Memahami Bebasnya Irman Gusman Tanpa 'Prejudice'

Kamis, 10 Oktober 2019 - 09:02 WIB
Memahami Bebasnya Irman Gusman Tanpa Prejudice
Memahami Bebasnya Irman Gusman Tanpa 'Prejudice'
A A A
Suparji Ahmad
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia,Ketua Bidang Hukum dan HAM Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI)
Situs salah satu media nasional baru-baru ini menerbitkan artikel yang judulnya sungguh mengagetkan. Tulisan tersebut berjudul "Peninjauan Kembali: Meski Bebas, Puskat UGM Nilai Irman Terbukti Menyuap". Membaca judul artikel itu, pembaca tentu akan berasumsi bahwa mantan Ketua DPD RI itu dipenjarakan karena menyuap seseorang. Benarkah demikian?

Pertanyaan sesungguhnya bukan itu. Yang perlu dipertanyakan adalah kenapa sebuah surat kabar nasional bisa menurunkan berita yang isinya terbalik dari fakta-fakta hukum meskipun kasus Irman Gusman sudah bergulir lebih dari 3 tahun? Apalagi karena pers Indonesia bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalisme di mana asas keseimbangan, imparsialitas, dan cover both sides semestinya selalu dipegang teguh dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Orang awam yang sering membaca berita pun tahu bahwa Irman Gusman dipenjarakan bukan karena dituduh menyuap, tetapi karena dituduh disuap. Maka judul berita di media tersebut adalah kebalikan dari fakta yang sesungguhnya terjadi.
Jaksa tidak mendakwa Irman melakukan penyuapan, tetapi mendakwanya menerima uang suap. Dia tidak dituduh menyuap, tetapi dituduh disuap. Tuduhan inilah yang didakwakan dan dakwaan inilah yang menjadi dasar bagi hakim untuk memutus perkara tersebut dan menjatuhkan pidana 4 tahun 6 bulan.

Akan tetapi dakwaan jaksa KPK itu, berikut seluruh dalil dan argumentasinya, secara otomatis gugur demi hukum ketika Mahkamah Agung (MA) pada 24 September 2019 mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) perkara Irman Gusman dan pada saat bersamaan membatalkan putusan Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu.

Maka seluruh dalil dan argumentasi jaksa dan majelis hakim di tingkat judex facti terhadap Irman Gusman menjadi tidak relevan lagi. Karena di mata para hakim agung yang mengadili perkara PK Irman Gusman, pemilihan pasal dakwaan jaksa KPK yang mendasari putusan PN Jakarta Pusat itu (Pasal 12 huruf b) dinilai tidak tepat. Itulah alasannya kenapa putusan itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Oleh karena itu dibutuhkan kepastian hukum tentang status perkara ini, yaitu kepastian yang bersumber dari putusan kekuasaan kehakiman yang lebih tinggi meskipun tugas Mahkamah Agung bukanlah memeriksa fakta-fakta persidangan karena ia judex juris.

Itulah sebabnya MA mengadili sendiri perkara dimaksud sesuai dengan kewenangannya sebagai judex juris , yaitu dengan mengabaikan semua dakwaan jaksa di tingkat judex facti dan merumuskan sendiri dakwaannya dengan menggunakan Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hasil akhirnya adalah MA menjatuhkan pidana 3 tahun kepada Irman Gusman, yaitu masa hukuman yang sebetulnya tidak diperlukan lagi karena ketika putusan MA itu diturunkan, Irman sudah melewati masa 3 tahun itu. Artinya apa pun isi redaksi putusan MA tersebut, agar memenuhi syarat perumusan putusan pengadilan, sebetulnya telah disadari sebelumnya oleh para hakim agung bahwa putusan itu secara otomatis akan membuat Irman Gusman dibebaskan dari penjara.

Dapat diasumsikan bahwa dari kacamata Irman Gusman, tentu putusan itu dikeluarkan agar ia bebas dari penjara. Dari kacamata MA, putusan itu dibutuhkan untuk melakukan koreksi terhadap pembuatan putusan di tingkat judex facti dan sebagai pembelajaran sekaligus agar pengadilan tidak melakukan kekhilafan yang seperti itu lagi.

Lebih dari itu MA telah memberikan pelajaran yang baik bahwa mengadili perkara korupsi harus dilakukan secara taat asas dan taat aturan, termasuk taat pada UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman di mana Pasal 5, 6, 7, 8 menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia bagi orang yang tersangkut perkara serta menegaskan tata cara berhukum yang tidak sewenang-wenang.

Dari sudut pandang hukum pidana materiil, dapat pula dipahami bahwa MA membatalkan putusan judex facti dalam kasus Irman Gusman karena tidak terpenuhinya kewajiban hakim dalam menjalankan Pasal 27 butir 1 dan butir 2 UU No 14 Tahun 1970 tersebut.

