Sertifikasi Perkawinan
A
A
A
Pemerintah sedang mewacanakan perlunya sertifikasi bagi setiap pasangan yang ingin menikah. Tujuan sertifikasi ini untuk menekan tingginya angka perceraian di Tanah Air. Meski ide ini sangat baik, perlu pengkajian yang mendalam agar sertifikasi pernikahan ini justru tidak kontraproduktif di kemudian hari. Jangan sampai ide mulia ini malah menimbulkan sumber kegaduhan baru di masyarakat yang sudah mereda selepas kontroversi celana cingkrang dan cadar beberapa waktu lalu.
Adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kemarin yang melempar wacana tersebut. Muhadjir mengungkapkan sertifikasi perkawinan akan digunakan sebagai syarat warga untuk menikah. Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut warga akan dibekali dulu dengan berbagai pengetahuan tentang perkawinan. Mulai dari bagaimana mengelola masalah ekonomi rumah tangga atau keluarga hingga kesehatan reproduksi bagi calon pengantin. Selain tujuan utamanya mencegah perceraian, program sertifikasi ini juga agar pasangan tersebut menghasilkan generasi yang berkualitas.Secara umum tujuan rencana pemerintah yang akan mewajibkan sertifikasi perkawinan tersebut memang sangat mulia. Apalagi menurut data yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag), angka perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Kita ambil contoh data tahun 2015, Kemenag menyebut ada 398.245 gugatan perceraian.Dua tahun berselang, tahun 2017, gugatan cerai yang terdaftar meningkat menjadi 415.898 buah. Hampir setengah juta pasangan suami istri bercerai selama setahun. Ini tentu angka yang sangat besar. Orang begitu mudah menjatuhkan talak kepada pasangannya atau dengan kata lain terjadi desakralisasi perkawinan. Perkawinan yang seharusnya dipertahankan hingga mati ternyata banyak kandas di tengah jalan.
Begitu besarnya angka perceraian memang perlu solusi yang komprehensif. Bukan solusi yang parsial. Apakah sertifikasi perkawinan ini merupakan satu-satunya solusi untuk mengurangi perceraian? Nanti dulu. Kebijakan tersebut mungkin bisa berjalan baik. Namun bisa juga sertifikasi ini tidak akan berpengaruh banyak pada penurunan angka perceraian.Yang jelas, untuk mencari solusi yang komprehensif atas permasalahan di atas, kita perlu menelaah penyebab utama dari maraknya perceraian di masyarakat. Dari hasil penelitian berbagai lembaga, perceraian disebabkan banyak faktor, mulai seringnya bertengkar, sudah tidak ada lagi rasa kecocokan, ada orang ketiga (selingkuh), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga faktor ekonomi.Intinya terjadi salah pengelolaan rumah tangga dan faktor finansial. Yang menarik terjadi tren yang mengejutkan, kalau sebelumnya lelaki yang meminta cerai, saat ini ternyata justru yang terjadi perempuan lebih banyak yang meminta berpisah dari suaminya.Berbagai faktor penyebab perceraian di atas harus dilihat secara utuh. Perlu diingat bahwa masalah pernikahan ini sangat kompleks. Apalagi hal ini sangat bersifat privat (pribadi) yang juga menyangkut soal keyakinan agama. Dalam agama Islam, misalnya, pernikahan sudah ada syarat dan aturannya secara jelas. Pemerintah tidak perlu membuatnya rumit.Jangan sampai niat baik sertifikasi perkawinan ini menjadi penghalang orang untuk berumah tangga. Jangan sampai sertifikasi ini malah justru mempersulit orang yang ingin menikah. Belum lagi nanti dengan keharusan sertifikasi justru banyak yang enggan menikah dan memilih kumpul kebo karena beratnya syarat yang diberikan pemerintah.Rencana sertifikasi dalam implementasinya juga sangat membuka potensi dan ladang korupsi baru bagi yang ingin cepat atau gampang untuk mendapatkan surat tersebut. Belum lagi nasib masyarakat yang rumahnya terpencil dan jauh dari kantor-kantor pemerintahan juga perlu dipikirkan. Itulah sebagian dampak negatif yang perlu dipikirkan agar pelaksanaan sertifikasi tepat sasaran kalau benar-benar nanti dijalankan.Karena itu sebaiknya rencana sertifikasi harus benar-benar digodok secara matang tentang manfaat dan mudaratnya. Toh, saat ini Kemenag melalui pegawai dan penyuluhnya sudah melakukan berbagai pembinaan terhadap pasangan pranikah. Kemenag memiliki program bimbingan pranikah agar suami-istri memiliki pemahaman yang matang tentang hakikat berumah tangga.Selain itu yang tidak kalah penting adalah pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Karena mayoritas alasan perceraian di Indonesia adalah masalah ekonomi. Dengan kesejahteraan ekonomi, angka perceraian diperkirakan juga akan menurun. Jadi masih perlukah sertifikasi perkawinan?
Adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy kemarin yang melempar wacana tersebut. Muhadjir mengungkapkan sertifikasi perkawinan akan digunakan sebagai syarat warga untuk menikah. Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut warga akan dibekali dulu dengan berbagai pengetahuan tentang perkawinan. Mulai dari bagaimana mengelola masalah ekonomi rumah tangga atau keluarga hingga kesehatan reproduksi bagi calon pengantin. Selain tujuan utamanya mencegah perceraian, program sertifikasi ini juga agar pasangan tersebut menghasilkan generasi yang berkualitas.Secara umum tujuan rencana pemerintah yang akan mewajibkan sertifikasi perkawinan tersebut memang sangat mulia. Apalagi menurut data yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag), angka perceraian di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Kita ambil contoh data tahun 2015, Kemenag menyebut ada 398.245 gugatan perceraian.Dua tahun berselang, tahun 2017, gugatan cerai yang terdaftar meningkat menjadi 415.898 buah. Hampir setengah juta pasangan suami istri bercerai selama setahun. Ini tentu angka yang sangat besar. Orang begitu mudah menjatuhkan talak kepada pasangannya atau dengan kata lain terjadi desakralisasi perkawinan. Perkawinan yang seharusnya dipertahankan hingga mati ternyata banyak kandas di tengah jalan.
Begitu besarnya angka perceraian memang perlu solusi yang komprehensif. Bukan solusi yang parsial. Apakah sertifikasi perkawinan ini merupakan satu-satunya solusi untuk mengurangi perceraian? Nanti dulu. Kebijakan tersebut mungkin bisa berjalan baik. Namun bisa juga sertifikasi ini tidak akan berpengaruh banyak pada penurunan angka perceraian.Yang jelas, untuk mencari solusi yang komprehensif atas permasalahan di atas, kita perlu menelaah penyebab utama dari maraknya perceraian di masyarakat. Dari hasil penelitian berbagai lembaga, perceraian disebabkan banyak faktor, mulai seringnya bertengkar, sudah tidak ada lagi rasa kecocokan, ada orang ketiga (selingkuh), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga faktor ekonomi.Intinya terjadi salah pengelolaan rumah tangga dan faktor finansial. Yang menarik terjadi tren yang mengejutkan, kalau sebelumnya lelaki yang meminta cerai, saat ini ternyata justru yang terjadi perempuan lebih banyak yang meminta berpisah dari suaminya.Berbagai faktor penyebab perceraian di atas harus dilihat secara utuh. Perlu diingat bahwa masalah pernikahan ini sangat kompleks. Apalagi hal ini sangat bersifat privat (pribadi) yang juga menyangkut soal keyakinan agama. Dalam agama Islam, misalnya, pernikahan sudah ada syarat dan aturannya secara jelas. Pemerintah tidak perlu membuatnya rumit.Jangan sampai niat baik sertifikasi perkawinan ini menjadi penghalang orang untuk berumah tangga. Jangan sampai sertifikasi ini malah justru mempersulit orang yang ingin menikah. Belum lagi nanti dengan keharusan sertifikasi justru banyak yang enggan menikah dan memilih kumpul kebo karena beratnya syarat yang diberikan pemerintah.Rencana sertifikasi dalam implementasinya juga sangat membuka potensi dan ladang korupsi baru bagi yang ingin cepat atau gampang untuk mendapatkan surat tersebut. Belum lagi nasib masyarakat yang rumahnya terpencil dan jauh dari kantor-kantor pemerintahan juga perlu dipikirkan. Itulah sebagian dampak negatif yang perlu dipikirkan agar pelaksanaan sertifikasi tepat sasaran kalau benar-benar nanti dijalankan.Karena itu sebaiknya rencana sertifikasi harus benar-benar digodok secara matang tentang manfaat dan mudaratnya. Toh, saat ini Kemenag melalui pegawai dan penyuluhnya sudah melakukan berbagai pembinaan terhadap pasangan pranikah. Kemenag memiliki program bimbingan pranikah agar suami-istri memiliki pemahaman yang matang tentang hakikat berumah tangga.Selain itu yang tidak kalah penting adalah pemerintah sebaiknya fokus pada perbaikan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Karena mayoritas alasan perceraian di Indonesia adalah masalah ekonomi. Dengan kesejahteraan ekonomi, angka perceraian diperkirakan juga akan menurun. Jadi masih perlukah sertifikasi perkawinan?
(nag)