Menteri Dinilai Tak Punya Hak untuk Sanksi Para Rektor
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menganggap, rektor boleh saja memberikan imbauan, namun tidak bisa melarang mahasiswa untuk menyampaikan pendapat dan aksi demonstrasi.
"Masalahnya muncul karena menristekdikti juga menyatakan akan memikirkan memberi sanksi bagi rektor yang tidak dapat meredam aksi mahasiswa," kata Ray kepada SINDOnews, Jumat (27/9/2019).
Menurut Ray, ada kekeliruan cara berfikir dari Menristek Dikti, Mohamad Nasir yang mengancam akan memberikan sanksi kepada para rektor yang mengimbau para mahasiswanya melakukan aksi demonstrasi.
Kata Ray, mahasiswa itu individu dewasa dan merdeka. Sebagai individu dewasa dan merdeka, mereka punya hak untuk berbicara, mengemukakan pendapat, dan berekspresi. Jadi dalam hal ini, siapapun tidak boleh melarang mereka.
Kemudian lanjut Ray, mahasiswa bergerak bukan atas dasar dan nama institusi kampus. Namun umumnya atas nama organisasi mahasiswa semisal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau sejenisnya.
Kata dia, di luar itu merupakan aksi yang dikelola secara mandiri oleh mereka. Dalam hal ini, Ray menganggap, tentu tak ada hak bagi rektor untuk mengatur lembaga mahasiswa yang diakui keberadaanya sebagai organisasi sah.
Berikutnya, masih kata Ray, isu aksi mahasiswa juga tidak berhubungan dengan isu yang tidak konstitusional. Ditambahkan Ray, mereka hanya menuntut agar KPK dipulihkan seperti sebelum adanya revisi UU KPK, menunda membahasa RUU yang semangatnya membatasi wilayah warga negara dan publik.
Sebaliknya, sejauh ini diketahui tidak ada isu agar menggagalkan pelantikan presiden, misalnya. Selama isu yang digulirkan mahasiswa masih di jalur konstitusi, tentu tidak ada hak rektor untuk menghentikannya.
"Maka karena itu, pemerintah tidak perlu membuat ketentuan akan memberi sanksi bagi rektor yang tidak mampu meredam aksi mahasiswa. Tidak ada hak menteri untuk memberi sanksi kepada para rektor karena hal ini dan karena memang tidak ada aturan yang bisa dijadikan sebagai dasarnya," ungkap Ray.
"Masalahnya muncul karena menristekdikti juga menyatakan akan memikirkan memberi sanksi bagi rektor yang tidak dapat meredam aksi mahasiswa," kata Ray kepada SINDOnews, Jumat (27/9/2019).
Menurut Ray, ada kekeliruan cara berfikir dari Menristek Dikti, Mohamad Nasir yang mengancam akan memberikan sanksi kepada para rektor yang mengimbau para mahasiswanya melakukan aksi demonstrasi.
Kata Ray, mahasiswa itu individu dewasa dan merdeka. Sebagai individu dewasa dan merdeka, mereka punya hak untuk berbicara, mengemukakan pendapat, dan berekspresi. Jadi dalam hal ini, siapapun tidak boleh melarang mereka.
Kemudian lanjut Ray, mahasiswa bergerak bukan atas dasar dan nama institusi kampus. Namun umumnya atas nama organisasi mahasiswa semisal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau sejenisnya.
Kata dia, di luar itu merupakan aksi yang dikelola secara mandiri oleh mereka. Dalam hal ini, Ray menganggap, tentu tak ada hak bagi rektor untuk mengatur lembaga mahasiswa yang diakui keberadaanya sebagai organisasi sah.
Berikutnya, masih kata Ray, isu aksi mahasiswa juga tidak berhubungan dengan isu yang tidak konstitusional. Ditambahkan Ray, mereka hanya menuntut agar KPK dipulihkan seperti sebelum adanya revisi UU KPK, menunda membahasa RUU yang semangatnya membatasi wilayah warga negara dan publik.
Sebaliknya, sejauh ini diketahui tidak ada isu agar menggagalkan pelantikan presiden, misalnya. Selama isu yang digulirkan mahasiswa masih di jalur konstitusi, tentu tidak ada hak rektor untuk menghentikannya.
"Maka karena itu, pemerintah tidak perlu membuat ketentuan akan memberi sanksi bagi rektor yang tidak mampu meredam aksi mahasiswa. Tidak ada hak menteri untuk memberi sanksi kepada para rektor karena hal ini dan karena memang tidak ada aturan yang bisa dijadikan sebagai dasarnya," ungkap Ray.
(maf)