Meretas Damai Abadi di Papua
A
A
A
PEMERINTAH terus melakukan pemulihan atas situasi di Papua. Lebih dari dua pekan setelah kerusuhan pecah di Jayapura, Sorong, dan kota lain pada akhir Agustus lalu, situasi Papua semakin kondusif. Kewajiban kita semua untuk mendukung agar situasi yang kian baik ini bisa terus terjaga dan terpelihara.
Sebab bagaimanapun jalan kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Terpenting dilakukan saat ini adalah duduk bersama, berdialog untuk bersama-sama menemukan jalan penyelesaian atas masalah yang terjadi.
Apresiasi perlu diberikan atas langkah pemerintah yang melakukan penanganan pascakerusuhan. Termasuk yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada Selasa (10/9), Jokowi menerima 61 perwakilan Papua dan Papua Barat di Istana Kepresidenan Jakarta. Mereka terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama.
Poin penting dari pertemuan itu adalah dipenuhinya sejumlah permintaan masyarakat Papua oleh Presiden. Ada sembilan permintaan yang diajukan dan hampir seluruhnya siap dipenuhi, termasuk pemekaran wilayah Papua dan pembangunan istana negara di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Muncul respons positif dan negatif dari masyarakat atas sikap Presiden tersebut. Sebagian menilai langkah Presiden bukan solusi yang paling dibutuhkan untuk mengatasi masalah yang ada. Sebagian lainnya beranggapan itu langkah tepat karena paling tidak akan mampu meredakan gejolak.
Semua sah-sah saja berpendapat dan pemerintah tak perlu terpengaruh oleh opini yang berkembang. Tugas pemerintah adalah tetap fokus melakukan langkah-langkah penanganan agar situasi semakin kondusif. Hanya memang pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi masalah di Bumi Cenderawasih.
Selama ini kita tahu setiap terjadi masalah, pendekatan keamanan sering dikedepankan. Ini bukannya tidak benar. Pengiriman polisi dan anggota TNI sangat diperlukan karena faktanya di daerah tersebut terdapat kelompok kriminal bersenjata yang sering berbuat teror. Bisa jadi tujuan negara meredam perlawanan dengan cara militeristik-represif dimaksudkan untuk melindungi keutuhan bangsa dan negara. Namun tanpa disadari tindakan represif itu justru membuat rantai kekerasan kian panjang.
Ekspresi kemarahan warga Papua beberapa waktu lalu harus dilihat secara luas, tidak semata sebagai respons atas tindakan kekerasan bernuansa SARA di Malang dan Surabaya. Masalah Papua multidimensi, menyangkut masalah ketidakadilan, ketertinggalan, eksploitasi alam, termasuk proses integrasi yang belum sepenuhnya tuntas. Masalah kian kompleks karena acap kali protes masyarakat yang menuntut perlakuan adil dan setara diboncengi oleh gerakan separatisme.
Memang bukan pekerjaan mudah menangani Papua karena kompleksnya persoalan. Tapi tidak salah jika pemerintah meniru langkah Presiden Gus Dur. Saat menjadi presiden, Gus Dur selalu mengedepankan pendekatan budaya. Gus Dur mengajak warga Papua berdialog, memintanya berbicara lebih dulu, lalu mendengarkannya.
Kisah tentang konsistensi Gus Dur ini bisa kita simak melalui publikasi NU Online. Melalui pemberitaan pada 12 Desember 2018, media resmi milik PBNU itu menceritakan dialog penting antara Gus Dur dan masyarakat Papua pada pengujung Desember 1999. Di situ Gus Dur resmi mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Alasan Gus Dur, pertama, Irian itu maknanya kurang baik. Kata itu disebut berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang (Urryan ). "Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang sehingga disebut Irian," kata Gus Dur kala itu. Alasan kedua , menurut Gus Dur, dalam tradisi Jawa jika memiliki anak yang sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh.
Sebagai bentuk penghormatan pula¸Gus Dur yang baru dua bulan dilantik jadi presiden memilih ke Papua saat pergantian tahun dan menyambut matahari milenium baru di ujung timur negeri itu. Semua langkah Gus Dur ini bisa saja terlihat sepele. Namun inilah cara Gus Dur. Dia mendekati warga Papua dengan cara menyentuh hatinya. Tak aneh bila Presiden keempat RI ini memiliki tempat tersendiri di hati warga Papua hingga kini.
Pemerintahan Jokowi juga sudah banyak melakukan perubahan untuk warga Papua. Dalam lima tahun ini sejumlah fasilitas dasar, mulai dari jalan, pos kesehatan, pasar, sekolah hingga sarana listrik di daerah terpencil diperbaiki. Bahkan Jokowi jadi presiden pertama yang menerapkan kebijakan satu harga untuk BBM dan semen bagi Papua. Namun kasus kerusuhan terakhir menyadarkan kita bahwa pemerintah perlu berbuat yang lebih demi menciptakan damai yang permanen.
"Kebahagiaan terbesar di dunia ialah merasa yakin kita dicintai." Demikian Victor Hugo dalam novel karyanya Les Miserables . Masyarakat Papua pun demikian, membutuhkan pengakuan yang tulus.
Untuk itu, ke depan, pemerintah perlu lebih sering mengajak tokoh dan organisasi yang dianggap merepresentasikan masyarakat Papua untuk berdialog dengan perspektif kesetaraan. Perlu dialog terus-menerus hingga kemudian warga Papua tidak lagi merasa termarginalkan, tidak merasa sebagai warga kelas dua di negeri sendiri.
