Fenomena Mahasiswa Demo, Momentum Kebangkitan Parlemen Jalanan
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, fenomena demonstrasi besar-besaran dan masif hingga seluruh pelosok negeri yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa sebagai momentum kebangkitan parlemen jalanan yang nyaris mati suri selama 5 tahun belakangan.
"Sekaligus ajang konsolidasi gerakan mahasiswa yang tersebar oleh warna-warninya amamater. Tidak ada yang salah dari gerakan ini, justru negara perlu memberikan ruang sebesar-besarnya bagi perjuangan kerakyatan," tutur Sulthan kepada SINDOnews, Rabu (25/9/2019).
Kata Sulthan, apakah demonstrasi mahasiswa ini hanya soal revisi UU KPK, RUU KUHP dan atau RUU-RUU lainnya, ia menganggap, tidak sesederhana itu. Menurutnya, gerakan Ini perlu dilihat lebih luas sebagai bentuk akumulasi kekecewaan kolektif terhadap kebijakan pemerintahan selama 5 tahun ini.
(Baca juga: Politikus PDIP Sebut Negara dalam Bahaya, Pengamat: Berlebihan!)
Menurut dia, ada indikasi kekecewaan terhadap DPR, yang isinya adalah kumpulan partai politik sebagai infrastruktur utama demokrasi yang diharapkan menjadi alat mewujudkan kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat ditengah arus kapitalisme global yang semakin membahana.
Namun kata Sulthan, sebuah kebijakan itu tidak bisa dilahirkan hanya oleh satu cabang kekuasaan saja. Lebih dari itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan memegang peranan sentral dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang notabene adalah tujuan akhir dari Ideologi Pancasila.
Dijelaskan oleh Sulthan, semua kekuasaan dilahirkan melalui rahim partai politik. Bentuk kekecewaan rakyat yang diwakilkan oleh perjuangan mahasiswa ini salah satunya diakibatkan oleh pola gerak partai yang kerap melupakan pentingnya pendidikan politik bagi konstituen khususnya dan umumnya bagi rakyat.
Sementara bagi elite negeri, lanjut Sulthan, kedaulatan rakyat hanya dilihat sebagai festival lima tahunan, diperebutkan lalu dikesampingkan begitu saja. Ditambah lagi model kekuasaan sentralistik yang kini dipraktekkan oleh banyak partai politik kerap melupakan proses serapan aspirasi dari isi kepala konstituen. "Hasilnya ledakan kekecewaan," ujar dia.
Dengan demikian, maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang massif karena ada sebab tentu ada akibat atau ada aksi ada reaksi. Dalam melihat demonstrasi besar-besaran ini, satu kaca mata tidak cukup untuk mengurai benang kusut yang mendera. Karenanya, perlu terobosan kongkret dari kekuasaan agar gerakan ini tidak semakin larut hingga rawan disusupi penumpang gelap.
Terakhir, kata Analis Politik asal UIN Jakarta ini, apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa ini jangan lagi diperkeruh oleh tuduhan makar dan tuduhan-tuduhan lainnya yang justru tidak ada dasar pijakannya.
"Momentum ini harus digunakan sebaik-baiknya bagi partai politik dan elit kekuasaan untuk instropeksi dan melakukan kontemplasi guna menjawab tuntutan rakyat. Mari melihat demonstrasi ini sebagai langkah positif bagi kemajuan demokrasi di tanah air," pungkasnya.
"Sekaligus ajang konsolidasi gerakan mahasiswa yang tersebar oleh warna-warninya amamater. Tidak ada yang salah dari gerakan ini, justru negara perlu memberikan ruang sebesar-besarnya bagi perjuangan kerakyatan," tutur Sulthan kepada SINDOnews, Rabu (25/9/2019).
Kata Sulthan, apakah demonstrasi mahasiswa ini hanya soal revisi UU KPK, RUU KUHP dan atau RUU-RUU lainnya, ia menganggap, tidak sesederhana itu. Menurutnya, gerakan Ini perlu dilihat lebih luas sebagai bentuk akumulasi kekecewaan kolektif terhadap kebijakan pemerintahan selama 5 tahun ini.
(Baca juga: Politikus PDIP Sebut Negara dalam Bahaya, Pengamat: Berlebihan!)
Menurut dia, ada indikasi kekecewaan terhadap DPR, yang isinya adalah kumpulan partai politik sebagai infrastruktur utama demokrasi yang diharapkan menjadi alat mewujudkan kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat ditengah arus kapitalisme global yang semakin membahana.
Namun kata Sulthan, sebuah kebijakan itu tidak bisa dilahirkan hanya oleh satu cabang kekuasaan saja. Lebih dari itu, Presiden sebagai kepala pemerintahan memegang peranan sentral dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang notabene adalah tujuan akhir dari Ideologi Pancasila.
Dijelaskan oleh Sulthan, semua kekuasaan dilahirkan melalui rahim partai politik. Bentuk kekecewaan rakyat yang diwakilkan oleh perjuangan mahasiswa ini salah satunya diakibatkan oleh pola gerak partai yang kerap melupakan pentingnya pendidikan politik bagi konstituen khususnya dan umumnya bagi rakyat.
Sementara bagi elite negeri, lanjut Sulthan, kedaulatan rakyat hanya dilihat sebagai festival lima tahunan, diperebutkan lalu dikesampingkan begitu saja. Ditambah lagi model kekuasaan sentralistik yang kini dipraktekkan oleh banyak partai politik kerap melupakan proses serapan aspirasi dari isi kepala konstituen. "Hasilnya ledakan kekecewaan," ujar dia.
Dengan demikian, maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang massif karena ada sebab tentu ada akibat atau ada aksi ada reaksi. Dalam melihat demonstrasi besar-besaran ini, satu kaca mata tidak cukup untuk mengurai benang kusut yang mendera. Karenanya, perlu terobosan kongkret dari kekuasaan agar gerakan ini tidak semakin larut hingga rawan disusupi penumpang gelap.
Terakhir, kata Analis Politik asal UIN Jakarta ini, apa yang dilakukan oleh kawan-kawan mahasiswa ini jangan lagi diperkeruh oleh tuduhan makar dan tuduhan-tuduhan lainnya yang justru tidak ada dasar pijakannya.
"Momentum ini harus digunakan sebaik-baiknya bagi partai politik dan elit kekuasaan untuk instropeksi dan melakukan kontemplasi guna menjawab tuntutan rakyat. Mari melihat demonstrasi ini sebagai langkah positif bagi kemajuan demokrasi di tanah air," pungkasnya.
(maf)