Menyoal Keterbukaan dan Partisipasi Publik dalam Revisi UU KPK

Kamis, 19 September 2019 - 11:08 WIB
Menyoal Keterbukaan...
Menyoal Keterbukaan dan Partisipasi Publik dalam Revisi UU KPK
A A A
JAKARTA - DPR dan Presiden telah mengesahkan revisi Undang-undang NO 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Sejak dibahas hingga disahkan, revisi UU ini telah menimbulkan prokontra. Ada yang mendukung, adapula yang menolak.

Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi memberikan catatan mengenai revisi UU KPK.

Menurut dia, proses masuknya revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR hingga pembahasan bersama DPR dan Presiden mengabaikan partisipasi masyarakat.

Dia menilai partisipasi yang muncul dari publik melalui berbagai saluran tak dijadikan bahan masukan oleh Presiden dan DPR dalam pembahasan draf perubahan UU KPK.

"Padahal prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana rumusan di Pasal 5 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undnangan di antaranya adanya keterbukaan," kata Ferdian, Kamis (19/9/2019).

Dia memaparkan, partisipasi masyarakat ini sebagai ajang konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat 1-3 Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Patut dicatat, partisipasi masyarakat itu letaknya mulai dari proses penyiapan RUU, pembahasan RUU hingga pelaksanaan UU," tandas pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini.

Dia menilai proses revisi mengabaikan elemen dasar dalam pembentukan perubahan UU KPK ini, yakni keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Keduanya, kata dia, ibarat koin mata uang, tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya dalam pembentukan UU.

Mengenai soal materi perubahan, lanjut Ferdian, bisa saja tidak ada soal dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan meski dari sisi substansial materi sangat terbuka untuk diperdebatkan dan dimaknai sebagai bagian dari pelemahan KPK di satu sisi di sisi lain ada juga yang menilai sebagai penguatan KPK.

Dia menilai dalam konteks ini DPR dan Presiden dapat berdalih materi perubahan merupakan bagian dari open legal policy (pilihan kebijakan pembentuk UU). Ini situasinya mirip dengan penambahan jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang atau perubahan mekanisme pemilihan Pimpinan DPR pada tahun 2014 lalu. Dengan kata lain, secara materi UU ini sulit dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Ferdian, ada baiknya pihak-pihak yang keberatan dengan perubahan UU KPK ini dapat masuk melalui pintu pengujian formil, yakni menguji atas proses pembentukan UU ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Satu poin yang dapat dijadikan pintu masuk tak lain adalah berkenaan dengan pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusann atas RUU menjadi UU," tutur Ferdian
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1312 seconds (0.1#10.140)