Libatkan Peran Masyarakat, RUU Pemasyarakatan Lebih Ramah HAM
A
A
A
JAKARTA - Penundaan pengesahan RUU KUHP berimbas terhadap RUU Pemasyarakatan. RUU Pemasyarakatan ikut ditunda pengesahannya. Padahal RUU yang menjadi salah satu bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2003 itu memuat berbagai muatan substansial baru yang lebih ramah akan hak asasi manusia (HAM).
Bahkan dalam penyusunannya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) mengikutsertakan masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi. Ditjen PAS menggelar ‘Sosialiasi dan Diskusi RUU PAS’ serentak di seluruh Indonesia mulai dari tanggal 24 September 2019.
“Ini menjadi strategi lanjutan kami agar masyarakat mengetahui lebih jauh bagaimana Pemasyarakatan berjalan,” kata Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Apalagi di dalam RUU PAS itu pun termaktub jaminan regulasi bagi masyarakat. Yakni mereka mendapatkan perlindungan dari pengulangan tindak pidana.
Penyelenggaraan kegiatan tersebut berlangsung menyeluruh, baik di tingkat pusat, wilayah dan daerah dengan mengundang berbagai unsur masyarakat. Tak hanya kalangan mahasiswa dan akademisi, para penggiat media, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerhati hukum, hingga tokoh masyarakat setempat pun terlibat penuh.
“Mengapa kami mengundang begitu banyak elemen masyarakat, tidak hanya akademisi? Tak lain agar semua memiliki pemahaman yang sama. Agar tak ada lagi misinterpretasi dan multi-tafsir seperti yang sering terjadi,” ujar Utami.
Ia melihat potensi tersebut sangat besar karena latar belakang masyarakat yang beragam. “Komunikasi yang terjalin dalam forum juga membuat kami mengerti bagaimana sebenarnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Tingginya antusiasme masyarakat terlihat jelas selama kegiatan sosialisasi dan diskusi itu berlangsung. Oman, dari LSM Persatuan Antar Suku Indonesia, misalnya. Saat mengikuti sosialisasi untuk wilayah Bogor Raya di Lapas Kelas II Cibinong, Oman memberikan saran untuk adanya fasilitas dan prosedur kunjungan khusus bagi narapidana yang sudah berumah tangga.
Ia juga melontarkan pertanyaan lain terkait perlakuan terhadap narapidana. “Bagaimana cara memperlakukan warga binaan sesuai level kerawanannya dan bagaimana RUU PAS menjawab penyimpangan yang terjadi selama ini, misalnya penyalahgunaan izin keluar berobat bagi narapidana?” kata Oman.
Kesempatan sosialisasi dan diskusi RUU tersebut juga dimanfaatkan akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta hingga Universitas Bosowa Makassar untuk menyampaikan aspirasi. Mereka berharap, tata cara perlakuan terhadap warga binaan serta penjelasan muatan dan istilah baru dalam RUU PAS dapat disosialisasikan lebih luas masyarakat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Ruslan Renggong mengatakan, miskomunikasi terjadi karena masyarakat belum paham apa saja muatan yang ada di dalam RUU PAS. “Seyogyanya segera lakukan sosialisasi bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan dalam RUU Pemasyarakatan yang ada,” katanya saat mengikuti sosialisasi dan diskusi RUU PAS di Aula Lapas Kelas I Makassar.
Dukungan pengesahan RUU PAS juga dinyatakan Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS), M. Ali Arranoval. Ia menilai substansi RUU Pemasyarakatan tidak seperti yang dibicarakan akhir-akhir ini.
Menurutnya, RUU PAS dapat menjawab kebobrokan pemasyarakan yang ada saat ini. “Kami mendorong agar penundaan RUU PAS ini jangan lama-lama. Semoga Presiden dan DPR dapat melihat RUU ini secara utuh dan sesegera mungkin melegalisasinya,” kata Ali.
Ali khawatir penundaan justru akan berdampak buruk pada banyak hal. Misalnya rencana penguatan sistem kelembagaan, budaya kerja, pola pendekatan penanganan tahanan dan narapidana, modernisasi teknologi informasi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, serta partisipasi masyarakat yang sangat dimungkinkan dalam RUU tersebut.
Padahal bila RUU PAS segera disahkan, akan ada beberapa persoalan yang segera bisa ditangani. Pertama, soal lapas overcrowding. Kedua, jika RUU itu tak kunjung disahkan, dikuatirkan program menekan angka residivis akan terganggu.
Ketiga, dengan ditunda maka persoalan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak, perempuan, lansia dan disabilitas masih akan menjadi persoalan besar. Ketentuan yang memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan itu diatur dengan tegas dalam Pasal 61 RUU Pemasyarakatan.
Keempat, penundaan akan membuat penerapan kebijakan sistem penilaian pembinaan, yang dalam RUU PAS ada aturan untuk mencatat seluruh aktivitas tahanan dan narapidana. “Ini disebut correction based evidence,” kata Ali. Kelima, penundaan akan membuat modernisasi tata kelola pemasyarakatan dengan menggunakan teknologi informasi pun akan tertunda.
