DPR Dukung Pembatalan UU KPK Lewat MK, Bukan Perppu
A
A
A
JAKARTA - Desakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipandang tidak relevan dengan kondisi objektif saat ini. Penerbitan Perppu KPK hanya menjadi preseden buruk bagi proses legislasi karena suatu undang-undang harus dibatalkan hanya karena desakan publik.
Pandangan tersebut disampaikan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR Bambang Wuryanto saat menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait sikap mayoritas responden yang menginginkan Perppu KPK. “Penerbitan Perppu itu ada syaratnya yakni ada kondisi genting atau terjadi kekosongan hukum, nah saat ini kita harus akui bersama bahwa secara objektif dua hal tersebut tidak terjadi,” ujar Bambang Wuryanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum di mana semua ada tatanan dan aturan main yang jelas. Aturan main tersebut merupakan bagian dari kesepakatan agar terjadi ketertiban umum. Jika aturan itu ditabrak dengan berbagai alasan subjektif maka berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.
“Kan berbangsa dan bernegara itu atas dasar kesepakatan, kamu bangsa Indonesia, sepakat kita bangsa Indonesia, kita sepakat bersatu dalam NKRI, dari mana kita sepakat? Melalui Konstitusi negara, berikutnya melalui peraturan perundangan, kita bersepakat untuk itu, itu dulu. Suku bangsa banyak, agama banyak, kita sudah move on, kita sudah bersepakat, ya ikuti kesepakatan itu. Kalau sudah ikuti kesepakatan suka-suka nanti susah dong kalau suka-suka, nggak bisa,” katanya.
Pria yang akrab disapa Bambang Pacul ini menilai bahwa UU KPK hasil revisi telah disepakati baik di level legislatif maupun eksekutif. Sesuai aturan perundangan yang ada maka pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan keberadaan UU maka bisa mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kita ikuti kesepakatan berarti konstitusi kita ikuti. Kalau UU sudah diketok, RUU sudah diketok, nggak ada cara ikut konstitusional law kita, lu kalau nggak sepakat, judicial review,” tegasnya.
Bambang Pacul mengakui bahwa Perppu juga jalan konstitusi tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi yakni, situasi genting yang memaksa dan ada kekosongan hukum. Sementara, Pimpinan KPK masih 5 orang dan mereka masih menjalankan tugasnya yakni melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Jadi, dia membantah bahwa kriteria kegentingan memaksa itu berdasarkan subyektif presiden. “Mohon maaf, kalau kegentingan itu semua orang kerasa, satu. Kekosongan hukum, kekosongan hukum ono ora (ada nggak)? Pimpinan isih limo (masih 5), itu masih OTT. Nggak ada kekosongan hukum, what? jadi nggak ada alternatif lain kecuali judicial review,” terangnya. Karena itu, Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa hukum konstitusional harus ditegakkan.
Dia juga meminta agar media juga tidak membuat gaduh dengan tulisan-tulisan yang mempertentangkan soal ini. “Jadi kau jangan bikin ribut itu. Para wartawan tulisannya jangan bikin ribut-ribut, dikontradiksi, kontradiksi. Itu nanti kita bikin pusing sendiri, konstitusional justice kita. konstitusional justice apa? Konstitusi!!,” tegasnya.
Terkait persoalan ini yang dibandingkan dengan Presiden SBY yang kala itu mengeluarkan Perppu Pilkada setelah UU-nya disahkan, Dia menegaskan bahwa itu hal berbeda, jika UU Pilkada kala itu berlaku maka tidak akan ada Pilkada langsung. “(Perppu Pilkada) Bukan karena banyak protes, kalau itu, kalau soal itu nggak dikeluarkan perppu nggak ada pilkada boss. Baca lah itu,” tandasnya.
Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengapresiasi langkah sejumlah pihak yang keberatan dengan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengajukan upaya judicial review. Menurut Hamdan, upaya itu merupakan tindakan terbaik dalam memperdebatkan produk hukum. "Saya kira itu memang langkah yang terbaik adalah mengajukan gugatan ke MK. Tinggal nanti para pemohon itu mengajukan bukti bukti dalam aspek mana UU itu bertentangan dengan UUD," kata Hamdan, kemarin.
Dia juga menganggap UU KPK saat ini belum bisa disimpulkan sebagai upaya penguatan atau pelemahan. Perlu diskusi yang panjang untuk membedah UU tersebut. Akan tetapi, Hamdan memandang KPK perlu Dewan Pengawas untuk mengontrol komisioner dan pegawai KPK.
"Saya selalu berprinsip bahwa tidak ada institusi yang uncontrol. Tidak ada institusi yang bekerja sendiri tanpa mau dilihat oleh yang lain. Itu yang penting," kata Hamdan. Hamdan menilai Dewan Pengawas bukan melemahkan KPK. Namun sifatnya lebih mendorong upaya penegakan hukum tidak sewenang-wenang. "Bagaimanapun juga KPK itu butuh partner dan mereka tentu berkelahi di dalam," tambah Hamdan.
Mengenai desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang KPK, hal itu menurut Hamdan, tergantung kepala negara. Namun, Hamdan mengingatkan bahwa parlemen juga punya kewenangan memeriksa motif Jokowi mengeluarkan Perppu.
Unsur kegentingan yang mendesak harus menjadi prinsip utama. "Sekali lagi bahwa presiden memiliki hak subjektif untuk mengeluarkan Perppu. Pada sisi lain, DPR bisa menolak atau menerima Perppu itu," jelas dia.
