Manuver Demokrat-Gerindra Bisa Ubah Peta Koalisi
A
A
A
JAKARTA - Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kamis, 10 Oktober di Istana Negara, disusul pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pada Jumat kemarin bisa mengubah peta koalisi.
Pertemuan tersebut dipastikan membicarakan mengenai pembagian kue kekuasaan di kabinet. Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin, mengatakan, dalam pertemuan pertama antara Jokowi dengan SBY, sudah sangat jelas ketika SBY mengatakan Demokrat akan mendukung pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
”Artinya pertemuan kemarin SBY-Jokowi itu memfinalisasi dukungan Demokrat dan SBY terhada pemerintah. Ketika Demokrat mendukung pemerintah, artinya pasti dapat kursi kabinet. Soal siapa yang bakal menduduki, kalau menurut saya pasti AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) sebagai golden boy-nya Demokrat. Itu clear,” tutur Ujang.
Sementara posisi Gerindra meski secara politik Prabowo belum menyatakan bergabung dengan koalisi Jokowi, tetapi arah koalisi itu dinilai sudah mulai terbentuk dengan bertemunya Jokowi-Prabowo.
”Dugaan saya ini bagian dari memfinalisasi apakah memang Gerindra dan Prabowo akan masuk koalisi atau memang di luar pemerintahan. Tapi kalau menurut hemat saya, bisa saja pertamuan ini adalah win-win solution Gerindra yang ingin masuk kabinet. Tidak mungkin pertemuan ini dilaksanakan ketika Gerindra tidak punya maksud. Pasti ada hal yang ingin dibicarakan untuk masa depan Partai Gerindra,” tuturnya.
Ujang mengatakan, saat ini semua parpol berkepentingan untuk masuk ke pemerintah demi kepentingan mengumpulkan logistik untuk keperluan Pemilu 2024.
”Bohong jika parpol hari ini, baik yang di koalisi ataupun oposisi, tidak mempersiapkan diri menghadapi 2024. Oleh karena itu, kursi kabinet menjadi penting sebagai bagian untuk mempersiapkan logisltik Pemilu 2024,” urainya.
Jika asumsi itu benar adanya maka peta koalisi pasti berubah. Menurut dia, Jokowi akan mendapatkan amunisi kekuatan baru yaitu dari Demokrat yang sudah clear mendukung, atau dari Gerindra. ”Maka yang terjadi, ini pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik dan efektif karena semua parpol ingin begabung dengan koalisi,” paparnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menilai, di negara demokrasi manapun, suatu pemerintahan yang kuat diperlukan, namun di saat yang sama juga membutuhkan oposisi yang kuat.
”Kalau Gerindra masuk koalisi Jokowi, lalu mendapatkan jatah tiga menteri, katakanlah, inikan tidak menyisakan oposisi hanya PKS. Kalau PAN kan ingin ke pemerintah, tapi resistensinya tinggi, ditolak parpol koalisi. Seandainya PAN dan PKS menjadi oposisi, itu bukan menjadi sebuah kekuatan oposisi yang baik, tidak seimbang antara kekuatan koalisi Jokowi dengan kekuatan oposisi yang ada,” paparnya.
Ujang juga mengatakan masuknya Demokrat dan Gerindra menimbulkan dinamika baru. Masuknya Demokrat menjadi resisten bagi PDIP, namun relatif diterima parpol koalisi lainnya. Sebaliknya, masuknya Gerindra akan menjadi sekutu baru bagi PDIP, tapi resisten bagi parpol koalisi lainnya, terutama Nasdem.
”Nah, ini juga menarik. Artinya ada perbedaan pola antara Demokrat dan Gerindra. Demokrat masuk itu resistennya dengan PDIP, tapi kalau Gerindra masuk, yang welcome justru PDIP,” paparnya.
Masuknya Demokrat dan Gerindra, di sisi lain, juga bisa memicu kecemburuan dari parpol koalisi. Sebab, hal itu akan membuat jatah kursi menteri parpol koalisi berpotensi berkurang.
”Itulah yang membuat kecemburuan terjadi. Partai-partai yang sudah berdarah-darah, sudah berkeringat, tapi dapatnya (kursi menteri) sama bahkan ada yang lebih kecil. Inilah yang sebenarnya ditolak Nasdem dan kawan-kawan. Inilah yang sebenarnya yang merusak peta politik,” katanya.
Tapi peta ini disukai oleh PDIP karena dengan masuknya Gerindra, dia berkawan. PDIP memiliki sekutu baru. Tapi di saat muncul sama resistensi yang tinggi dari Nasdem dari yang lain. ”Inilah yang sebenarnya membuat Jokowi pening dan pusing,” paparnya.
