Muhammadiyah Surati DPR Minta Pengesahan RUU Pesantren Ditunda
A
A
A
JAKARTA - PP Muhammadiyah mewakili 10 ormas dan pesantren menyurati DPR meminta agar pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pesantren ditunda. Muhammadiyah menilai banyak hal yang masih perlu didalami khususnya, terkait perubahan nama dari RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi RUU Pesantren saja.
“Kami berpendapat bahwa RUU Pesantren tidak dapat dipisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian pengaturan yang lebih tepat, apabila diperlukan pengaturan lebih terperinci, maka dilakukan dengan memasukkan materi muatan RUU Pesantren dengan revisi Undang-Undang Sisdiknas,” tulis PP Muhammadiyah dalam suratnya yang dikirim ke Pimpinan DPR pada 17 September kemarin.
Muhammadiyah juga mengkritisi terkiat dengan perubahan nama RUU karena perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ada persoalan mendasar akibat perbedaan pandangan terhadap RUU ini.
“Perubahan nomenklatur dan penghapusan ratusan pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. mengakibatkan RUU Pesantren kehilangan pijakan Naskah Akademik yang disusun untuk menghasilkan RUU Pesantren,” jelas Muhammadiyah.
Menurut Muhammadiyah, RUU Pesantren itu perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan dengan menyusun ulang Naskah Akademik RUU Pesantren yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu.
“Kami berpendapat materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama (Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu'adalah, dan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma'had Aly) sudah memberikan ruang bagi berkembangnya Pesantren,” papar Muhammadiyah.
Karena itu, Muhammadiyah berpandangan bahwa ada beberapa hal yang perlu dikaji secara menyeluruh. Yakni, tentang perubahan judul menjadi RUU Pesantren saja jarena belum ada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis terkait pemisahan pengaturan yang berbeda dengan pendidikan keagamaan lain. Karena, dapat menimbulkan persoalan disintegrasi serta diskriminatif dalam pelaksanannya karena ada pendidikan keagamaan yang disubordinatkan.
“Pendidikan keagamaan Islam bahkan berada dalam dua undang-undang yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Pesantren. Sedangkan pendidikan keagamaan selain Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peratauran Menteri. dan merupakan turunan dari UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. DIM No 1,” tulis Muhammadiyah.
Hasil kajian Muhammadiyah ini sudah dikirimkan Sekretariat DPR RI. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan dan penyempumaan pada RUU Pesantren antara lain: Pasal 1 angka 1, 2, 3,4, 5 dan 7; Pasal 3 hurufa. Pasal 5 ayat (2) huruf e: Pasal 5 ayat (3) huruf b; Pasal 7 ayat (2); Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 14 dan Pasal 15 yang terkait dengan pola pesantren yang terintegrasi antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
Pola pesantren yang didirikan oleh Perguruan Tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Keagamaan. Hal ini perlu diatur sebagai bentuk akomodasi terhadap perkembangan pesantren yang telah berkembang dan melakukan penyesuaian dengan pola pendidikan saat ini.
Selain itu, Pesantren dan Ma'had Aly sebagaimana diatur dalam RUU Pesantren ini belum mengakomodasi keberadaan Pesantren dan Ma'had Aly yang dikembangkan baik oleh Muhammadiyah maupun ormas atau lembaga atau yayasan atau bentuk lainnya, dalam hal pengembangan pesantren yang terintegrasi baik pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum, serta bentuk pesantren yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal.
“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas pada akhirnya kami berpendapat DPR RI dan Presiden RI perlu menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pesantren,” tutup Muhammadiyah.
Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti Arifin. Mereka bersurat mewakili ormas dan pesantren lainnya yakni Persyarikatn Muhammadiyah, Aisyiyah, Al-Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathla’ul Anwar, Badan Kerja Sama Antar Pesantren Indonesia (BKSPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah.
“Kami berpendapat bahwa RUU Pesantren tidak dapat dipisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian pengaturan yang lebih tepat, apabila diperlukan pengaturan lebih terperinci, maka dilakukan dengan memasukkan materi muatan RUU Pesantren dengan revisi Undang-Undang Sisdiknas,” tulis PP Muhammadiyah dalam suratnya yang dikirim ke Pimpinan DPR pada 17 September kemarin.
Muhammadiyah juga mengkritisi terkiat dengan perubahan nama RUU karena perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ada persoalan mendasar akibat perbedaan pandangan terhadap RUU ini.
“Perubahan nomenklatur dan penghapusan ratusan pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. mengakibatkan RUU Pesantren kehilangan pijakan Naskah Akademik yang disusun untuk menghasilkan RUU Pesantren,” jelas Muhammadiyah.
Menurut Muhammadiyah, RUU Pesantren itu perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan dengan menyusun ulang Naskah Akademik RUU Pesantren yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu.
“Kami berpendapat materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama (Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu'adalah, dan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma'had Aly) sudah memberikan ruang bagi berkembangnya Pesantren,” papar Muhammadiyah.
Karena itu, Muhammadiyah berpandangan bahwa ada beberapa hal yang perlu dikaji secara menyeluruh. Yakni, tentang perubahan judul menjadi RUU Pesantren saja jarena belum ada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis terkait pemisahan pengaturan yang berbeda dengan pendidikan keagamaan lain. Karena, dapat menimbulkan persoalan disintegrasi serta diskriminatif dalam pelaksanannya karena ada pendidikan keagamaan yang disubordinatkan.
“Pendidikan keagamaan Islam bahkan berada dalam dua undang-undang yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Pesantren. Sedangkan pendidikan keagamaan selain Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peratauran Menteri. dan merupakan turunan dari UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. DIM No 1,” tulis Muhammadiyah.
Hasil kajian Muhammadiyah ini sudah dikirimkan Sekretariat DPR RI. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan dan penyempumaan pada RUU Pesantren antara lain: Pasal 1 angka 1, 2, 3,4, 5 dan 7; Pasal 3 hurufa. Pasal 5 ayat (2) huruf e: Pasal 5 ayat (3) huruf b; Pasal 7 ayat (2); Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 14 dan Pasal 15 yang terkait dengan pola pesantren yang terintegrasi antara pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
Pola pesantren yang didirikan oleh Perguruan Tinggi Umum atau Perguruan Tinggi Keagamaan. Hal ini perlu diatur sebagai bentuk akomodasi terhadap perkembangan pesantren yang telah berkembang dan melakukan penyesuaian dengan pola pendidikan saat ini.
Selain itu, Pesantren dan Ma'had Aly sebagaimana diatur dalam RUU Pesantren ini belum mengakomodasi keberadaan Pesantren dan Ma'had Aly yang dikembangkan baik oleh Muhammadiyah maupun ormas atau lembaga atau yayasan atau bentuk lainnya, dalam hal pengembangan pesantren yang terintegrasi baik pendidikan keagamaan maupun pendidikan umum, serta bentuk pesantren yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal.
“Berdasarkan hal-hal tersebut di atas pada akhirnya kami berpendapat DPR RI dan Presiden RI perlu menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pesantren,” tutup Muhammadiyah.
Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti Arifin. Mereka bersurat mewakili ormas dan pesantren lainnya yakni Persyarikatn Muhammadiyah, Aisyiyah, Al-Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathla’ul Anwar, Badan Kerja Sama Antar Pesantren Indonesia (BKSPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah.
(kri)