Pemerintah dan DPR Diminta Libatkan Semua Pihak Bahas RUU KUHP
A
A
A
JAKARTA - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati meminta pemerintah dan DPR mengajak semua pihak dalam merundingkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Dirinya menyayangkan pembahasan RUU KHUP hanya melibatkan para ahli.
"Karena itu salah sama sekali kalau meminta pendapat hanya dari ahli. Saya tekankan DPR dan pemerintah harus duduk bersama dengan masyarakat atau yang mewakili," ujar Asfinawati dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk ‘Mengapa RKUHP Ditunda?’ di D'consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
"Harusnya mereka bergerak di berbagai kota, melibatkan akademisi, masyarakat biasa, adat, NGO, terus menggali sebenarnya apa yang diharapkan publik terhadap hukum pidana," sambungnya.
Tak hanya mengajak semua pihak, Asfinawati juga berharap pemerintah melakukan kajian serius terkait pasal-pasal yang menuai kritik dalam RUU KUHP itu. "Harus ada pengambilan suara dari seluruh masyarakat. Tidak hanya di Jakarta atau di Jawa, tapi di seluruh wilayah Indonesia," jelasnya.
Nantinya, lanjut Asfinawati, semua masukan yang ada disaring dan disesuaikan dengan konstitusi dan hak asasi manusia (HAM) untuk kemudian diformulakan menjadi aturan. Seperti pembuatan kalimat dalam pasal perpasalnya.
Frasa-frasa yang ada dalam RUU KUHP baru harus melalu proses tes ke beberapa penegak hukum dan masyarakat. Hal itu dilakukan agar persepsi di luar terkait frasa-frasa tersebut telah cocok. Artinya memiliki kesepakatan menjadi satu tafsir.
"Karena misalnya begini, di KUHP yang lama ada kalimat pencurian adalah mengambil barang miliki orang lain tanpa izin. Nah berangkat dari kalimat itu mungkin tidak ada tafsir berbeda, tidak mungkin," tuturnya.
"Karena itu salah sama sekali kalau meminta pendapat hanya dari ahli. Saya tekankan DPR dan pemerintah harus duduk bersama dengan masyarakat atau yang mewakili," ujar Asfinawati dalam diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk ‘Mengapa RKUHP Ditunda?’ di D'consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
"Harusnya mereka bergerak di berbagai kota, melibatkan akademisi, masyarakat biasa, adat, NGO, terus menggali sebenarnya apa yang diharapkan publik terhadap hukum pidana," sambungnya.
Tak hanya mengajak semua pihak, Asfinawati juga berharap pemerintah melakukan kajian serius terkait pasal-pasal yang menuai kritik dalam RUU KUHP itu. "Harus ada pengambilan suara dari seluruh masyarakat. Tidak hanya di Jakarta atau di Jawa, tapi di seluruh wilayah Indonesia," jelasnya.
Nantinya, lanjut Asfinawati, semua masukan yang ada disaring dan disesuaikan dengan konstitusi dan hak asasi manusia (HAM) untuk kemudian diformulakan menjadi aturan. Seperti pembuatan kalimat dalam pasal perpasalnya.
Frasa-frasa yang ada dalam RUU KUHP baru harus melalu proses tes ke beberapa penegak hukum dan masyarakat. Hal itu dilakukan agar persepsi di luar terkait frasa-frasa tersebut telah cocok. Artinya memiliki kesepakatan menjadi satu tafsir.
"Karena misalnya begini, di KUHP yang lama ada kalimat pencurian adalah mengambil barang miliki orang lain tanpa izin. Nah berangkat dari kalimat itu mungkin tidak ada tafsir berbeda, tidak mungkin," tuturnya.
(kri)