Inpres Sanksi Penunggak Iuran BPJS Tidak Efektif, Justru Berdampak Buruk
A
A
A
JAKARTA - Politisi juga Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menyatakan rencana penerbitan Inpres (instruksi presiden) terkait sanksi bagi para penunggak iuran BPJS kesehatan dikhawatirkan tidak efektif bahkan bisa berdampak buruk kedepannya.
"Kalau diancam dengan sanksi, dikhawatirkan tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman. Lebih baik, persoalan tunggakan iuran tersebut diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," ucap Saleh dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (10/10/2019).
Sanksi yang diberikan berupa tidak dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Menurut Saleh itu tidak bersifat segera dan tidak mengikat dalam jangka pendek. Sementara, iuran BPJS kesehatan perlu di lunasi setiap bulan.
“Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir. Sebab, orang tidak selalu butuh IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. Paspor, misalnya, itu hanya dibutuhkan oleh orang yang sering keluar negeri. Kalau dia menunggak, masa harus ditunggu dia membuat paspor untuk dijatuhi sanksi? Atau masa harus menunggu habis masa berlaku paspornya?," ungkapnya.
Pun dengan sanksi terkait IMB, SIM, STNK, dan sertifikat. "Untuk apa membuat sanksi yang sejak awal diperkirakan akan tidak efektif? Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan kolektabilitas iuran tersebut?” jelasnya.
Pemerintah, sambungnya, jangan terlalu mudah mengeluarkan aturan untuk mengatasi persoalan BPJS. Pasalnya, setiap kali ada aturan baru, sering sekali diiringi dengan perdebatan dan tidak jarang penolakan dari masyarakat.
"Semakin banyak aturan, malah pelayanan yang diberikan justru semakin ribet dan kompleks," katanya.
Dia berharap, memerintah diminta untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Menurutnya, daripada memberikan sanksi bukankah tidak lebih baik BPJS kesehatan diberi kesempatan terlebih dahulu untuk meningkatkan kolektabilitas iuran melalui jaringan mereka yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Apalagi, sejak 2016 yang lalu, BPJS Kesehatan telah memiliki kader JKN yang siap membantu melaksanakan tugas tersebut," tutupnya.
"Kalau diancam dengan sanksi, dikhawatirkan tidak efektif. Masyarakat bisa saja merasa tidak nyaman. Lebih baik, persoalan tunggakan iuran tersebut diselesaikan dengan pendekatan partisipatoris dan persuasif," ucap Saleh dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (10/10/2019).
Sanksi yang diberikan berupa tidak dikeluarkannya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Menurut Saleh itu tidak bersifat segera dan tidak mengikat dalam jangka pendek. Sementara, iuran BPJS kesehatan perlu di lunasi setiap bulan.
“Kalau pakai sanksi itu, orang tidak akan khawatir. Sebab, orang tidak selalu butuh IMB, SIM, STNK, paspor, dan sertifikat tanah. Paspor, misalnya, itu hanya dibutuhkan oleh orang yang sering keluar negeri. Kalau dia menunggak, masa harus ditunggu dia membuat paspor untuk dijatuhi sanksi? Atau masa harus menunggu habis masa berlaku paspornya?," ungkapnya.
Pun dengan sanksi terkait IMB, SIM, STNK, dan sertifikat. "Untuk apa membuat sanksi yang sejak awal diperkirakan akan tidak efektif? Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan kolektabilitas iuran tersebut?” jelasnya.
Pemerintah, sambungnya, jangan terlalu mudah mengeluarkan aturan untuk mengatasi persoalan BPJS. Pasalnya, setiap kali ada aturan baru, sering sekali diiringi dengan perdebatan dan tidak jarang penolakan dari masyarakat.
"Semakin banyak aturan, malah pelayanan yang diberikan justru semakin ribet dan kompleks," katanya.
Dia berharap, memerintah diminta untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Menurutnya, daripada memberikan sanksi bukankah tidak lebih baik BPJS kesehatan diberi kesempatan terlebih dahulu untuk meningkatkan kolektabilitas iuran melalui jaringan mereka yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Apalagi, sejak 2016 yang lalu, BPJS Kesehatan telah memiliki kader JKN yang siap membantu melaksanakan tugas tersebut," tutupnya.
(pur)