Ditanya Soal Kasus Dana Hibah, Ini Jawaban Sekretaris Kemenpora
A
A
A
JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot Sulistiantoro Dewa Broto tentang dana hibah Kemenpora ke KON Pusat hingga Satlak Prima.
Gatot Sulistiantoro Dewa Broto merampungkan pemeriksaan sekitar pukul 18.37 WIB. Gatot mengatakan, penyidik KPK memeriksanya sejak pukul 10.00 WIB.
Dia mengatakan, pemeriksaannya terkait dengan kasus dugaan suap sehubungan dengan persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat tahun kegiatan 2018 serta penerima gratifikasi atas penerimaan-penerimaan lain.
Gatot membenarkan, pemeriksaan kali ini untuk dua tersangka sekaligus yakni Menpora (telah mengundurkan diri) Imam Nahrawi dan mantan asisten pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Dia mengaku sebelumnya pernah diminta keterangan oleh penyelidik pada Jumat (26/7/2019) saat kasus ini masih di tahap penyelidikan.
Gatot membeberkan, ada beberapa materi yang didalami penyidik saat pemeriksaan kali ini. Pertama, kapasitas Gatot sebagai Kemenpora untuk menjelaskan regulasi dan aturan tentang hibah boleh atau tidak, tanggung jawab Sekretaris Kemenpora seperti apa, hingga bagaimana alur anggaran seandainya KONI Pusat membutuhkan dana. Pertanyaannya seputar regulasi.
"Tapi tadi kalau tentang OTT (operasi tangkap tangan)-nya tidak disinggung secara spesifik (oleh penyidik). Saya lebih banyak di regulasi. Kemudian bagaimana terjemahan dari regulasi itu sendiri. Misalnya, secara konkret disebutkan tentang anggaran bahwa KONI mendapatkan angaran itu sah. Karena keberadaan KONI itu diatur dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional," ujar Gatot di lobi depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/9/2019) malam.
Di sisi lain kemudian ada sedikit perbedaan saat menjelang Asian Games 2018. Menjelang pesta olahraga akbar se-Asia itu, tutur Gatot, pada Oktober 2017 ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95/2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional. Pada Pasal 21 Perpres tersebut disebutkan, yang berhak mendapatkan anggaran yakni berdasarkan induk organisasi cabang olahraga dan National Paralympic Committee (NCP) of Indonesia
"Kemudian ditanya (oleh penyidik) apakah KONI boleh mendapatkan, kalau mengacu kepada Perpres itu tidak boleh. Lalu KONI dapat uang dari mana? Dari fasilitasi anggaran yang lain. Jadi bisa diperoleh. Tapi tahun ini kami terpaksa belum bisa memberikan anggaran untuk KONI," ungkapnya.
Gatot menjelaskan, alasan KONI Pusat tidak mendapatkan bantuan anggaran dari pemerintah melalui Kemenpora pada 2019 karena dua hal. Pertama, berdasarkan Perpres Nomor 95/2017 hanya induk cabang olahraga dan NCP yang memperoleh anggaran. Kedua, Laporan Pertanggungjawaban untuk tahun 2017 dan 2018 belum diserahkan KONI Pusat ke Kemenpora.
"Untuk LPJ tahun 2017 dan 2018 itu belum sepenuhnya diterima oleh Kemenpora," bebernya.
Dia memaparkan, materi berikutnya yang didalami penyidik KPK yakni terkait Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima). Dalam pemeriksaan, penyidik menanyakan secara utuh sejak kapan Satlak Prima berdiri, sampai kapan, kapan dibubarkan, hingga kenapa dibubarkan. Gatot menjelaskan, Satlak Prima didirikan sejak 2010 berdasarkan Perpres kemudian dibubarkan pada Oktober 2017 berdasarkan Perpres Nomor 95/2017.
"Ketentuan anggaran dan honornya ada. Ada ketentuannya. Ada SBML. SBML itu satuan biaya masukan lainnya yang ditentukan berdasarkan honornya berapa itu ada aturan Menteri Keuangan. Dan itu dokumennya ada di KPK juga," tuturnya.
Dia mengungkapkan, sebelum penunjukkan ketua Satlak Prima maka lebih dulu dilakukan bidding dan seleksi terbuka. Saat seleksi terbuka berlangsung, masing-masing calon ketua menyampaikan paparan. Gatot kaget saat disinggung apakah Imam Nahrawi selaku Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima maupun Achmah Sutjipto selaku ketua Satlak Prima diduga menerima uang suap atau gratifikasi.
"Saya enggak tahu, saya enggak tahu," imbuhnya.
Lebih itu Gatot mengklaim tidak tahu menahu bagaimana proses terdakwa Mulyana (divonis 4 tahun 6 bulan) selaku Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora menerima uang, bagaimana bantuan Mulyana maupun Ulum dalam proses pengurusan hingga pencairan dana hibah Kemenpora ke KONI Pusat, hingga bagaimana pertemuan dan pembicaraan Ulum dengan Imam Nahrawi sampai bisa menerima uang dengan total Rp26,5 miliar.
Gatot mengaku selama dia menjabat sebagai Sekretaris Kemenpora tidak pernah dimintai oleh Imam Nahrawi selaku Menpora untuk menyediakan uang operasional. Selain itu saat Gatot memegang jabatan Deputi IV tidak pernah ada pengurusan proposal bantuan dana hibah, kesepakatan kick back, dan eksekusi serah-terima kick back.
"Saya pernah jadi Deputi IV selama satu tahun, jadibawal 2016 sampai 2017. Dan, alhamdulilah di sana juga tidak ada budaya kick back. Jadi jangan digeneralisasi bahwa Kemenpora itu ada budaya kick back," ucapnya.
