Pengurus Besar IDI: Penarikan Ranitidin Bentuk Kehati-hatian
A
A
A
JAKARTA - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menanggapi keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menarik obat lambung Ranitidin dari peredaran. Ketua Kajian Obat PB IDI, dr Rika Yuliwulandari mengungkapkan bahwa penarikan ini bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian.
“Penarikan Ranitidin adalah sebagai upaya bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian. NDMA itu banyak ditemukan di lingkungan secara umum dalam jumlah yang berbeda. NDMA ini adalah kontaminan yang umum yang ditemukan di lingkungan. Ada di daging, air, susu, ikan. Nah dalam obatnya sendiri sebetulnya aman karena sudah dipakai bebas termasuk di luar negeri termasuk obat bebas. Dan di Indonesia obat yang pakai resep dokter,” jelas dr Rika saat konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Obat Ranitidin, kata dr. Rika bisa dipakai lagi jika ditemukan penelitian bahwa cemaran NDMA dan toksinnya bisa diminimalisir. Pasalnya, kandungan karsinogenik sebenarnya juga ada di dalam kandungan produk rumah tangga lainnya.
“Jika bicara soal karsinogen setiap hari saja masyarakat masih terpapar karsinogen. Kita sehari-hari masih terpapar. Daging dibakar, susu, dan produk olahan. Dan jika obat menimbulkan kanker kan butuh paparan yang jangka panjang,” jelasnya.
Oleh karena itu, PB IDI akan menindaklanjutinya dengan menggelar rapat formal bersama para dokter terkait keputusan BPOM. “Dari PB IDI sampaikan kepada tenaga kesehatan di lingkungan PB IDI. Nanti ada rapat di PB IDI kami ajukan bentuk formal seperti apa,” jelas dr Rika.
Untuk diketahui, penarikan Ranitidin merupakan tindak lanjut informasi dari US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) bahwa terdapat produk Ranitidin yang mengandung cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang bersifat karsinogenik jika dipakai jangka panjang akan memicu kanker.
Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Sebelumnya BPOM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu.
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Namun, dari studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
“Penarikan Ranitidin adalah sebagai upaya bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian. NDMA itu banyak ditemukan di lingkungan secara umum dalam jumlah yang berbeda. NDMA ini adalah kontaminan yang umum yang ditemukan di lingkungan. Ada di daging, air, susu, ikan. Nah dalam obatnya sendiri sebetulnya aman karena sudah dipakai bebas termasuk di luar negeri termasuk obat bebas. Dan di Indonesia obat yang pakai resep dokter,” jelas dr Rika saat konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Obat Ranitidin, kata dr. Rika bisa dipakai lagi jika ditemukan penelitian bahwa cemaran NDMA dan toksinnya bisa diminimalisir. Pasalnya, kandungan karsinogenik sebenarnya juga ada di dalam kandungan produk rumah tangga lainnya.
“Jika bicara soal karsinogen setiap hari saja masyarakat masih terpapar karsinogen. Kita sehari-hari masih terpapar. Daging dibakar, susu, dan produk olahan. Dan jika obat menimbulkan kanker kan butuh paparan yang jangka panjang,” jelasnya.
Oleh karena itu, PB IDI akan menindaklanjutinya dengan menggelar rapat formal bersama para dokter terkait keputusan BPOM. “Dari PB IDI sampaikan kepada tenaga kesehatan di lingkungan PB IDI. Nanti ada rapat di PB IDI kami ajukan bentuk formal seperti apa,” jelas dr Rika.
Untuk diketahui, penarikan Ranitidin merupakan tindak lanjut informasi dari US Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicine Agency (EMA) bahwa terdapat produk Ranitidin yang mengandung cemaran N-Nitrosodimethylamine (NDMA) yang bersifat karsinogenik jika dipakai jangka panjang akan memicu kanker.
Ranitidin adalah obat yang digunakan untuk pengobatan gejala penyakit tukak lambung dan tukak usus. Sebelumnya BPOM telah memberikan persetujuan terhadap ranitidin sejak tahun 1989 melalui kajian evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu.
Ranitidin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, sirup, dan injeksi. Namun, dari studi global memutuskan nilai ambang batas cemaran NDMA yang diperbolehkan adalah 96 ng/hari (acceptable daily intake), bersifat karsinogenik jika dikonsumsi di atas ambang batas secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
(kri)