Pengamat: Jangan Sampai MPR Jadi Majelis 'Voting' Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Rapat gabungan antarfraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah memutuskan 10 orang perwakilan fraksi dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi pimpinan MPR.
Namun hingga kini, belum ada kesepakatan mengenai siapa yang akan menduduki jabatan ketua MPR. (Baca Juga: Mayoritas Fraksi Dukung Bamsoet Pimpin MPR, Gerindra Ngotot Muzani)
Pengamat politik Emrus Sihombing berharap jangan sampai penentuan pimpinan MPR yang direncanakan malam nanti melalui voting, tetapi harus dengan musyawarah.
"Bila melalui voting, maka secara de facto nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah berubah menjadi majelis pervoringan rakyat," kata Emrus dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (3/10/2019).
Menurut dia, itu sangat jauh dari keluhuran budaya demokrasi ala Indonesia. Kata dia, penentuan pimpinan MPR harus dan mutlak melalui proses musyawarah.
"Tidak ada pilihan lain," tandas Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner ini.
Dia mengatakan, sidang perdana penentuan paket pimpinan MPR ini sekaligus evaluasi awal dari seluruh rakyat Indonesia terhadap semua anggota MPR periode 2019-2024. "Apakah mereka politisi negarawan atau politisi politikus," kata Emrus.
Jika mereka politisi negarawan, kata dia, penentuan paket pimpinan MPR harus melalui masyawarah. Sebaliknya, bila melalui voting maka mereka lebih dekat sebagai politisi politikus yang orientasi utamanya memperoleh kekuasaan yang seolah mengabaikan bagaimana proses memperoleh kekuasaan itu sendiri.
"Alasan lain mengapa tidak boleh voting. Sebab, muruwah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat terletak pada makna yang melekat pada institusi ini, yaitu musyawarah," tuturnya.
Bila penentuan pimpinan MPR yang terjadi melalui voting, lanjut dia, disadari atau tidak maka mereka telah mereduksi hakikat mulia dibentuknya lembaga MPR sekaligus menunjukkan bahwa anggota MPR telah gagal melakukan peran utamanya yaitu musyawarah.
"Untuk itu, sebelum terlambat tentukanlah paket pimpinan MPR hanya melalui musyawarah," ujarnya.
Namun hingga kini, belum ada kesepakatan mengenai siapa yang akan menduduki jabatan ketua MPR. (Baca Juga: Mayoritas Fraksi Dukung Bamsoet Pimpin MPR, Gerindra Ngotot Muzani)
Pengamat politik Emrus Sihombing berharap jangan sampai penentuan pimpinan MPR yang direncanakan malam nanti melalui voting, tetapi harus dengan musyawarah.
"Bila melalui voting, maka secara de facto nama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah berubah menjadi majelis pervoringan rakyat," kata Emrus dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (3/10/2019).
Menurut dia, itu sangat jauh dari keluhuran budaya demokrasi ala Indonesia. Kata dia, penentuan pimpinan MPR harus dan mutlak melalui proses musyawarah.
"Tidak ada pilihan lain," tandas Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner ini.
Dia mengatakan, sidang perdana penentuan paket pimpinan MPR ini sekaligus evaluasi awal dari seluruh rakyat Indonesia terhadap semua anggota MPR periode 2019-2024. "Apakah mereka politisi negarawan atau politisi politikus," kata Emrus.
Jika mereka politisi negarawan, kata dia, penentuan paket pimpinan MPR harus melalui masyawarah. Sebaliknya, bila melalui voting maka mereka lebih dekat sebagai politisi politikus yang orientasi utamanya memperoleh kekuasaan yang seolah mengabaikan bagaimana proses memperoleh kekuasaan itu sendiri.
"Alasan lain mengapa tidak boleh voting. Sebab, muruwah lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat terletak pada makna yang melekat pada institusi ini, yaitu musyawarah," tuturnya.
Bila penentuan pimpinan MPR yang terjadi melalui voting, lanjut dia, disadari atau tidak maka mereka telah mereduksi hakikat mulia dibentuknya lembaga MPR sekaligus menunjukkan bahwa anggota MPR telah gagal melakukan peran utamanya yaitu musyawarah.
"Untuk itu, sebelum terlambat tentukanlah paket pimpinan MPR hanya melalui musyawarah," ujarnya.
(dam)