Wacana Penambahan Masa Jabatan Presiden Dinilai Sesat Logika

Rabu, 27 November 2019 - 18:22 WIB
Wacana Penambahan Masa Jabatan Presiden Dinilai Sesat Logika
Wacana Penambahan Masa Jabatan Presiden Dinilai Sesat Logika
A A A
JAKARTA - Wacana amandemen UUD 1945 kembali menguat akhir-akhir ini. Menanggapi hal itu, Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, wacana amandemen bergulir seiring penguatan kembali MPR dengan dikembalikannya GBHN.

"Kini mulai liar kemana-kemana termasuk memasukan wacana presiden dan wakil presiden tiga periode hingga ada wacana memperpanjang masa waktu periode dari 5 tahun menjadi 7 tahun dan lain sebagainya," tutur Sulthan, Rabu (27/11/2019).

Menurut Sulthan, prinsipnya amandemen UUD 1945 boleh dilakukan sepanjang memenuhi syarat konstitusionalnya seperti diatur dalam pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD 1945. Namun dalam sejarahnya, proses perubahan konstitusi dilakukan secara bertahap. Pertama di 1999 hingga perubahan keempat 2002. "Prosesnya disepakati oleh fraksi-fraksi di MPR untuk dilakukan secara adendum," ungkap alumni Hukum Tata Negara UGM ini.

Saat ini, lanjut Sulthan, muncul wacana amandemen secara menyeluruh. Bisa saja ketentuan yang diatur sekarang ini dirubah sepenuhnya bahkan dirombak ulang. Hal ini tentu menjadi domain anggota MPR. Namun menurutnya, tidak ada kebutuhan untuk merubah UUD NRI 1945. Apalagi terkait periodesasi presiden atau wakil presiden.

Sulthan mempertanyakan, alasan logis memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode menjadi 15 tahun. Sementara, sejak amandemen pertama 1999 jabatan presiden telah dibatasi selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk 5 tahun berikutnya. Ketentuan itu sengaja dipertegas sebagai langkah traumatik dan menghindari terulangnya rezim diktatoriat. "Tapi kini malah mau diputar lagi ke belakang, ini kan sesat logika namanya," tegas dia.

Hingga kini, penyelenggaraan pemerintahan yang didesain selama lima tahun itu berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. Capaian-capaian keberhasilan juga terus dicapai. "Kecuali jika dasar presidennya tidak visioner mau dikasih jabatan 20 tahun pun negara tetap berjalan di tempat," ucap dia.

Menurutnya, desain periodeisasi yang selama ini diatur oleh konstitusi dinilai sudah tepat. Sehingga, tidak perlu lagi MPR mengutak-atiknya. "Jangan berpikir hanya sebatas kursi kekuasaan saja, negara kita baru benar-benar demokrasi pascareformasi. Apa iya pelan-pelan mau dikembalikan seperti dulu lagi. Yang rugi kita semua, rakyat Indonesia," tutur dia lagi.

Sulthan mencontohkan, bagaimana Amerika Serikat, sebagai sebuah negara maju dengan kompleksitas masalah yang dihadapinya masa jabatan presiden hanya 4 tahun dan maksimal 8 tahun. Sedangkan Indonesia, lebih 2 tahun masih merasa tidak cukup.

Apalagi wacana ini masih ditambah jika presiden dan wakil presiden kembali menjadi mandataris MPR dengan berlakunya GBHN. Kemudian presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan anggota MPR seperti terpilihnya Gus Dur dan Megawati dahulu.

"Mau dikemanakan demkorasi kita? Ini kumpulan partai politik kok berpikirnya semakin oligarki aja. Kini hak pilih rakyat pun pelan-pelan mau dirampas juga. Sudahlah, amandemen itu boleh kok. Ia bukan hal yang sakral sehingga tidak boleh diutak-atik. Arah amandemen konstitusi ini jangan hanya untuk menampung hasrat kekuasaan, itu langkah mundur namanya," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9084 seconds (0.1#10.140)