Mencari Jalan Tengah Polemik Salam Keagamaan

Selasa, 12 November 2019 - 12:53 WIB
Mencari Jalan Tengah Polemik Salam Keagamaan
Mencari Jalan Tengah Polemik Salam Keagamaan
A A A
JAKARTA - Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan (LKAB Nusantara), Fadhli Harahab memandang, polemik salam keagamaan menjadi perbincangan publik dalam beberapa hari ini. Polemik ini muncul setelah keluar surat edaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang melarang pejabat muslim mengucap salam kepada pemeluk non muslim.

"Bak gayung bersambut, imbauan itu diamini MUI Pusat dengan alasan menjaga kemurnian akidah umat islam," ujar Fadhli kepada Sindonews, Selasa (12/11/2019).

Fadhli menyebut, baru kali ini salam keagamaan menjadi perhatian publik setelah populernya 'om swasti astu' (Hindu) dan 'Namo Buddhya' (Budha). Dahulu, salam ini tidak sepopuler seperti saat ini, tetapi bukan tidak dipraktikkan.

Menurutnya, sepintas, kalimat salam kedua agama ini (Hindu dan Buddha) sama seperti salam keagamaan lainnya. Salam khas kedua agama ini juga memiliki arti yang tidak terlalu jauh berbeda dengan salam agama lain, misalnya assalamualaikum (Islam) atau salam sejahtera (kristen).

"Tetapi, persoalan muncul manakala kalimat-kalimat itu dimaknai mendalam," tutur dia.

Di sisi lain, problem salam keagamaan menjadi polemik lantaran harus dikaitkan dengan akidah atau kepercayaan masing-masing umat beragama. Sementara, setiap penganut meyakini bahwa dalam salam-salam tersebut terdapat permohonan kepada masing-masing sesembahan, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dalam salam-salam itu, lanjut Fadhli, dimaknai sebagai doa kepada Tuhan masing-masing penganut yang tidak boleh dicampuraduk dengan kepercayaan lainnya. "Terlebih dalam ajaran Islam yang menganut kepercayaan monoteisme (Tauhid)," ujarnya.

Selain itu, ditambahkan Fadhli, karena merupakan doa yang mengandung permohonan kepada Tuhan, maka tidak etis, bahkan tidak boleh dimohonkan oleh seorang muslim untuk penganut agama lain, juga sebaliknya.

"Dari sedikit paparan di atas, kira-kira begitulah saya menyimpulkan maksud imbauan MUI kepada pejabat publik beragama Islam," ucapnya.

Lebih jauh, Fadhli menerangkan bahwa, setiap pemeluk agama tentu memahami batas-batas toleransi dalam kehidupan berbangsa. Sebagai negara bangsa yang sangat pluralis, toleransi tentunya menjadi sebuah keniscayaan guna menciptakan kehidupan dan peradaban yang lebih baik. Tak terkecuali dalam konteks beragama.

Namun demikian, toleransi dalam beragama tidak mesti ditandai dengan mencampuradukkan keyakinan umat yang satu dengan yang lain. Dalam konteks salam keagamaan, seyogyanya harus ada solusi alternatif untuk meredam gejolak baru ini.

Kata Fadhli, sama seperti persoalan prinsip keagamaan lainnya, yang mana setiap umat dituntut saling menghormati ajaran masing-masing penganut. "Inilah menurut saya toleransi elitis, karena setiap perbedaan tidak mesti harus disatukan, justru harus dihormati sebagai kekayaan khazanah bangsa Indonesia," ungkapnya.

Dikatakan Alumni Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini, dalam konteks salam keagamaan, meyakini setiap agama memiliki salam khas yang merepresentasikan permohonan seorang hamba kepada tuhan yang diyakini. Di sinilah letak prinsip penghormatan terhadap setiap bentuk ubudiyah (ibadah) umat beragama. Tidak sebaliknya, untuk disama-samakan, dan bukan pula untuk dibeda-bedakan.

Berbeda kemudian, jika salam yang dimaknai sebagai doa (permohonan) memiliki relasi vertikal antara hamba dan tuhannya. Jadi, mana mungkin seorang hamba yang beriman kepada tuhan yang diyakini memohon kepada tuhan lainnya yang tidak diyakininya.

"Jika salam hanya dimaknai sebagai simbolisasi sosial, sebagai perekat persaudaraan dan persatuan. Hanya ada relasi horizontal dan tanpa dimensi vertikal, meskipun dalam setiap kalimatnya mengandung arti uluhiah. Hal inilah yang terjadi di tengah masyarakat kita, salam sebatas simbol," pungkasnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3521 seconds (0.1#10.140)