Forum Mufakat Budaya 2019 Soroti Masalah Bangsa
A
A
A
JAKARTA - Berbagai haru-biru dalam kehidupan sosial-politik-kebudayaan belakangan ini sebenarnya menyimpan magma atau bom waktu di dalamnya. Ia seperti penyakit yang kronik sekaligus akut, yang dampaknya bertebar di mana-mana dalam bentuk aksi, peristiwa atau fenomena baru yang terjadi di masyarakat, di tengah kehidupan kita.
Menyadari kenyataan itu, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) mengajak para eksponennya, mewakili semua area demografis juga etnis, kumpul bersama dan temu diskursif membincangkan masalah tersebut, dalam acara Temu MBI 2019, yang berlangsung di Hotel Century Park, Jakarta.
Pada pertemuan MBI tahun ini, akan ada tujuh siding, masing-masing dengan bahasan Problem Sosio-Politik Manusia Unggul; Pemahaman, Tantangan, Jawaban untuk Industri 4.0; Menguat dan Melebarnya Radikalisme: Problem dan Solusi; Papua, Komprehensi Masalah dan Solusi Baru; Adab dan Budaya, Krisis dan Jalan Keluar; Finalisasi Hasil Rapat Tiap Isu/Masalah; serta Finalisasi, Pemufakatan, Rekomendasi, Penandatanganan di hari penutupan.
"Temu Mufakat Budaya Indonesia (MBI) 2019" ini mempertemukan antara 50 pemikir, ilmuwan, cendekiawan, budayawan, sastrawan, rohaniawan, tetua adat, dan tokoh strategis lainnya dalam satu forum untuk saling bertukar pikiran, mengidentifikasi masalah mendasar negeri ini serta mencapai mufakat terkait upaya solutifnya," kata Budayawan Radhar Panca Dahana dalam paparannya saat pembukaan Temu MBI 2019, di Hotel Centry Park, Jakarta, kemarin.
Radhar yang juga Koordinator Temu MBI 2019 melanjutkan, semua peristiwa yang terjadi belakangan ini tidak lain puncak dari gunung es penyakit berat atau magma dalam tubuh bangsa kita. Mulai dari kejahatan di dalam keluarga yang tidak ada presedennya, perilaku degil elit yang kian merajalela, kasus Papua yang kian akut, hingga problem rutin seperti terorisme/radikalisme, narkoba, kemiskinan atau ketimpangan sosial-ekonomi yang kian tajam, dan banyak masalah lainnya.Radhar bahkan sampai menyinggung kasus seorang ibu di Sukabumi, Jawa Barat yang tega membunuh anak angkat hingga inses dengan dua putranya, pada September lalu.
"Coba, kawan-kawan yang jago menulis. Sebelum ada kasus ini, sampai nggak di imajinasi kalian untuk menulis peristiwa seperti ini. Tidak ada kan. Karena peristiwa seperti ini sudah di luar akal sehat kita," tegas Radhar.
Dengan alasan itulah, MBI 2019 dengan tema "Penyakit dan Panasea Hidup Berbangsa Kita” yang dimulai Selasa (29/10) sampai Kamis (31/10) menjadi ruang dialog untuk identifikasi dan diagnosis berbagai penyakit kronis bangsa ini, serta menampung aspirasi dan masukan dari para pemangku kepentingan dan kelompok strategis dari berbagai wilayah Indonesia.
Sementara salah seorang peserta pertemuan dari Palembang, Sumatera Selatan Taufik Wijaya menyampaikan, bahwa persoalan bangsa Indonesia saat ini tak hanya sosial-politik-kebudayaan, tapi juga kerusakan lingkungan.