Pasal 27 butir 1 mengatakan, "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat." Salah satu nilai yang hidup di dalam masyarakat adalah budaya saling memberi oleh-oleh. Budaya ini dilestarikan. Lagipula gratifikasi sejatinya bukanlah pelanggaran hukum, bukan pula kejahatan. Gratifikasi yang tidak dilaporkan dalam tempo 30 hari itulah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Nilai semacam ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim judex facti dalam kasus Irman Gusman.

Selanjutnya di butir 2 Pasal 27 itu dikatakan, "Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh." Dalam kasus Irman Gusman tidak ditemukan niat jahat atau mens rea; yang ada justru niat baik untuk menolong masyarakat Sumatera Barat agar terlepas dari beban harga gula yang tinggi, tetapi niat baik ini sama sekali tidak dipertimbangkan majelis hakim.

Selain itu dalam Pasal 7 dikatakan, "Tiada seorang jua pun dapat dikenai penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang." Pasal ini jelas-jelas dilanggar oleh penyidik karena mereka menangkap Irman Gusman dengan menunjukkan kepadanya surat penangkapan atas nama orang lain. Bahkan surat penangkapan itu pun sudah kedaluwarsa karena orang yang disebutkan namanya dalam surat itu sudah ditangkap dan sudah dihukum.

Pasal 8 UU No 14 Tahun 1970 tersebut menyebutkan, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap." Tapi dalam praktiknya institusi-institusi penegakan hukum, termasuk KPK, selalu melanggar pasal ini.

Contoh: setiap kali ada seorang terduga koruptor ditangkap, KPK selalu mengadakan konferensi pers yang disiarkan ke seluruh dunia. Sebelum orang itu dibuktikan kesalahannya dalam sidang pengadilan yang jujur dan terbuka, masyarakat sudah terlebih dahulu menjatuhkan hukuman sosial yang masa hukumannya lebih panjang daripada pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Krisis Kebenaran

Krisis terbesar di bangsa ini saat ini adalah krisis kebenaran. Kondisi seperti ini sudah merasuk amat dalam pada alam pikiran masyarakat kita sehingga ketika ada seseorang yang dituduh terlibat dalam tindak pidana korupsi, meskipun belum terbukti di persidangan yang terbuka dan jujur, orang itu sudah divonis sebagai penjahat. Perkaranya belum juga disidangkan, masyarakat sudah menghakimi dia sebagai penjahat yang tak boleh dimaafkan, harus dihabisi, bila perlu dibinasakan.

Akibatnya semua orang yang dituduh terlibat dalam suatu tindak pidana akan dihalang-halangi haknya untuk menemukan keadilan. Justru dalam kondisi seperti ini lembaga-lembaga pengkajian ilmiah, akademisi, serta institusi-institusi penegakan hukum seharusnya tidak terpengaruh dan terbawa arus. Mereka seharusnya melakukan penggalian hukum demi menegakkan kebenaran dan keadilan serta menjamin hak asasi manusia semua warga negara, termasuk semua orang yang mengalami masalah-masalah hukum.

Ketika Irman Gusman bebas, karena putusan MA menyebabkan hal itu terjadi, kenapa hal ini tidak dijadikan referensi dalam penggalian dan penemuan hukum serta sebagai pembelajaran dan koreksi terhadap tata cara penegakan hukum yang memang perlu diperbaiki?

Kenapa mata kita tak mampu melihat sisi manfaat, kebaikan, dan kontribusi dari suatu peristiwa atau kasus terhadap sistem hukum kita? Kenapa hanya melihat dengan memakai kacamata hitam?

Ketika MA membatalkan putusan pengadilan di tingkat judex facti terhadap Irman Gusman, itu berarti cara pengadilan memutus perkara tersebut menyimpang jauh dari asas, kaidah, norma, dan aturan yang semestinya. Maka orang yang berpikir positif akan melihat di mana manfaat dari putusan MA tersebut sebagai pembelajaran untuk masa depan. Tapi orang yang berpikir negatif hanya akan melancarkan kritik secara subjektif, tendensius, arogan, dan penuh kebencian.

Masyarakat perlu diedukasi untuk belajar berpikir positif dan menjadi optimistis, bukan melanggengkan cara berpikir negatif dan sikap pesimistis. Sejalan dengan itu, institusi-institusi penegakan hukum pun perlu melakukan edukasi demikian secara jujur dan benar, bukan berdasarkan kepentingan pribadi, kelompok, atau status quo yang tak rela menerima masukan untuk perubahan.

Maka putusan MA yang menyebabkan Irman Gusman dibebaskan dari penjara itu, juga putusan lain sejenis itu, semestinya diterima sebagai sumber pembelajaran berhukum secara jujur, berperikemanusiaan, dan berkeadilan. Jangan lagi ada pihak-pihak yang mencoba-coba untuk mereduksi reputasi kekuasaan kehakiman tertinggi ini.

Ke depan, putusan PK Irman Gusman ini dapat dijadikan acuan bagi semua pencari keadilan yang belum menemukan keadilan dan masih terhalang oleh berbagai kendala teknis, kendala aturan, serta kendala politis yang menyebabkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan sulit dimunculkan di negara yang teorinya sangat menjunjung tinggi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" ini.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4602 seconds (0.1#10.140)