Ketentuan Etika Dinilai Tak Bisa Halangi GKR Hemas Maju Pimpinan MPR
A
A
A
JAKARTA - Ketentuan mengenai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang melanggar etika di periode sebelumnya dinilai tidak bisa dijadikan penghalang bagi GKR Hemas maju sebagai salah satu pimpinan MPR dari unsur DPD.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis menilai, secara hukum ketentuan itu hanya mengikat pada anggota DPD pada periode sebelumnya yang sudah berakhir pada 30 September 2019.
“Oleh karena sudah berakhir maka anggota DPD yang baru harus dianggap belum pernah melakukan apa-apa. Orang belum menjadi DPD kok sudah terikat pada ketentuan melanggar etika? Bahwa dia pernah melanggar etika di masa lalu, ya sudah berakhir kemarin. Konsekuensinya, sudah berakhir kemarin,” tutur Margarito kepada wartawan, Rabu (2/10/2019).
Menurut Margarito, pelantikan sebagai anggota DPD kemarin, sama dengan menghentikan seluruh masalah hukum yang terjadi di masa lalu.
“Oleh karena itu, kalaupun ada pelangaran etika maka sudah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa keanggotaan dia di masa lalu itu,” ujar Margarito.
Margarito mengatakan, ketika seseorang terpilih lagi, dan pemilu itu satu peristiwa hukum yang bernilai, bukan lagi orang yang terpilih itu adalah orang lama, tetapi dia orang baru. Karena itu, dia tidak lagi dianggap melanggar etika.
“Karena kegiatan DPD baru dimulai kemarin maka bagaimana dia melanggar etika? Itu tidak bisa diperlakukan untuk ibu Hemas, untuk mencalonkan diri,” tutur Margarito.
Margarito juga menegaskan aturan yang lama tetap berlaku, tetapi tidak untuk anggota DPD yang baru dua hari bekerja. Oleh karena itu, Margarito kembali menegaskan belum bisa diberlakukan ketentuan itu kepada GKR Hemas.
“Karena itu tidak ada hambatan bagi Ibu Hemas untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan MPR. Menurut saya, anggota DPD tidak bisa dipakaia untuk menghalangi Ibu Hemas menjadi calon pimpinan MPR mewakili unsur DPD,” tutur Margarito.
Dia menambahkan seluruh anggota MPR justru perlu mempertimbangkan untuk mengakomodasi keterwakilan sosok perempuan dalam komposisi kepemimpinan MPR.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis menilai, secara hukum ketentuan itu hanya mengikat pada anggota DPD pada periode sebelumnya yang sudah berakhir pada 30 September 2019.
“Oleh karena sudah berakhir maka anggota DPD yang baru harus dianggap belum pernah melakukan apa-apa. Orang belum menjadi DPD kok sudah terikat pada ketentuan melanggar etika? Bahwa dia pernah melanggar etika di masa lalu, ya sudah berakhir kemarin. Konsekuensinya, sudah berakhir kemarin,” tutur Margarito kepada wartawan, Rabu (2/10/2019).
Menurut Margarito, pelantikan sebagai anggota DPD kemarin, sama dengan menghentikan seluruh masalah hukum yang terjadi di masa lalu.
“Oleh karena itu, kalaupun ada pelangaran etika maka sudah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa keanggotaan dia di masa lalu itu,” ujar Margarito.
Margarito mengatakan, ketika seseorang terpilih lagi, dan pemilu itu satu peristiwa hukum yang bernilai, bukan lagi orang yang terpilih itu adalah orang lama, tetapi dia orang baru. Karena itu, dia tidak lagi dianggap melanggar etika.
“Karena kegiatan DPD baru dimulai kemarin maka bagaimana dia melanggar etika? Itu tidak bisa diperlakukan untuk ibu Hemas, untuk mencalonkan diri,” tutur Margarito.
Margarito juga menegaskan aturan yang lama tetap berlaku, tetapi tidak untuk anggota DPD yang baru dua hari bekerja. Oleh karena itu, Margarito kembali menegaskan belum bisa diberlakukan ketentuan itu kepada GKR Hemas.
“Karena itu tidak ada hambatan bagi Ibu Hemas untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan MPR. Menurut saya, anggota DPD tidak bisa dipakaia untuk menghalangi Ibu Hemas menjadi calon pimpinan MPR mewakili unsur DPD,” tutur Margarito.
Dia menambahkan seluruh anggota MPR justru perlu mempertimbangkan untuk mengakomodasi keterwakilan sosok perempuan dalam komposisi kepemimpinan MPR.
(dam)