Putuson WTO Berpotensi Melanggar Hak-hak Konsumen Muslim

Rabu, 11 September 2019 - 08:12 WIB
Putuson WTO Berpotensi Melanggar Hak-hak Konsumen Muslim
Putuson WTO Berpotensi Melanggar Hak-hak Konsumen Muslim
A A A
JAKARTA - Kekalahan Indonesia dalam sejumlah sengketa perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO membuat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus menerbitkan aturan baru. Aturan baru tersebut intinya, tidak ada kewajiban negara pengekspor daging unggas ke lndonesia harus melakukan sertifikasi halal sebagai prasyarat diterimanya barang impor tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abddullah menilai, keputusan tersebut sangat serius dan harus dilakukan perundingan dengan negara pengimpor terutama Brazil. Jika lndonesia menjalankan keputuson WTO tersebut dengon sepenuhnya, maka akan memicu masalah yakni melanggar hak-hak konsumen muslim.

"Warga muslim, menurut data statistik berjumlah 220 juta jiwa. Bila diterapkan secara utuh, maka warga Negara Indonesia tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan Negara untuk mendapatkan daging impar baik daging unggas maupun daging merah," kata Ikhsan Abdullah melalui rilis yang diterima SINDOnews, Selasa (10/9/2019).

Menurutnya, Sekalipun yang dipersoalkan adalah produk daging ayam - unggas dalam Sengketa Perdagangan Nomor DS4B4, akan tetapi Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentu berimplikasi hukum bagi semua produk hewan dan turunannya.

Selain itu, pemerintah juga harus menghapuskan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mengatur mengenai kewajiban bersertifikasi halal yaitu, 'Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal'.

"Padahal lndonesio saat ini sedang mempersiapkan masa kewajiban mandatory sertifikasi halal untuk semua produk, baik produk impor maupun produk lokal yang akan dimulai pada 7 Oktober 2019," terangnya. Saat ini, Kementerian Perdagangan telah memperbarui ketentuan impor ayam dan produk ayam menyesuaikan putusan WTO.

Permendag Nomor 29 Tahun 2019 potensial untuk membuka pintu bagi semua produsen atau eksportir daging diperlakukaan sama, seperti halnya Negara Brazil, yakni meminta penghapusan atas persyaratan label halal terutama dari negara-negara member WTO.

Bila dibandingkan dengan Permendag Normor 59lM-DAG/PER/B/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan lmpor Hewan dan Produk Hewan, maka terdapat kewjiban yang dipersyaratkan untuk produk hewan impor atau dengan kata lain terdapat kewajiban untuk mencantumkan lobel kehalalan sesuai dengan Pasal l6 ayat (2) huruf e.

Permendag Nomor 29 Tahun 2019 juga tidak sinkron dengon Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23IPERMENTAN/P.K.210/5/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34lPermentanlPk.2l01712016 tentang Pemasukan Karkas, Daging.

Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik lndenesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 angka 3 yang menyebutkan, "Persyaratan halal bagi produk yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.

"Norma dari Permendag Nomor 29 Tahun 2019 seharusnya tidak layak untuk diundangkan mengingat melanggar ketentuan UU JPH juga bersinggungan dengan Peraturan Menteri yang sederajat," terangnya.

Akan tetapi, sebagai Negara berdaulat dan untuk kepentingan warga negaranya yang 87% adalah muslim, seharusnya lndonesia tidak tunduk dengan tekanan WTO apalagi untuk menghapuskan ketentuan halal bagi perdagangan daging unggas dan daging merah.

Jika Permendag ini diikuti oleh Negara pengimpor daging seperti Negara Brazil dan lainnya. Maka ketentuan syar'i (agama) yang sangat mendasar untuk hewan sembelihan tidak lagi menjadi kewajiban. "Karena kita tidak mengetahui lagi apakah daging unggas dan daging merah tersebut disembelih dengan proses penyembelihan yang memenuhi ketentuan atau standard syar'i," ungkapnya.

Tentu saja, lanjut dia, hal ini berdampak kepada akibat hukum dari perdagangan daging tersebut menjadi tidak jelas kehalalannya, padahal umat Islam wajib mengkonsumsi daging dengan persyaratan harus disembelih dengan proses penyembelihan dengan menyebut nama Allah sesuai ketentuan Al-Quran surat Al Maidah ayat 3 yang berbunyi,

"Diharamkan bagimu /memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala."

Untuk itu, lndonesia Halal Watch menyarankan agar Kementerian Perdagangan mencabut Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan lmpor Hewan dan Produk Hewan dan mengembalikan Pasal 16 angka tentang Ketentuan Ekspor dan lmpor Hewan dan Produk Hewan, yang menyatakan "kehalalan bagi yang dipersyaratkan" .

Ikhsan berharap, Kementerian Perdagangan agar aktif melakukan perundingan bilateral dengan Negara Brazil untuk meyakinkan, bahwa lndonesia mayoritas penduduknya muslim yang wajib mengkonsumsi daging halal dan tidak memungkinkan untuk menerima impor daging yang tidak bersertifikasi halal dari MUI dari Negara manapun.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5265 seconds (0.1#10.140)