Sebab bagaimanapun jalan kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Terpenting dilakukan saat ini adalah duduk bersama, berdialog untuk bersama-sama menemukan jalan penyelesaian atas masalah yang terjadi.
Apresiasi perlu diberikan atas langkah pemerintah yang melakukan penanganan pascakerusuhan. Termasuk yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada Selasa (10/9), Jokowi menerima 61 perwakilan Papua dan Papua Barat di Istana Kepresidenan Jakarta. Mereka terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama.
Poin penting dari pertemuan itu adalah dipenuhinya sejumlah permintaan masyarakat Papua oleh Presiden. Ada sembilan permintaan yang diajukan dan hampir seluruhnya siap dipenuhi, termasuk pemekaran wilayah Papua dan pembangunan istana negara di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Muncul respons positif dan negatif dari masyarakat atas sikap Presiden tersebut. Sebagian menilai langkah Presiden bukan solusi yang paling dibutuhkan untuk mengatasi masalah yang ada. Sebagian lainnya beranggapan itu langkah tepat karena paling tidak akan mampu meredakan gejolak.
Semua sah-sah saja berpendapat dan pemerintah tak perlu terpengaruh oleh opini yang berkembang. Tugas pemerintah adalah tetap fokus melakukan langkah-langkah penanganan agar situasi semakin kondusif. Hanya memang pemerintah perlu memikirkan pendekatan yang paling efektif untuk mengatasi masalah di Bumi Cenderawasih.
Selama ini kita tahu setiap terjadi masalah, pendekatan keamanan sering dikedepankan. Ini bukannya tidak benar. Pengiriman polisi dan anggota TNI sangat diperlukan karena faktanya di daerah tersebut terdapat kelompok kriminal bersenjata yang sering berbuat teror. Bisa jadi tujuan negara meredam perlawanan dengan cara militeristik-represif dimaksudkan untuk melindungi keutuhan bangsa dan negara. Namun tanpa disadari tindakan represif itu justru membuat rantai kekerasan kian panjang.
Ekspresi kemarahan warga Papua beberapa waktu lalu harus dilihat secara luas, tidak semata sebagai respons atas tindakan kekerasan bernuansa SARA di Malang dan Surabaya. Masalah Papua multidimensi, menyangkut masalah ketidakadilan, ketertinggalan, eksploitasi alam, termasuk proses integrasi yang belum sepenuhnya tuntas. Masalah kian kompleks karena acap kali protes masyarakat yang menuntut perlakuan adil dan setara diboncengi oleh gerakan separatisme.
Memang bukan pekerjaan mudah menangani Papua karena kompleksnya persoalan. Tapi tidak salah jika pemerintah meniru langkah Presiden Gus Dur. Saat menjadi presiden, Gus Dur selalu mengedepankan pendekatan budaya. Gus Dur mengajak warga Papua berdialog, memintanya berbicara lebih dulu, lalu mendengarkannya.
Kisah tentang konsistensi Gus Dur ini bisa kita simak melalui publikasi NU Online. Melalui pemberitaan pada 12 Desember 2018, media resmi milik PBNU itu menceritakan dialog penting antara Gus Dur dan masyarakat Papua pada pengujung Desember 1999. Di situ Gus Dur resmi mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Alasan Gus Dur, pertama, Irian itu maknanya kurang baik. Kata itu disebut berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang (Urryan ). "Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini menemukan masyarakatnya masih telanjang sehingga disebut Irian," kata Gus Dur kala itu. Alasan kedua , menurut Gus Dur, dalam tradisi Jawa jika memiliki anak yang sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh.
Sebagai bentuk penghormatan pula¸Gus Dur yang baru dua bulan dilantik jadi presiden memilih ke Papua saat pergantian tahun dan menyambut matahari milenium baru di ujung timur negeri itu. Semua langkah Gus Dur ini bisa saja terlihat sepele. Namun inilah cara Gus Dur. Dia mendekati warga Papua dengan cara menyentuh hatinya. Tak aneh bila Presiden keempat RI ini memiliki tempat tersendiri di hati warga Papua hingga kini.
Pemerintahan Jokowi juga sudah banyak melakukan perubahan untuk warga Papua. Dalam lima tahun ini sejumlah fasilitas dasar, mulai dari jalan, pos kesehatan, pasar, sekolah hingga sarana listrik di daerah terpencil diperbaiki. Bahkan Jokowi jadi presiden pertama yang menerapkan kebijakan satu harga untuk BBM dan semen bagi Papua. Namun kasus kerusuhan terakhir menyadarkan kita bahwa pemerintah perlu berbuat yang lebih demi menciptakan damai yang permanen.
"Kebahagiaan terbesar di dunia ialah merasa yakin kita dicintai." Demikian Victor Hugo dalam novel karyanya Les Miserables . Masyarakat Papua pun demikian, membutuhkan pengakuan yang tulus.
Untuk itu, ke depan, pemerintah perlu lebih sering mengajak tokoh dan organisasi yang dianggap merepresentasikan masyarakat Papua untuk berdialog dengan perspektif kesetaraan. Perlu dialog terus-menerus hingga kemudian warga Papua tidak lagi merasa termarginalkan, tidak merasa sebagai warga kelas dua di negeri sendiri.
(whb)