Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Bersifat Kolonial
A
A
A
JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai bersifat kolonial. Maka itu, Pasal 262 hingga 264 dalam draf RKUHP itu terus mendapat kritikan.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan penghinaan terhadap Presiden dan pejabat umum itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. "Karena sudah tidak relevan lagi di zaman demokrasi," ujar Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Minggu (22/9/2019).
Dia berpendapat, penghinaan terhadap Presiden bisa dijadikan alat untuk memukul lawan pilitik. Padahal, UUD 1945 Pasal 7A mengatur mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, karena itu bisa potensial menghalang-halangi lawan politik.
"Demikian juga sifat pidana yang bersifat pidana umum dirubah menjadi delik aduan, karena kerugian lebih bersifat perdata," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pasal penghinaan terhadap Presiden itu dulunya untuk melindungi Ratu Belanda. Sehingga, pasal itu tidak cocok dalam konteks demokrasi yang presidennya berganti setiap lima tahun sekali.
"Dengan masih menggunakan delik penghinaan Presiden, maka delik ini bersifat kolonial," tegasnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan penghinaan terhadap Presiden dan pejabat umum itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. "Karena sudah tidak relevan lagi di zaman demokrasi," ujar Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Minggu (22/9/2019).
Dia berpendapat, penghinaan terhadap Presiden bisa dijadikan alat untuk memukul lawan pilitik. Padahal, UUD 1945 Pasal 7A mengatur mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, karena itu bisa potensial menghalang-halangi lawan politik.
"Demikian juga sifat pidana yang bersifat pidana umum dirubah menjadi delik aduan, karena kerugian lebih bersifat perdata," ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, pasal penghinaan terhadap Presiden itu dulunya untuk melindungi Ratu Belanda. Sehingga, pasal itu tidak cocok dalam konteks demokrasi yang presidennya berganti setiap lima tahun sekali.
"Dengan masih menggunakan delik penghinaan Presiden, maka delik ini bersifat kolonial," tegasnya.
(cip)