Pakar Hukum: Pimpinan KPK Tetap sebagai Pengendali Tertinggi
A
A
A
JAKARTA - Mantan Pelaksana Tugas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji angkat bicara soal Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi sudah mulai berlaku hari ini. Menurutnya, KPK memahami kekeliruan artifisial tentang hilangnya Pasal 21 ayat (4) UU KPK Lama (Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum), dampaknya terkesan menyesatkan pemahaman publik atas peran KPK dalam pemberantasan korupsi.
"Polemik eksistensi Pimpinan KPK sebagai penyidik/penuntut umum atau bukan sebaiknya dihentikan secara bijak dengan pemahaman yang seutuhnya, jangan dimaknai secara parsial sehingga bisa terkesan provokatif," ujarnya dalam keterangannya kepada SINDOnews, Kamis (17/10/2019).
Bagi dirinya memahami revisi UU KPK adalah facet antara hukum pidana dengan hukum administrasi negara juga dengan hukum tata negara. Jadi tidak bisa dibaca secara artifisial dan parsial saja tetapi harus dimaknai dengan pemahaman seutuhnya karena pasal-pasal ini saling berkaitan pemaknaannya secara interdisipliner keilmuan.
"Bagi saya dari sisi filosofi yuridis, pemahaman ini adalah isu interdisipliner sebagai facet antara hukum pidana dengan hukum administrasi negara (HAN). Pimpinan KPK adalah pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi, begitu pula dan karenanya jabatan," jelasnya.
Menurut Indriyanto, Deputi Penindakan berikut levelitas penyidik di bawahnya haruslah dimaknai sebagai pelaksana teknis atas pengendali kebijakan penegakan hukum dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan Pasal 21 UU KPK baru, komposisi dari KPK adalah Dewan Pengawas, Pimpinan KPK dan Pegawai KPK.
"Memang benar bahwa tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum, namun dalam Pasal 6 huruf e dan f, KPK (salah satu komposisi KPK adalah pimpinan) bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi. Dalam pemahaman ini, Pimpinan KPK adalah penyidik, penuntut, pelaksana eksekusi," papar dia.
Dr sisi kompetensi, kata dia, tidak mungkin Pimpinan KPK (yang bukan dari unsur Polri/kejaksaan) berposisi sebagai penyidik karena apabila sebagai penyidik maka Pimpinan KPK harus mengikuti persyaratan ikut dan lulus pendidikan di bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan (Pasal 45A Revisi). Sehingga tidak sesuai atau memang dieksepsionalkan dengan levelitas pimpinan secara organisatoris.
"Jadi Pimpinan KPK, walau tidak tercantum eksplisit adalah sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum yang harus diartikan secara hukumn administrasi negara bahwa secara ex officio, Pimpinan KPK adalah tetap statusnya sebagai penyidik dan penuntut umum," tandasnya.
Pakar Hukum Pidana dari UI ini menjelaskan dengan pemahaman Pimpinan KPK sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang karenanya secara ex officio haruslah diartikan pimpinan sebagai penyidik atau penuntut umum. Maka kewenangan Pimpinan KPK tetap yang menentukan dapat tidaknya laporan masyarakat berstatus sebagai Lidtup dan penetapan tersangkap.
"Artinya Pimpinan KPK tetap berhak menandatangani surat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dalam bentuk administrasi penindakan hukum. Inilah makna facet hukum pidana dan hukum administrasi negara dalam membicarakan dan menjawab polemik tersebut," kata dia.
Dia menambahkan, memang ada misinterpretasi atas pemahaman pasal per pasal UU KPK juga diartikan sec a contrario sehingga mengandung pemahaman yang tidak perspektif, tendensius dan justru menimbulkan misleading opinion. Bagi dia, secara hukum dengan adanya revisi UU KPK, Pimpinan KPK tetap memiliki legitimasi hukum sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi dari marwah kewenangannya atas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan pelaksana eksekusi penetapan/putusan pengadilan.
"Jadi sangat tidak benar pendapat yang katakan seolah Pimpinan KPK kehilangan marwahnya, kehilangan kewenangannya sebagai penyidik/penuntut umum. Operasionalisasi Pimpinan KPK dalam status dan eksistensi yang sama dengan UU KPK yang lama," tutup Indriyanto.
