ICW Ungkap 10 Hal Terjadi Jika Perppu KPK Tak Diterbitkan

Selasa, 08 Oktober 2019 - 12:46 WIB
ICW Ungkap 10 Hal Terjadi...
ICW Ungkap 10 Hal Terjadi Jika Perppu KPK Tak Diterbitkan
A A A
JAKARTA - Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak kunjung menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait dengan pembatalan revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai Presiden Jokowi seolah tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat massif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia.

Dia mengatakan, data Lembaga Survei Indonesia yang dirilis beberapa waktu lalu menarik untuk dicermati. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1.010 responden mengantarkan pada kesimpulan sebagai berikut, pertama, persepsi masyarakat terhadap revisi UU KPK mayoritas mengatakan akan melemahkan KPK (70,9 persen).

Kedua, Ihwal penerbitan Perppu, sebanyak 76 persen menghendaki Presiden Jokowi segera mengeluarkan kebijakan tersebut agar UU KPK dikembalikan seperti sedia kala. ICW memandang bahwa Presiden Jokowi mesti cepat mengambil keputusan untuk menerbitkan Perppu.

"Selain itu juga ada beberapa konsekuensi logis jika kebijakan pengeluaran Perppu ini tidak segera diakomodir oleh Presiden. Berikut selengkapnya," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (8/10/2019).

1. Penindakan Kasus Korupsi Akan Melambat

Ini diakibatkan dari pengesahan UU KPK yang baru, yang mana nantinya berbagai tindakan pro justicia akan dihambat karena harus melalui persetujuan dari Dewan Pengawas. Mulai dari penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan.

2. KPK Tidak Lagi Menjadi Lembaga Negara Independen

Berdasarkan Pasal 3 UU KPK yang baru menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Ini mengartikan bahwa status kelembagaan KPK tidak lagi bersifat independen. Padahal sedari awal pembentukan KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan ke empat, yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun, baik secara kelembagaan ataupun penegakan hukum,

3. Menambah Daftar Panjang Pelemahan KPK

Sepanjang lima tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berbagai pelemahan terhadap KPK telah terjadi. Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan Pimpinan KPK yang sarat akan persoalan, ditambah lagi dengan pembahasan serta pengesahan UU KPK. Akan tetapi di waktu yang sama seakan Presiden mengabaikan persoalan tersebut sembari membiarkan pelemahan KPK terus menerus terjadi. Tentunya ini akan berimplikasi pada pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan selama ini, bukan tidak mungkin anggapan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi akan disematkan pada pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

4. Presiden Dinilai Ingkar Janji pada “NawaCIta”

Masih jelas diingatan publik pada saat masa kampanye tahun 2014 lalu, Joko Widodo sempat mengeluarkan “NawaCita” yang mana berisi sembilan agenda prioritas jika nantinya terpilih menjadi Presiden selama lima tahun ke depan. Tegas disebutkan pada poin ke 4 bahwa Joko Widodo – Jusuf Kalla menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Publik dengan mudah menganggap bahwa NawaCita ini hanya ilusi belaka saja jika Presiden tidak segera bertindak untuk menyelamatkan KPK.

5. Indeks Persepsi Korupsi Dikhawatirkan Akan Menurun Drastis

Saat ini indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat 89 dari total 180 negara dengan skor 38. Setelah dua tahun sebelumnya IPK Indonesia stagnan di angka 37. Salah satu penilaian dalam menentukan IPK adalah sektor penegakan hukum. Sederhananya, bagaimana mungkin IPK Indonesia akan meningkat jika sektor penegakan hukum – khususnya tindak pidana korupsi – yang selama ini ditangani oleh KPK justru bermasalah dikarenakan UU-nya telah dilakukan perubahan.

6. Iklim Investasi Akan Terhambat

Seperti yang diketahui bahwa saat ini pemerintah sangat gencar menawarkan investasi luar negeri agar bisa membantu pembangunan berbagai proyek strategis di Indonesia. Tentu hal utama yang menjadi landasan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat adalah kepastian hukum. Jika KPK dilemahkan secara sistematis seperti ini, bagaimana mungkin Indonesia bisa memastikan para investor akan tertarik menanamkan modalnya disaat maraknya praktik korupsi.

7. Dinilai Mengabaikan Amanat Reformasi

Salah satu amanat reformasi pada tahun 1998 lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini termaktub dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, yang mana dalam Pasal 3 ayat (3) aturan a quo tegas menyebutkan bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Menjadi mustahil mewujudkan hal tersebut jika kondisi saat ini menggambarkan adanya grand design dari DPR dan pemerintah untuk memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia melalui revisi UU KPK.

8. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat pada Pemerintah

Pada Pemilihan Umum tahun 2014 lalu pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla mengantongi 70 juta suara yang akhirnya mengantarkan kedua orang ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tak berhenti disitu, pada 2019, Joko Widodo kembali meraup suara 85 juta suara, kali ini ia memastikan untuk menjadi Presiden dua periode sampai pada tahun 2024. Tentu para konstituennya tidak berharap adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi. Menjadi hal yang wajar jika para pemilih Joko Widodo mendasarkan pilihannya atas janji politik yang telah disampaikan dan berharap akan realisasi yang jelas. Namun, kondisi saat ini justru terbalik, narasi penguatan yang selama ini didengungkan oleh Presiden seakan luput dari kebijakan pemerintah.

9. Citra Indonesia Akan Buruk di Dunia Internasional

United Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengeluarkan sikap terkait dengan pelemahan KPK. Lembaga ini menilai bahwa revisi UU KPK akan mengancam prinsip independensi KPK dan bertolak belakang dengan mandat dalam Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC yang menyebutkan bahwa mengharuskan setiap negara untuk memastikan keberadaan badan anti korupsi yang khusus dalam mencegah dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan independensi yang diperlukan serta mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh dari hal-hal yang tidak semestinya. Pernyataan itu dilansir pada tanggal 27 September lalu, setidaknya lebih dari 90 organisasi dunia menyoroti persoalan pelemahan KPK ini. Tentu ini akan berdampak buruk bagi citra pemerintah yang selama ini selalu menggaungkan tata kelola pemerintah yang bersih dari korupsi.

Selain itu KPK dikenal memiliki reputasi baik di tingkat internasional. Misalkan saja, pada 2013 lalu KPK mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina. Lembaga anti rasuah ini dinilai sebagai lembaga independen dan berhasil dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan kejahatan korupsi. Atas dasar itu kebijakan pemerintah yang membiarkan pelemahan terhadap KPK dapat dipastikan akan mendapat kecaman dari negara lain yang juga mempunyai konsentrasi sama pada isu anti korupsi.

10. Menghambat Pencapaian Program Pemerintah

Pada dasarnya kejahatan korupsi menyasar berbagai sektor strategis di Indonesia. Mulai dari pangan, infrastruktur, energi & sumber daya alam, pendidikan, pajak, kesehatan, dan berbagai sektor lainnya. Dengan kondisi seperti ini harusnya pemerintah memikirkan tentang penguatan KPK, agar setiap penyelenggaraan program tersebut dapat diikuti dengan penindakan jika ada pihak-pihak yang ingin menyelewengkan dana yang pada akhirnya akan berakibat menghambat berbagai capaian penting. Namun, kondisi saat ini justru bertolak belakang, KPK secara institusi dan kewenangan terlihat sedang dilemahkan oleh DPR dan pemerintah.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0920 seconds (0.1#10.140)