Gatot Sulistiantoro Dewa Broto merampungkan pemeriksaan sekitar pukul 18.37 WIB. Gatot mengatakan, penyidik KPK memeriksanya sejak pukul 10.00 WIB.
Dia mengatakan, pemeriksaannya terkait dengan kasus dugaan suap sehubungan dengan persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat tahun kegiatan 2018 serta penerima gratifikasi atas penerimaan-penerimaan lain.
Gatot membenarkan, pemeriksaan kali ini untuk dua tersangka sekaligus yakni Menpora (telah mengundurkan diri) Imam Nahrawi dan mantan asisten pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum. Dia mengaku sebelumnya pernah diminta keterangan oleh penyelidik pada Jumat (26/7/2019) saat kasus ini masih di tahap penyelidikan.
Gatot membeberkan, ada beberapa materi yang didalami penyidik saat pemeriksaan kali ini. Pertama, kapasitas Gatot sebagai Kemenpora untuk menjelaskan regulasi dan aturan tentang hibah boleh atau tidak, tanggung jawab Sekretaris Kemenpora seperti apa, hingga bagaimana alur anggaran seandainya KONI Pusat membutuhkan dana. Pertanyaannya seputar regulasi.
"Tapi tadi kalau tentang OTT (operasi tangkap tangan)-nya tidak disinggung secara spesifik (oleh penyidik). Saya lebih banyak di regulasi. Kemudian bagaimana terjemahan dari regulasi itu sendiri. Misalnya, secara konkret disebutkan tentang anggaran bahwa KONI mendapatkan angaran itu sah. Karena keberadaan KONI itu diatur dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional," ujar Gatot di lobi depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/9/2019) malam.
Di sisi lain kemudian ada sedikit perbedaan saat menjelang Asian Games 2018. Menjelang pesta olahraga akbar se-Asia itu, tutur Gatot, pada Oktober 2017 ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95/2017 tentang Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional. Pada Pasal 21 Perpres tersebut disebutkan, yang berhak mendapatkan anggaran yakni berdasarkan induk organisasi cabang olahraga dan National Paralympic Committee (NCP) of Indonesia
"Kemudian ditanya (oleh penyidik) apakah KONI boleh mendapatkan, kalau mengacu kepada Perpres itu tidak boleh. Lalu KONI dapat uang dari mana? Dari fasilitasi anggaran yang lain. Jadi bisa diperoleh. Tapi tahun ini kami terpaksa belum bisa memberikan anggaran untuk KONI," ungkapnya.
Gatot menjelaskan, alasan KONI Pusat tidak mendapatkan bantuan anggaran dari pemerintah melalui Kemenpora pada 2019 karena dua hal. Pertama, berdasarkan Perpres Nomor 95/2017 hanya induk cabang olahraga dan NCP yang memperoleh anggaran. Kedua, Laporan Pertanggungjawaban untuk tahun 2017 dan 2018 belum diserahkan KONI Pusat ke Kemenpora.
"Untuk LPJ tahun 2017 dan 2018 itu belum sepenuhnya diterima oleh Kemenpora," bebernya.
Dia memaparkan, materi berikutnya yang didalami penyidik KPK yakni terkait Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima). Dalam pemeriksaan, penyidik menanyakan secara utuh sejak kapan Satlak Prima berdiri, sampai kapan, kapan dibubarkan, hingga kenapa dibubarkan. Gatot menjelaskan, Satlak Prima didirikan sejak 2010 berdasarkan Perpres kemudian dibubarkan pada Oktober 2017 berdasarkan Perpres Nomor 95/2017.
"Ketentuan anggaran dan honornya ada. Ada ketentuannya. Ada SBML. SBML itu satuan biaya masukan lainnya yang ditentukan berdasarkan honornya berapa itu ada aturan Menteri Keuangan. Dan itu dokumennya ada di KPK juga," tuturnya.
Dia mengungkapkan, sebelum penunjukkan ketua Satlak Prima maka lebih dulu dilakukan bidding dan seleksi terbuka. Saat seleksi terbuka berlangsung, masing-masing calon ketua menyampaikan paparan. Gatot kaget saat disinggung apakah Imam Nahrawi selaku Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima maupun Achmah Sutjipto selaku ketua Satlak Prima diduga menerima uang suap atau gratifikasi.
"Saya enggak tahu, saya enggak tahu," imbuhnya.
Lebih itu Gatot mengklaim tidak tahu menahu bagaimana proses terdakwa Mulyana (divonis 4 tahun 6 bulan) selaku Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora menerima uang, bagaimana bantuan Mulyana maupun Ulum dalam proses pengurusan hingga pencairan dana hibah Kemenpora ke KONI Pusat, hingga bagaimana pertemuan dan pembicaraan Ulum dengan Imam Nahrawi sampai bisa menerima uang dengan total Rp26,5 miliar.
Gatot mengaku selama dia menjabat sebagai Sekretaris Kemenpora tidak pernah dimintai oleh Imam Nahrawi selaku Menpora untuk menyediakan uang operasional. Selain itu saat Gatot memegang jabatan Deputi IV tidak pernah ada pengurusan proposal bantuan dana hibah, kesepakatan kick back, dan eksekusi serah-terima kick back.
"Saya pernah jadi Deputi IV selama satu tahun, jadibawal 2016 sampai 2017. Dan, alhamdulilah di sana juga tidak ada budaya kick back. Jadi jangan digeneralisasi bahwa Kemenpora itu ada budaya kick back," ucapnya.
(maf)