Sekadar catatan, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) sendiri adalah sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka Indonesia, baik dari latar belakang akademik, artistik, religius, tradisi, pemerintahan dan lainnya, yang didirikan pada medio Juni 2007 di Jakarta. Berawal dari inisiatif Radhar Panca Dahana, yang kemudian menjadi koordinatornya, mengakomodir kegelisahan teman-temannya, para aktivis seni dan budaya, pada situasi negeri pada masa itu. (Hendri Irawan)
Menyadari kenyataan itu, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) mengajak para eksponennya, mewakili semua area demografis juga etnis, kumpul bersama dan temu diskursif membincangkan masalah tersebut, dalam acara Temu MBI 2019, yang berlangsung di Hotel Century Park, Jakarta.
Pada pertemuan MBI tahun ini, akan ada tujuh siding, masing-masing dengan bahasan Problem Sosio-Politik Manusia Unggul; Pemahaman, Tantangan, Jawaban untuk Industri 4.0; Menguat dan Melebarnya Radikalisme: Problem dan Solusi; Papua, Komprehensi Masalah dan Solusi Baru; Adab dan Budaya, Krisis dan Jalan Keluar; Finalisasi Hasil Rapat Tiap Isu/Masalah; serta Finalisasi, Pemufakatan, Rekomendasi, Penandatanganan di hari penutupan.
"Temu Mufakat Budaya Indonesia (MBI) 2019" ini mempertemukan antara 50 pemikir, ilmuwan, cendekiawan, budayawan, sastrawan, rohaniawan, tetua adat, dan tokoh strategis lainnya dalam satu forum untuk saling bertukar pikiran, mengidentifikasi masalah mendasar negeri ini serta mencapai mufakat terkait upaya solutifnya," kata Budayawan Radhar Panca Dahana dalam paparannya saat pembukaan Temu MBI 2019, di Hotel Centry Park, Jakarta, kemarin.
Radhar yang juga Koordinator Temu MBI 2019 melanjutkan, semua peristiwa yang terjadi belakangan ini tidak lain puncak dari gunung es penyakit berat atau magma dalam tubuh bangsa kita. Mulai dari kejahatan di dalam keluarga yang tidak ada presedennya, perilaku degil elit yang kian merajalela, kasus Papua yang kian akut, hingga problem rutin seperti terorisme/radikalisme, narkoba, kemiskinan atau ketimpangan sosial-ekonomi yang kian tajam, dan banyak masalah lainnya.Radhar bahkan sampai menyinggung kasus seorang ibu di Sukabumi, Jawa Barat yang tega membunuh anak angkat hingga inses dengan dua putranya, pada September lalu.
"Coba, kawan-kawan yang jago menulis. Sebelum ada kasus ini, sampai nggak di imajinasi kalian untuk menulis peristiwa seperti ini. Tidak ada kan. Karena peristiwa seperti ini sudah di luar akal sehat kita," tegas Radhar.
Dengan alasan itulah, MBI 2019 dengan tema "Penyakit dan Panasea Hidup Berbangsa Kita” yang dimulai Selasa (29/10) sampai Kamis (31/10) menjadi ruang dialog untuk identifikasi dan diagnosis berbagai penyakit kronis bangsa ini, serta menampung aspirasi dan masukan dari para pemangku kepentingan dan kelompok strategis dari berbagai wilayah Indonesia.
Sementara salah seorang peserta pertemuan dari Palembang, Sumatera Selatan Taufik Wijaya menyampaikan, bahwa persoalan bangsa Indonesia saat ini tak hanya sosial-politik-kebudayaan, tapi juga kerusakan lingkungan.
Sekadar catatan, Mufakat Budaya Indonesia (MBI) sendiri adalah sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka Indonesia, baik dari latar belakang akademik, artistik, religius, tradisi, pemerintahan dan lainnya, yang didirikan pada medio Juni 2007 di Jakarta. Berawal dari inisiatif Radhar Panca Dahana, yang kemudian menjadi koordinatornya, mengakomodir kegelisahan teman-temannya, para aktivis seni dan budaya, pada situasi negeri pada masa itu. (Hendri Irawan)
(nfl)