Bahkan dalam penyusunannya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) mengikutsertakan masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi. Ditjen PAS menggelar ‘Sosialiasi dan Diskusi RUU PAS’ serentak di seluruh Indonesia mulai dari tanggal 24 September 2019.
“Ini menjadi strategi lanjutan kami agar masyarakat mengetahui lebih jauh bagaimana Pemasyarakatan berjalan,” kata Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Apalagi di dalam RUU PAS itu pun termaktub jaminan regulasi bagi masyarakat. Yakni mereka mendapatkan perlindungan dari pengulangan tindak pidana.
Penyelenggaraan kegiatan tersebut berlangsung menyeluruh, baik di tingkat pusat, wilayah dan daerah dengan mengundang berbagai unsur masyarakat. Tak hanya kalangan mahasiswa dan akademisi, para penggiat media, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerhati hukum, hingga tokoh masyarakat setempat pun terlibat penuh.
“Mengapa kami mengundang begitu banyak elemen masyarakat, tidak hanya akademisi? Tak lain agar semua memiliki pemahaman yang sama. Agar tak ada lagi misinterpretasi dan multi-tafsir seperti yang sering terjadi,” ujar Utami.
Ia melihat potensi tersebut sangat besar karena latar belakang masyarakat yang beragam. “Komunikasi yang terjalin dalam forum juga membuat kami mengerti bagaimana sebenarnya pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah,” tambahnya.
Tingginya antusiasme masyarakat terlihat jelas selama kegiatan sosialisasi dan diskusi itu berlangsung. Oman, dari LSM Persatuan Antar Suku Indonesia, misalnya. Saat mengikuti sosialisasi untuk wilayah Bogor Raya di Lapas Kelas II Cibinong, Oman memberikan saran untuk adanya fasilitas dan prosedur kunjungan khusus bagi narapidana yang sudah berumah tangga.
Ia juga melontarkan pertanyaan lain terkait perlakuan terhadap narapidana. “Bagaimana cara memperlakukan warga binaan sesuai level kerawanannya dan bagaimana RUU PAS menjawab penyimpangan yang terjadi selama ini, misalnya penyalahgunaan izin keluar berobat bagi narapidana?” kata Oman.
Kesempatan sosialisasi dan diskusi RUU tersebut juga dimanfaatkan akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta hingga Universitas Bosowa Makassar untuk menyampaikan aspirasi. Mereka berharap, tata cara perlakuan terhadap warga binaan serta penjelasan muatan dan istilah baru dalam RUU PAS dapat disosialisasikan lebih luas masyarakat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, Ruslan Renggong mengatakan, miskomunikasi terjadi karena masyarakat belum paham apa saja muatan yang ada di dalam RUU PAS. “Seyogyanya segera lakukan sosialisasi bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan dalam RUU Pemasyarakatan yang ada,” katanya saat mengikuti sosialisasi dan diskusi RUU PAS di Aula Lapas Kelas I Makassar.
Dukungan pengesahan RUU PAS juga dinyatakan Direktur Eksekutif Center for Detention Studies (CDS), M. Ali Arranoval. Ia menilai substansi RUU Pemasyarakatan tidak seperti yang dibicarakan akhir-akhir ini.
Menurutnya, RUU PAS dapat menjawab kebobrokan pemasyarakan yang ada saat ini. “Kami mendorong agar penundaan RUU PAS ini jangan lama-lama. Semoga Presiden dan DPR dapat melihat RUU ini secara utuh dan sesegera mungkin melegalisasinya,” kata Ali.
Ali khawatir penundaan justru akan berdampak buruk pada banyak hal. Misalnya rencana penguatan sistem kelembagaan, budaya kerja, pola pendekatan penanganan tahanan dan narapidana, modernisasi teknologi informasi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, serta partisipasi masyarakat yang sangat dimungkinkan dalam RUU tersebut.
Padahal bila RUU PAS segera disahkan, akan ada beberapa persoalan yang segera bisa ditangani. Pertama, soal lapas overcrowding. Kedua, jika RUU itu tak kunjung disahkan, dikuatirkan program menekan angka residivis akan terganggu.
Ketiga, dengan ditunda maka persoalan lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan seperti anak, perempuan, lansia dan disabilitas masih akan menjadi persoalan besar. Ketentuan yang memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan itu diatur dengan tegas dalam Pasal 61 RUU Pemasyarakatan.
Keempat, penundaan akan membuat penerapan kebijakan sistem penilaian pembinaan, yang dalam RUU PAS ada aturan untuk mencatat seluruh aktivitas tahanan dan narapidana. “Ini disebut correction based evidence,” kata Ali. Kelima, penundaan akan membuat modernisasi tata kelola pemasyarakatan dengan menggunakan teknologi informasi pun akan tertunda.
(poe)