Adanya Desa Fiktif, ICW Ungkap 212 Kepala Desa Telah Jadi Tersangka
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dalam kurun waktu 2016-2018 tercatat telah 212 kepala desa menjadi tersangka. Hal ini disebabkan proses kebijakan yang diselewengkan sehingga unsur kepala desa berani untuk melakukan korupsi.
Hal itu juga untuk menanggapi adanya desa fiktif yang berada di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diduga merugikan keuangan negara atas alokasi dana desa (ADD) Tahun Anggaran 2016-2018.
"Sudah saya sampaikan pada 2016 -2017 ada 110 kepala desa. Tahun 2018 akhir kita catat sampai dengan Desember, itu ada sampai dengan 102 tersangka. Berarti sudah 212 kepala desa jadi tersangka dalam kurun waktu tiga tahun terakhir," ujar Peneliti ICW, Tama S Langkun di Gedung Edukasi dan Antikorupsi, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).
Tama berharap aparat penegak hukum dalam hal ini KPK, Kejaksaan Agung dan Polri dapat turut mengawasi aliran dana desa agar tidak terjadinya penyimpangan. Fungsi pengawasan menjadi penting agar tidak adanya praktik korupsi.
"Tentu bicara soal pengawasan, gimana pengawasannya? Dari mulai anggaran tersebut keluar dikucurkan sampai diterima, dan juga bagaimana anggaran itu dikelola," jelasnya.
Maka dari itu, menurutnya, aparat penegak hukum harus bertanggung jawab dalam hal ini. Karena sistem yang menjadikan para penyelenggara desa melakukan praktik kejahatan.
"Tentu kalo yang harus bertanggung jawab ya semuanya, karena ini kita bicara soal kebijakan, bicara soal sistem," tuturnya.
Hal itu juga untuk menanggapi adanya desa fiktif yang berada di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diduga merugikan keuangan negara atas alokasi dana desa (ADD) Tahun Anggaran 2016-2018.
"Sudah saya sampaikan pada 2016 -2017 ada 110 kepala desa. Tahun 2018 akhir kita catat sampai dengan Desember, itu ada sampai dengan 102 tersangka. Berarti sudah 212 kepala desa jadi tersangka dalam kurun waktu tiga tahun terakhir," ujar Peneliti ICW, Tama S Langkun di Gedung Edukasi dan Antikorupsi, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).
Tama berharap aparat penegak hukum dalam hal ini KPK, Kejaksaan Agung dan Polri dapat turut mengawasi aliran dana desa agar tidak terjadinya penyimpangan. Fungsi pengawasan menjadi penting agar tidak adanya praktik korupsi.
"Tentu bicara soal pengawasan, gimana pengawasannya? Dari mulai anggaran tersebut keluar dikucurkan sampai diterima, dan juga bagaimana anggaran itu dikelola," jelasnya.
Maka dari itu, menurutnya, aparat penegak hukum harus bertanggung jawab dalam hal ini. Karena sistem yang menjadikan para penyelenggara desa melakukan praktik kejahatan.
"Tentu kalo yang harus bertanggung jawab ya semuanya, karena ini kita bicara soal kebijakan, bicara soal sistem," tuturnya.
(pur)