Golkar Dinilai Layak Lanjutkan Kepemimpinan Airlangga
A
A
A
JAKARTA - Direktur Survey dan Polling Indonesia (SPIN), Igor Dirgantara, mengungkapkan Partai Golkar layak melanjutkan kepemimpinan Airlangga Hartarto. Igor mengatakan, saat ini kinerja Airlangga Hartaro sebagai pemimpin Golkar kerap dikritik pihak internal dan eksternal.
Igor menilai kritikan pihak internal dan eksternal kepada Airlangga itu sebenarnya bisa menjadi salah satu wujud apresiasi publik terhadap Partai Golkar.
"Begitu terbuka dan dinamis, tidak seperti partai politik lainnya yang feodal dan dengan gampang di tebak siapa yang akan menjadi ketua umumnya lagi," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (27/8/2019).
Igor menuturkan, salah satu kritik untuk Airlangga Hartarto adalah menurunnya perolehan suara Golkar di Pemilu 2019 lalu. Bagaimanapun, lanjut dia, hal seperti itu layaknya persepsi bagaimana seseorang melihat gelas setengah kosong berisi air.
"Yang negatif, melihat gelas tersebut hanyalah gelas setengah kosong. Yang positif, memandang bahwa gelas itu masih terisi air setengahnya. Reality is perception. Opini publik kemudian menjadi signifikan," ujar Dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Di satu sisi, kata dia, Airlangga dikritik karena Golkar di masa kepemimpinannya hanya meraih 85 kursi DPR dan dianggap gagal meraup target 110 kursi di Pemilu 2019. Dia membeberkan sebelumnya pada 2014 Golkar meraih 91 kursi, 2009 mendapat 106 kursi, dan 2004 meraih 128 kursi.
Namun di sisi yang lain, lanjut dia, Airlangga dipandang berhasil melakukan 'rebound' sekalipun jumlah kursi dan perolehan suara Golkar memang berkurang. Data pemilu menunjukkan bahwa pascareformasi perolehan suara Golkar konsisten menyusut dari pemilu ke pemilu.
Dia melanjutkan, pada Pemilu 1999 Partai Golkar meraih 25,97% suara, 2004 mendapat 23,27% suara atau turun sebesar 2,7%. Lalu pada 2009 memperoleh 19,11% atau turun 4,16%. Di Pemilu 2014 pun turun sebanyak 2,86% menjadi 16,25%.
Jadi, sebelum Airlangga menjadi Ketum Golkar, terjadi penurunan suara rata-rata di atas 2,5 %. Sementara sejak era Airlangga penurunan suara Partai Golkar berada di bawah 2% saja.
"Dan jangan lupa bahwa Airlangga menjabat Ketum Golkar sejak Munaslub 2017, hanya punya waktu satu setengah tahun untuk menyiapkan Golkar menghadapi Pemilu 2019," ungkapnya.
Dia menambahkan, saat Airlangga menerima jabatan tersebut, kondisi Golkar juga sedang terpuruk karena persoalan hukum Setya Novanto, disusul kasus Idrus Marham. Dikatakannya, Partai Golkar memang tidak berbakat menjadi oposisi.
Khitahnya di dalam lingkaran kekuasaan. Namun untuk pertama kalinya pasca reformasi, Partai Golkar sukses memenangkan capres-cawapres yang diusungnya, yaitu Joko Widodo – KH. Ma'ruf Amin.
"Golkar adalah partai yang pertama kali mengusung Jokowi untuk maju kembali di Pilpres 2019. Ini fakta positif lain yang sulit terbantahkan bahwa Partai Golkar layak melanjutkan kepemimpinan Airlangga Hartarto," katanya.
Igor menilai kritikan pihak internal dan eksternal kepada Airlangga itu sebenarnya bisa menjadi salah satu wujud apresiasi publik terhadap Partai Golkar.
"Begitu terbuka dan dinamis, tidak seperti partai politik lainnya yang feodal dan dengan gampang di tebak siapa yang akan menjadi ketua umumnya lagi," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (27/8/2019).
Igor menuturkan, salah satu kritik untuk Airlangga Hartarto adalah menurunnya perolehan suara Golkar di Pemilu 2019 lalu. Bagaimanapun, lanjut dia, hal seperti itu layaknya persepsi bagaimana seseorang melihat gelas setengah kosong berisi air.
"Yang negatif, melihat gelas tersebut hanyalah gelas setengah kosong. Yang positif, memandang bahwa gelas itu masih terisi air setengahnya. Reality is perception. Opini publik kemudian menjadi signifikan," ujar Dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Di satu sisi, kata dia, Airlangga dikritik karena Golkar di masa kepemimpinannya hanya meraih 85 kursi DPR dan dianggap gagal meraup target 110 kursi di Pemilu 2019. Dia membeberkan sebelumnya pada 2014 Golkar meraih 91 kursi, 2009 mendapat 106 kursi, dan 2004 meraih 128 kursi.
Namun di sisi yang lain, lanjut dia, Airlangga dipandang berhasil melakukan 'rebound' sekalipun jumlah kursi dan perolehan suara Golkar memang berkurang. Data pemilu menunjukkan bahwa pascareformasi perolehan suara Golkar konsisten menyusut dari pemilu ke pemilu.
Dia melanjutkan, pada Pemilu 1999 Partai Golkar meraih 25,97% suara, 2004 mendapat 23,27% suara atau turun sebesar 2,7%. Lalu pada 2009 memperoleh 19,11% atau turun 4,16%. Di Pemilu 2014 pun turun sebanyak 2,86% menjadi 16,25%.
Jadi, sebelum Airlangga menjadi Ketum Golkar, terjadi penurunan suara rata-rata di atas 2,5 %. Sementara sejak era Airlangga penurunan suara Partai Golkar berada di bawah 2% saja.
"Dan jangan lupa bahwa Airlangga menjabat Ketum Golkar sejak Munaslub 2017, hanya punya waktu satu setengah tahun untuk menyiapkan Golkar menghadapi Pemilu 2019," ungkapnya.
Dia menambahkan, saat Airlangga menerima jabatan tersebut, kondisi Golkar juga sedang terpuruk karena persoalan hukum Setya Novanto, disusul kasus Idrus Marham. Dikatakannya, Partai Golkar memang tidak berbakat menjadi oposisi.
Khitahnya di dalam lingkaran kekuasaan. Namun untuk pertama kalinya pasca reformasi, Partai Golkar sukses memenangkan capres-cawapres yang diusungnya, yaitu Joko Widodo – KH. Ma'ruf Amin.
"Golkar adalah partai yang pertama kali mengusung Jokowi untuk maju kembali di Pilpres 2019. Ini fakta positif lain yang sulit terbantahkan bahwa Partai Golkar layak melanjutkan kepemimpinan Airlangga Hartarto," katanya.
(cip)