TNI-Polri Tegaskan Tidak Ada Toleransi Terhadap Pengganggu

Selasa, 15 Oktober 2019 - 07:08 WIB
TNI-Polri Tegaskan Tidak...
TNI-Polri Tegaskan Tidak Ada Toleransi Terhadap Pengganggu
A A A
JAKARTA - Aparat TNI dan Polri memastikan kesiapannya untuk mengamankan prosesi pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang. Bahkan, TNI dan Polri menegaskan tidak akan menolerir upaya-upaya yang akan mengganggu prosesi pelantikan.

Pangdam Jaya Mayjen TNI Eko Margiyono mengatakan, sejauh ini tidak ada pemberian izin terhadap aksi unjuk rasa saat pelaksanaan prosesi pelantikan nanti. Jika tetap ada pihak-pihak yang melakukan kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi, itu termasuk kegiatan ilegal. Eko pun mengimbau kepada seluruh pengunjuk rasa agar tidak mendekati Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada 20 Oktober.

“Kaitannya dengan clearance, sesuai dengan instruksi kepada pihak kapolda dan Kodam Jaya bahwa untuk 20 Oktober pemberitahuan adanya unjuk rasa tidak akan diproses, sehingga kalaupun ada unjuk rasa itu bahasanya tidak resmi atau ilegal,” tandas Eko seusai rapat koordinasi dengan pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Karena itu, Eko menyatakan Kodam Jaya sudah menyiapkan parameter di sekitar Kompleks Parlemen dan sudah dibuat pengamanan sebagaimana halnya menghadapi unjuk rasa beberapa waktu lalu. “Tidak ada yang spesifik terkait pengamanan 20 Oktober nanti,” paparnya.

Meski demikian, jika tetap ada pihak-pihak yang memaksakan diri untuk menggelar aksi unjuk rasa, Eko menyarankan agar mereka tidak mendekati Kompleks Parlemen Senayan, serta mengajak semua pihak untuk menyaksikan prosesi pelantikan presiden dan wapres terpilih secara khidmat. “Kami hanya mengimbau pengunjuk rasa tidak ada yang mendekati Gedung DPR/MPR. Mari kita saksikan pelantikan presiden dan wapres terpilih secara khidmat,” tandasnya.

Menurut dia, ini adalah pekerjaan besar bangsa di mana acara tersebut akan ditonton setidaknya oleh delapan kepala negara secara langsung yang akan hadir dan sembilan utusan khusus kepala pemerintahan atau negara, sehingga ada total 17 negara asing di luar duta besar yang akan menyaksikan.

“Mari tunjukkan Indonesia sebagai bangsa beradab dan ramah. Apa pun perbedaan kita, mari kita singkirkan, inilah gong hasil pemilu lalu,” serunya. Sebanyak 27.000 personel gabungan TNI-Polri akan dikerahkan untuk mengamankan pelantikan presiden dan wakil presiden.

Seluruh personel akan mengamankan tempat-tempat sentral di Jakarta. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan, selain di Jakarta, pengamanan juga akan dilakukan di seluruh daerah. “27.000 personel disiapkan tidak hanya dari Polri, tapi juga TNI, pemerintah daerah, dan instansi terkait,” kata Asep.

Seluruh personel tersebut adalah pasukan Mantap Brata yang ditugaskan melakukan pengamanan selama rangkaian agenda pemilu serentak. “Dalam rangkaian pesta demokrasi, Polri menggelar Operasi Mantap Brata yang baru akan berakhir pada 21 Oktober 2019 setelah pelantikan presiden dan wakil presiden. Pasukan itulah yang mengamankan besok,” ungkapnya.

Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, MPR memastikan pelantikan presiden dan wakil presiden tetap dilaksanakan pada 20 Oktober 2019 pukul 14.30 WIB. Bambang pun meminta agar seluruh komponen bangsa untuk ikut menyukseskan prosesi pelantikan ini.

“Bukannya MPR ingin melarang, namun sebagai sesama anak bangsa, kami mengetuk kebesaran hati adik-adik mahasiswa maupun masyarakat yang ingin berdemonstrasi di acara pelantikan bisa mengatur ulang demonstrasinya ke lain waktu, sehingga proses pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan presiden-wakil presiden bisa berjalan khidmat. Ini juga menyangkut nama baik bangsa di mata dunia,” tandasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan bahwa Joko Widodo dan Ma’ruf Amin terpilih sebagai presiden dan wakil presiden melalui proses pemilu yang sah dan konstitusional. Karena itu, menurut dia, berbagai upaya yang akan mengganggu pelantikan terhadap Joko Widodo dan Ma’ruf Amin merupakan tindakan inkonstitusional

Basarah mengatakan, Indonesia sebagai negara demokratis telah memastikan bahwa sistem presidensial tetap harus dijaga selama lima tahun mendatang. Tidak boleh ada upaya penjatuhan kekuasaan melalui proses politik.

“Sebagai negara demokrasi yang berdasar atas hukum, bangsa Indonesia telah memastikan bahwa sistem pemerintahan presidensial yang dianut akan memastikan setiap presiden yang telah dipilih dalam sebuah pemilu yang demokratis wajib dijaga fix term kekuasaan pemerintahan selama lima tahun dan tidak boleh dijatuhkan karena alasan politik,” ujarnya.

Karena itu, lanjutnya, upaya-upaya kekerasan seperti aksi-aksi terorisme dan penyerangan terhadap pejabat negara harus dilawan sebab perilaku itu jelas bertentangan dengan konstitusi dan hukum di Indonesia. “Bangsa Indonesia tidak boleh gentar menghadapi aksi terorisme. Sudah jelas bahwa tujuan dari terorisme adalah membuat rasa takut,” papar Ketua DPP PDIP itu.

Yang menjadi target atau sasaran adalah pejabat negara. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari doktrin Thoghut dan Aimmatul Kufr (pemimpin kafir). Aparat dan penyelenggara negara dianggap menghalangi tujuan kelompok teror mewujudkan Daulah Islamiyah.

Basarah juga meminta aparat penegak hukum untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan aksi teror. “Perlunya peningkatan kewaspadaan. Kejadian penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto menunjukkan bahwa pelaku bisa mendekat ke target tanpa ada deteksi dini dari aparat,” ujarnya
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0993 seconds (0.1#10.140)