Evaluasi Pilkada Langsung Tak Otomatis Ganti Dipilih DPRD
A
A
A
JAKARTA - Komisi II DPR mengagendakan untuk evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Langkah ini beriringan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang sebelumnya mempertanyakan sistem pilkada langsung. Tito menilai sistem pemilu itu menimbulkan dampak negatif, yakni biaya politik yang tinggi.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan, masalah pilkada langsung atau tak langsung ini memang cukup mengagetkan ketika disampaikan oleh Mendagri. Hal ini, diakui Arwani, menimbulkan tanda tanya di Komisi II, apa yang menyebabkan Mendagri menyampaikan pernyataan seperti itu.
”Apakah betul-betul memang ada keinginan kuat untuk melakukan evaluasi yang itu dimaknai sebagai mengganti kata langsung itu menjadi tidak langsung? Karena memang pemahaman evaluasi itu begitu mengagetkan ketika disampaikan oleh Mendagri sendiri,” tutur Wakil Ketua Umum PPP ini dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ’Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD?’ di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (14/11/2019).
Sayangnya, ketika rapat kerja (raker) antara Mendagri dengan Komisi II, beberapa hari lalu, Mendagri tidak menyampaikan langsung mengenai wacana penggantian sistem pilkada. "Kita juga kaget karena Mendagri di dalam raker itu tidak menyampaikan poin tentang evaluasi pilkada langsung secara resmi di rapat Komisi II. Jadi disampaikan di luar. Belum ada keterangan resmi terkait dengan hal itu di dalam rapat kerja," paparnya.
Namun, menurutnya, pelaksanaan pilkada langsung saat ini memang wajib untuk kita lakukan evaluasi untuk langkah perbaikan. ”Tapi jangan diartikan kalau wajib evaluasi itu terus harus ganti, itu tidak. Evaluasinya yang wajib. Apakah evaluasi itu misalnya terkait dengan pembebanan anggaran, terkait dengan desain tahapan, atau coba kita evaluasi kembali soal makna,” paparnya.
Dikatakan Arwani, pilkada langsung muncul karena sebelumnya pilkada melalui DPRD dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. ”Saya ingat kejadian di Pemilihan Gubernur DKI, bagaimana ketika habis pemilihan DPRD, itu calon terpilih diangkut atau keluar pakai helikopter. Jadi massa di luar itu, masyarakat menunjukkan adanya ketidaksesuaian aspirasi. Masyarakat menginginkan A (tokoh tertentu sebagai gubernur) ternyata anggota DPRD memilih B,” katanya.
Intinya, kata Arwani, saat itu prinsip kedaulatan rakyat terabaikan sehingga Reformasi yang memilih pemilihan kepala daerah secara langsung dan akhirnya partisipasi masyarakat menjadi semakin luar biasa.
"Masyarakat melek politik. Mulai dari tim sukses sampai penyelenggara pemilu, mulai tingkat TPS sampai tingkat pusat. Jadi kalau (imbas pilkada langsung) ke lapangan pekerjaan, luar biasa. Percetakan-percetakan itu, termasuk iklan-iklan, iklan di TV maupun di radio, itu berapa, kemudian lembaga survei," katanya.
Diakuinya pilkada langsung menjadikan masyarakat semakin tercerdaskan. Begitu pula dari sisi ekonomi masyarakat. Namun, dari sisi sisi prinsip munculnya pemilihan langsung untuk sebagai instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat, perlu dievaluasi. "Ini monggo kita evaluasi. Yang kita temukan justru bukan kedaulatan rakyat, tetapi adalah kedaulatan modal atau kedaulatan uang," paparnya.
Menurut Arwani, sudah bukan menjadi rahasia umum, siapapun yang ingin menjadi kepala daerah untuk tingkat bupati dengan jumlah daftar pemilih tetap sekitar 500.000-an, dibutuhkan anggaran sekitar Rp20 miliar. "Kalau lebih dari itu, satu juta misalnya, ya tinggal mengalikan," katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan, masalah pilkada langsung atau tak langsung ini memang cukup mengagetkan ketika disampaikan oleh Mendagri. Hal ini, diakui Arwani, menimbulkan tanda tanya di Komisi II, apa yang menyebabkan Mendagri menyampaikan pernyataan seperti itu.
”Apakah betul-betul memang ada keinginan kuat untuk melakukan evaluasi yang itu dimaknai sebagai mengganti kata langsung itu menjadi tidak langsung? Karena memang pemahaman evaluasi itu begitu mengagetkan ketika disampaikan oleh Mendagri sendiri,” tutur Wakil Ketua Umum PPP ini dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema ’Akankah Pemilihan Kepala Daerah Dikembalikan ke DPRD?’ di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (14/11/2019).
Sayangnya, ketika rapat kerja (raker) antara Mendagri dengan Komisi II, beberapa hari lalu, Mendagri tidak menyampaikan langsung mengenai wacana penggantian sistem pilkada. "Kita juga kaget karena Mendagri di dalam raker itu tidak menyampaikan poin tentang evaluasi pilkada langsung secara resmi di rapat Komisi II. Jadi disampaikan di luar. Belum ada keterangan resmi terkait dengan hal itu di dalam rapat kerja," paparnya.
Namun, menurutnya, pelaksanaan pilkada langsung saat ini memang wajib untuk kita lakukan evaluasi untuk langkah perbaikan. ”Tapi jangan diartikan kalau wajib evaluasi itu terus harus ganti, itu tidak. Evaluasinya yang wajib. Apakah evaluasi itu misalnya terkait dengan pembebanan anggaran, terkait dengan desain tahapan, atau coba kita evaluasi kembali soal makna,” paparnya.
Dikatakan Arwani, pilkada langsung muncul karena sebelumnya pilkada melalui DPRD dianggap tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. ”Saya ingat kejadian di Pemilihan Gubernur DKI, bagaimana ketika habis pemilihan DPRD, itu calon terpilih diangkut atau keluar pakai helikopter. Jadi massa di luar itu, masyarakat menunjukkan adanya ketidaksesuaian aspirasi. Masyarakat menginginkan A (tokoh tertentu sebagai gubernur) ternyata anggota DPRD memilih B,” katanya.
Intinya, kata Arwani, saat itu prinsip kedaulatan rakyat terabaikan sehingga Reformasi yang memilih pemilihan kepala daerah secara langsung dan akhirnya partisipasi masyarakat menjadi semakin luar biasa.
"Masyarakat melek politik. Mulai dari tim sukses sampai penyelenggara pemilu, mulai tingkat TPS sampai tingkat pusat. Jadi kalau (imbas pilkada langsung) ke lapangan pekerjaan, luar biasa. Percetakan-percetakan itu, termasuk iklan-iklan, iklan di TV maupun di radio, itu berapa, kemudian lembaga survei," katanya.
Diakuinya pilkada langsung menjadikan masyarakat semakin tercerdaskan. Begitu pula dari sisi ekonomi masyarakat. Namun, dari sisi sisi prinsip munculnya pemilihan langsung untuk sebagai instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat, perlu dievaluasi. "Ini monggo kita evaluasi. Yang kita temukan justru bukan kedaulatan rakyat, tetapi adalah kedaulatan modal atau kedaulatan uang," paparnya.
Menurut Arwani, sudah bukan menjadi rahasia umum, siapapun yang ingin menjadi kepala daerah untuk tingkat bupati dengan jumlah daftar pemilih tetap sekitar 500.000-an, dibutuhkan anggaran sekitar Rp20 miliar. "Kalau lebih dari itu, satu juta misalnya, ya tinggal mengalikan," katanya.
(nag)