"Polemik eksistensi Pimpinan KPK sebagai penyidik/penuntut umum atau bukan sebaiknya dihentikan secara bijak dengan pemahaman yang seutuhnya, jangan dimaknai secara parsial sehingga bisa terkesan provokatif," ujarnya dalam keterangannya kepada SINDOnews, Kamis (17/10/2019).
Bagi dirinya memahami revisi UU KPK adalah facet antara hukum pidana dengan hukum administrasi negara juga dengan hukum tata negara. Jadi tidak bisa dibaca secara artifisial dan parsial saja tetapi harus dimaknai dengan pemahaman seutuhnya karena pasal-pasal ini saling berkaitan pemaknaannya secara interdisipliner keilmuan.
"Bagi saya dari sisi filosofi yuridis, pemahaman ini adalah isu interdisipliner sebagai facet antara hukum pidana dengan hukum administrasi negara (HAN). Pimpinan KPK adalah pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi, begitu pula dan karenanya jabatan," jelasnya.
Menurut Indriyanto, Deputi Penindakan berikut levelitas penyidik di bawahnya haruslah dimaknai sebagai pelaksana teknis atas pengendali kebijakan penegakan hukum dalam lingkup tupoksi di bidang penindakan pemberantasan korupsi. Dia mencontohkan Pasal 21 UU KPK baru, komposisi dari KPK adalah Dewan Pengawas, Pimpinan KPK dan Pegawai KPK.
"Memang benar bahwa tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum, namun dalam Pasal 6 huruf e dan f, KPK (salah satu komposisi KPK adalah pimpinan) bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi. Dalam pemahaman ini, Pimpinan KPK adalah penyidik, penuntut, pelaksana eksekusi," papar dia.
Dr sisi kompetensi, kata dia, tidak mungkin Pimpinan KPK (yang bukan dari unsur Polri/kejaksaan) berposisi sebagai penyidik karena apabila sebagai penyidik maka Pimpinan KPK harus mengikuti persyaratan ikut dan lulus pendidikan di bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan kepolisian dan/atau kejaksaan (Pasal 45A Revisi). Sehingga tidak sesuai atau memang dieksepsionalkan dengan levelitas pimpinan secara organisatoris.
"Jadi Pimpinan KPK, walau tidak tercantum eksplisit adalah sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum yang harus diartikan secara hukumn administrasi negara bahwa secara ex officio, Pimpinan KPK adalah tetap statusnya sebagai penyidik dan penuntut umum," tandasnya.
Pakar Hukum Pidana dari UI ini menjelaskan dengan pemahaman Pimpinan KPK sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi atas kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi yang karenanya secara ex officio haruslah diartikan pimpinan sebagai penyidik atau penuntut umum. Maka kewenangan Pimpinan KPK tetap yang menentukan dapat tidaknya laporan masyarakat berstatus sebagai Lidtup dan penetapan tersangkap.
"Artinya Pimpinan KPK tetap berhak menandatangani surat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dalam bentuk administrasi penindakan hukum. Inilah makna facet hukum pidana dan hukum administrasi negara dalam membicarakan dan menjawab polemik tersebut," kata dia.
Dia menambahkan, memang ada misinterpretasi atas pemahaman pasal per pasal UU KPK juga diartikan sec a contrario sehingga mengandung pemahaman yang tidak perspektif, tendensius dan justru menimbulkan misleading opinion. Bagi dia, secara hukum dengan adanya revisi UU KPK, Pimpinan KPK tetap memiliki legitimasi hukum sebagai pengendali dan penanggung jawab tertinggi dari marwah kewenangannya atas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan pelaksana eksekusi penetapan/putusan pengadilan.
"Jadi sangat tidak benar pendapat yang katakan seolah Pimpinan KPK kehilangan marwahnya, kehilangan kewenangannya sebagai penyidik/penuntut umum. Operasionalisasi Pimpinan KPK dalam status dan eksistensi yang sama dengan UU KPK yang lama," tutup Indriyanto.
(kri)