Pasal Penghinaan Presiden Berpotensi Memberangus Perbedaan Pemikiran
A
A
A
JAKARTA - Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia, Sulthan Muhammad Yus menilai, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang revisinya sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam rapat pengesahan tingkat pertama di Ruang Komisi III DPR, Senayan, Jakarta akan segera diundangkan dalam lembaran negara.
"Artinya RUU ini akan menjadi UU dan segera diberlakukan," kata Sulthan kepada SINDOnews, Jumat (20/9/2019).
Menurut Sulthan, dalam RUU ini ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Salah satunya adalah dimasukkannya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Pengaturan tersebut tercantum dalam pasal 262 hingga 264 RUU KUHP.
Dia menganggap, pasal penghinaan presiden tersebut jelas rancu. Sebab dahulu di 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal 134 dan 136 KUHP terkait penghinaan kepada kepala negara.
Pasal itu, katanya, sudah pernah diputuskan bertentangan dengan UUD 1945, yang artinya yurisprudensinya telah ada. "Jadi untuk apa lagi dimasukkan kembali. DPR bersama pemerintah sepatutnya berkaca pada peristiwa di masa lampau tersebut," ujarnya.
Sulthan menuturkan, dalam UUD 1945, ada 10 pasal yang membicarakan tentang Hak Asasi Manusia. Menurutya, pasal 28A hingga 28J, di dalamnya terdapat pasal yang memuat jaminan untuk berbicara, mengeluarkan pendapat serta mengeluarkan isi pikiran.
"Saya pikir negara berhentilah mengurusi ketersinggungan seseorang. Jika tidak, ke depan kita butuh penjara di setiap kecamatan hanya untuk memenjarakan orang per orang. Ada baiknya persoalan yang begini tidak lagi menjadi ranah hukum publik tetapi hukum privat saja. Termasuk penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden," imbuhnya.
Selain itu, Sulthan menilai, ketentuan demikian bisa mengembalikan Indonesia menjadi negara yang antikritik. Menurut dia, kondisi ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi ke depan. Karena, Pasal penghinaan presiden ini berpotensi digunakan untuk memberangus perbedaan pikiran yang sering lahir dari lawan politik.
Meskipun ketentuan penghinaan presiden ini masuk dalam delik aduan, namun tidak elok jika sedikit-sedikit presiden melaporkan rakyatnya sendiri. Sejalan dengan itu, justru pasal ini bisa membuat adanya konfrontasi langsung antara presiden dengan rakyatnya.
"Ancaman terbesarnya justru hilangnya kemesraan bernegara antara presiden dengan rakyatnya. Perlu diingat, cara setiap warga negara mencintai presidennya sering kali diartikulasikan dengan cara yang berbeda," katanya.
"Artinya RUU ini akan menjadi UU dan segera diberlakukan," kata Sulthan kepada SINDOnews, Jumat (20/9/2019).
Menurut Sulthan, dalam RUU ini ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Salah satunya adalah dimasukkannya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Pengaturan tersebut tercantum dalam pasal 262 hingga 264 RUU KUHP.
Dia menganggap, pasal penghinaan presiden tersebut jelas rancu. Sebab dahulu di 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal 134 dan 136 KUHP terkait penghinaan kepada kepala negara.
Pasal itu, katanya, sudah pernah diputuskan bertentangan dengan UUD 1945, yang artinya yurisprudensinya telah ada. "Jadi untuk apa lagi dimasukkan kembali. DPR bersama pemerintah sepatutnya berkaca pada peristiwa di masa lampau tersebut," ujarnya.
Sulthan menuturkan, dalam UUD 1945, ada 10 pasal yang membicarakan tentang Hak Asasi Manusia. Menurutya, pasal 28A hingga 28J, di dalamnya terdapat pasal yang memuat jaminan untuk berbicara, mengeluarkan pendapat serta mengeluarkan isi pikiran.
"Saya pikir negara berhentilah mengurusi ketersinggungan seseorang. Jika tidak, ke depan kita butuh penjara di setiap kecamatan hanya untuk memenjarakan orang per orang. Ada baiknya persoalan yang begini tidak lagi menjadi ranah hukum publik tetapi hukum privat saja. Termasuk penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden," imbuhnya.
Selain itu, Sulthan menilai, ketentuan demikian bisa mengembalikan Indonesia menjadi negara yang antikritik. Menurut dia, kondisi ini berbahaya bagi perkembangan demokrasi ke depan. Karena, Pasal penghinaan presiden ini berpotensi digunakan untuk memberangus perbedaan pikiran yang sering lahir dari lawan politik.
Meskipun ketentuan penghinaan presiden ini masuk dalam delik aduan, namun tidak elok jika sedikit-sedikit presiden melaporkan rakyatnya sendiri. Sejalan dengan itu, justru pasal ini bisa membuat adanya konfrontasi langsung antara presiden dengan rakyatnya.
"Ancaman terbesarnya justru hilangnya kemesraan bernegara antara presiden dengan rakyatnya. Perlu diingat, cara setiap warga negara mencintai presidennya sering kali diartikulasikan dengan cara yang berbeda," katanya.
(cip)