Pertemuan tersebut dipastikan membicarakan mengenai pembagian kue kekuasaan di kabinet. Pengamat politik Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin, mengatakan, dalam pertemuan pertama antara Jokowi dengan SBY, sudah sangat jelas ketika SBY mengatakan Demokrat akan mendukung pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
”Artinya pertemuan kemarin SBY-Jokowi itu memfinalisasi dukungan Demokrat dan SBY terhada pemerintah. Ketika Demokrat mendukung pemerintah, artinya pasti dapat kursi kabinet. Soal siapa yang bakal menduduki, kalau menurut saya pasti AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) sebagai golden boy-nya Demokrat. Itu clear,” tutur Ujang.
Sementara posisi Gerindra meski secara politik Prabowo belum menyatakan bergabung dengan koalisi Jokowi, tetapi arah koalisi itu dinilai sudah mulai terbentuk dengan bertemunya Jokowi-Prabowo.
”Dugaan saya ini bagian dari memfinalisasi apakah memang Gerindra dan Prabowo akan masuk koalisi atau memang di luar pemerintahan. Tapi kalau menurut hemat saya, bisa saja pertamuan ini adalah win-win solution Gerindra yang ingin masuk kabinet. Tidak mungkin pertemuan ini dilaksanakan ketika Gerindra tidak punya maksud. Pasti ada hal yang ingin dibicarakan untuk masa depan Partai Gerindra,” tuturnya.
Ujang mengatakan, saat ini semua parpol berkepentingan untuk masuk ke pemerintah demi kepentingan mengumpulkan logistik untuk keperluan Pemilu 2024.
”Bohong jika parpol hari ini, baik yang di koalisi ataupun oposisi, tidak mempersiapkan diri menghadapi 2024. Oleh karena itu, kursi kabinet menjadi penting sebagai bagian untuk mempersiapkan logisltik Pemilu 2024,” urainya.
Jika asumsi itu benar adanya maka peta koalisi pasti berubah. Menurut dia, Jokowi akan mendapatkan amunisi kekuatan baru yaitu dari Demokrat yang sudah clear mendukung, atau dari Gerindra. ”Maka yang terjadi, ini pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik dan efektif karena semua parpol ingin begabung dengan koalisi,” paparnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini menilai, di negara demokrasi manapun, suatu pemerintahan yang kuat diperlukan, namun di saat yang sama juga membutuhkan oposisi yang kuat.
”Kalau Gerindra masuk koalisi Jokowi, lalu mendapatkan jatah tiga menteri, katakanlah, inikan tidak menyisakan oposisi hanya PKS. Kalau PAN kan ingin ke pemerintah, tapi resistensinya tinggi, ditolak parpol koalisi. Seandainya PAN dan PKS menjadi oposisi, itu bukan menjadi sebuah kekuatan oposisi yang baik, tidak seimbang antara kekuatan koalisi Jokowi dengan kekuatan oposisi yang ada,” paparnya.
Ujang juga mengatakan masuknya Demokrat dan Gerindra menimbulkan dinamika baru. Masuknya Demokrat menjadi resisten bagi PDIP, namun relatif diterima parpol koalisi lainnya. Sebaliknya, masuknya Gerindra akan menjadi sekutu baru bagi PDIP, tapi resisten bagi parpol koalisi lainnya, terutama Nasdem.
”Nah, ini juga menarik. Artinya ada perbedaan pola antara Demokrat dan Gerindra. Demokrat masuk itu resistennya dengan PDIP, tapi kalau Gerindra masuk, yang welcome justru PDIP,” paparnya.
Masuknya Demokrat dan Gerindra, di sisi lain, juga bisa memicu kecemburuan dari parpol koalisi. Sebab, hal itu akan membuat jatah kursi menteri parpol koalisi berpotensi berkurang.
”Itulah yang membuat kecemburuan terjadi. Partai-partai yang sudah berdarah-darah, sudah berkeringat, tapi dapatnya (kursi menteri) sama bahkan ada yang lebih kecil. Inilah yang sebenarnya ditolak Nasdem dan kawan-kawan. Inilah yang sebenarnya yang merusak peta politik,” katanya.
Tapi peta ini disukai oleh PDIP karena dengan masuknya Gerindra, dia berkawan. PDIP memiliki sekutu baru. Tapi di saat muncul sama resistensi yang tinggi dari Nasdem dari yang lain. ”Inilah yang sebenarnya membuat Jokowi pening dan pusing,” paparnya.
(cip)