Sebelumnya Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil surveinya sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden menerbitkan Perppu KPK. Hasil survei itu menyebutkan, publik menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) KPK guna membatalkan undang-undang hasil revisi atau untuk merevisi pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Dari responden yang sama, LSI juga mendapati data sebanyak 70,9 persen publik percaya bahwa Undang-undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan. Kemudian publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, 11,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
Pandangan tersebut disampaikan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR Bambang Wuryanto saat menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) terkait sikap mayoritas responden yang menginginkan Perppu KPK. “Penerbitan Perppu itu ada syaratnya yakni ada kondisi genting atau terjadi kekosongan hukum, nah saat ini kita harus akui bersama bahwa secara objektif dua hal tersebut tidak terjadi,” ujar Bambang Wuryanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum di mana semua ada tatanan dan aturan main yang jelas. Aturan main tersebut merupakan bagian dari kesepakatan agar terjadi ketertiban umum. Jika aturan itu ditabrak dengan berbagai alasan subjektif maka berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.
“Kan berbangsa dan bernegara itu atas dasar kesepakatan, kamu bangsa Indonesia, sepakat kita bangsa Indonesia, kita sepakat bersatu dalam NKRI, dari mana kita sepakat? Melalui Konstitusi negara, berikutnya melalui peraturan perundangan, kita bersepakat untuk itu, itu dulu. Suku bangsa banyak, agama banyak, kita sudah move on, kita sudah bersepakat, ya ikuti kesepakatan itu. Kalau sudah ikuti kesepakatan suka-suka nanti susah dong kalau suka-suka, nggak bisa,” katanya.
Pria yang akrab disapa Bambang Pacul ini menilai bahwa UU KPK hasil revisi telah disepakati baik di level legislatif maupun eksekutif. Sesuai aturan perundangan yang ada maka pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan keberadaan UU maka bisa mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kita ikuti kesepakatan berarti konstitusi kita ikuti. Kalau UU sudah diketok, RUU sudah diketok, nggak ada cara ikut konstitusional law kita, lu kalau nggak sepakat, judicial review,” tegasnya.
Bambang Pacul mengakui bahwa Perppu juga jalan konstitusi tetapi, ada syarat yang harus dipenuhi yakni, situasi genting yang memaksa dan ada kekosongan hukum. Sementara, Pimpinan KPK masih 5 orang dan mereka masih menjalankan tugasnya yakni melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Jadi, dia membantah bahwa kriteria kegentingan memaksa itu berdasarkan subyektif presiden. “Mohon maaf, kalau kegentingan itu semua orang kerasa, satu. Kekosongan hukum, kekosongan hukum ono ora (ada nggak)? Pimpinan isih limo (masih 5), itu masih OTT. Nggak ada kekosongan hukum, what? jadi nggak ada alternatif lain kecuali judicial review,” terangnya. Karena itu, Ketua DPP PDIP ini menegaskan bahwa hukum konstitusional harus ditegakkan.
Dia juga meminta agar media juga tidak membuat gaduh dengan tulisan-tulisan yang mempertentangkan soal ini. “Jadi kau jangan bikin ribut itu. Para wartawan tulisannya jangan bikin ribut-ribut, dikontradiksi, kontradiksi. Itu nanti kita bikin pusing sendiri, konstitusional justice kita. konstitusional justice apa? Konstitusi!!,” tegasnya.
Terkait persoalan ini yang dibandingkan dengan Presiden SBY yang kala itu mengeluarkan Perppu Pilkada setelah UU-nya disahkan, Dia menegaskan bahwa itu hal berbeda, jika UU Pilkada kala itu berlaku maka tidak akan ada Pilkada langsung. “(Perppu Pilkada) Bukan karena banyak protes, kalau itu, kalau soal itu nggak dikeluarkan perppu nggak ada pilkada boss. Baca lah itu,” tandasnya.
Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengapresiasi langkah sejumlah pihak yang keberatan dengan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mengajukan upaya judicial review. Menurut Hamdan, upaya itu merupakan tindakan terbaik dalam memperdebatkan produk hukum. "Saya kira itu memang langkah yang terbaik adalah mengajukan gugatan ke MK. Tinggal nanti para pemohon itu mengajukan bukti bukti dalam aspek mana UU itu bertentangan dengan UUD," kata Hamdan, kemarin.
Dia juga menganggap UU KPK saat ini belum bisa disimpulkan sebagai upaya penguatan atau pelemahan. Perlu diskusi yang panjang untuk membedah UU tersebut. Akan tetapi, Hamdan memandang KPK perlu Dewan Pengawas untuk mengontrol komisioner dan pegawai KPK.
"Saya selalu berprinsip bahwa tidak ada institusi yang uncontrol. Tidak ada institusi yang bekerja sendiri tanpa mau dilihat oleh yang lain. Itu yang penting," kata Hamdan. Hamdan menilai Dewan Pengawas bukan melemahkan KPK. Namun sifatnya lebih mendorong upaya penegakan hukum tidak sewenang-wenang. "Bagaimanapun juga KPK itu butuh partner dan mereka tentu berkelahi di dalam," tambah Hamdan.
Mengenai desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang KPK, hal itu menurut Hamdan, tergantung kepala negara. Namun, Hamdan mengingatkan bahwa parlemen juga punya kewenangan memeriksa motif Jokowi mengeluarkan Perppu.
Unsur kegentingan yang mendesak harus menjadi prinsip utama. "Sekali lagi bahwa presiden memiliki hak subjektif untuk mengeluarkan Perppu. Pada sisi lain, DPR bisa menolak atau menerima Perppu itu," jelas dia.
Sebelumnya Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil surveinya sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden menerbitkan Perppu KPK. Hasil survei itu menyebutkan, publik menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) KPK guna membatalkan undang-undang hasil revisi atau untuk merevisi pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Dari responden yang sama, LSI juga mendapati data sebanyak 70,9 persen publik percaya bahwa Undang-undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan. Kemudian publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, 11,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
(don)