebut seperti menyerahkan leher partai ke partai lain. Padahal secara resmi, partai mereka belum menentukan calon presiden yang diusung dan tengah berjuang berkontestasi di Pemilihan Legislatif.
Singkat cerita, Suryadharma Ali diberhentikan karena tersangkut masalah korupsi dan Djan naik menggantikan posisi tersebut. Menurut Awiek, saat itu pengurus juga berupaya menggulingkan Djan karena sama seperti Suryadharma, yakni melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.
"Saya sebagai pelaku teknis di lapangan. Yang kita lawan Pak Djan Faridz. Teman-teman mungkin saling intip mau ada rapat hadir tidak, karena masuk catatan semua. Temasuk saya diminta pantau Jalan Talang (rumah Djan-red) siapa yang hadir," kenang Awiek.
Konflik terus berlanjut. Kata mantan Jurnalis Koran SINDO itu, PPP terbelah dua, yakni kepengurusan antara kubu Suryadharama yang kemudian menjadi kelompok Djan Faridz dengan kubu Romahurmuziy atau Rommy, ketua umum hasil Muktamar Surabaya.
Di tengah konflik, PPP akhirnya memilih keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen, lantaran kadernya tidak masuk dalam paket pimpinan MPR. Awi menyatakan, gelombang cobaan kepada partainya tidak berhenti usai Pemilu 2014 dan dalam perjalanan Rommy ditangkap KPK.
PAda Pemilu 2019, PPP mengalami penurunan suara dratis hingga berada di urutan bunyi dengan menempatkan 19 kadernya mendapatkan kursi di Gedung Senayan.
"Kita dapat Wakil Ketua MPR. Itu sejarah partai 19 kursi punya Wakil Ketua MPR. Memang musyawarah mufakat. Di kabinet dapat Kepala Bappenas. Bahkan cuma kader PPP, satu lagi dapat Wakil Menteri Agama," tuturnya.
Pria yang biasa disapa Awiek ini mengungkapnya dalam sebuah buku berjudul Musibah Partai Kakbah.
Dalam buku itu, Awiek bercerita awal mula partai berbasis Islam itu diterpa konflik internal. Dia menyebut ikhwal konflik terjadi pada saat Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP saat itu bersama Waketum PPP, Djan Faridz menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno.
"Itu menjadi pukulan telak seluruh kader di Indonesia," kata Awiek saat memaparkan isi bukunya di kantor PPP, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (9/12/2019). (Baca Juga: PPP Kritisi Wacana Menag Sertifikasi Majelis Taklim)
Anggota DPR ini mengingat Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi yang menyebut kehadiran Suryadharma dan Djan di kampanye tersebut seperti menyerahkan leher partai ke partai lain. Padahal secara resmi, partai mereka belum menentukan calon presiden yang diusung dan tengah berjuang berkontestasi di Pemilihan Legislatif.
Singkat cerita, Suryadharma Ali diberhentikan karena tersangkut masalah korupsi dan Djan naik menggantikan posisi tersebut. Menurut Awiek, saat itu pengurus juga berupaya menggulingkan Djan karena sama seperti Suryadharma, yakni melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.
"Saya sebagai pelaku teknis di lapangan. Yang kita lawan Pak Djan Faridz. Teman-teman mungkin saling intip mau ada rapat hadir tidak, karena masuk catatan semua. Temasuk saya diminta pantau Jalan Talang (rumah Djan-red) siapa yang hadir," kenang Awiek.
Konflik terus berlanjut. Kata mantan Jurnalis Koran SINDO itu, PPP terbelah dua, yakni kepengurusan antara kubu Suryadharama yang kemudian menjadi kelompok Djan Faridz dengan kubu Romahurmuziy atau Rommy, ketua umum hasil Muktamar Surabaya.
Di tengah konflik, PPP akhirnya memilih keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen, lantaran kadernya tidak masuk dalam paket pimpinan MPR. Awi menyatakan, gelombang cobaan kepada partainya tidak berhenti usai Pemilu 2014 dan dalam perjalanan Rommy ditangkap KPK.
PAda Pemilu 2019, PPP mengalami penurunan suara dratis hingga berada di urutan bunyi dengan menempatkan 19 kadernya mendapatkan kursi di Gedung Senayan.
"Kita dapat Wakil Ketua MPR. Itu sejarah partai 19 kursi punya Wakil Ketua MPR. Memang musyawarah mufakat. Di kabinet dapat Kepala Bappenas. Bahkan cuma kader PPP, satu lagi dapat Wakil Menteri Agama," tuturnya.
(dam)