Menteri Yohana Apresiasi Putusan Hakim PN Mojokerto Soal Vonis Kebiri
A
A
A
JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengapresiasi putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto yang menjatuhkan hukuman pidana kebiri bagi Muh Aris bin Syukur (20) terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap 9 orang anak sejak 2015.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Kemen-PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa,” ungkap Menteri PPPA Yohana Yembise melalui siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (26/8/2019).
Yohana mengungkapkan, aturan hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum. (Baca juga: Belum Ada Juknis, Hukuman terhadap Aris Belum Bisa Dilaksanakan )
Sebelumnya, Majelis Hakim PN Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia menerapkan pemberatan hukuman dengan pidana kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hal ini merupakan sebuah langkah maju yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi terdakwa.
Menurut dia, kebiri adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan. Efek dari hukuman tambahan akan bisa dilihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok.
Yohana menegaskan hukuman tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak. "Seperti kita ketahui bahwa Presiden telah menyatakan kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa,” ungkap Yohana.
Oleh karena itu, sambung dia, diperlukan pemberatan hukuman. Pelakunya dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat 6 dan 7 pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016,” kata Menteri Yohana.
Sesuai dengan fungsi koordinasi pelaksanaan penanganan perlindungan perempuan dan anak berbasis gender, Kemen-PPPA telah berkoordinasi dengan pusat dan daerah dalam melakukan pencegahan dan memperkuat advokasi dan sosialisasi guna menurunkan angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Selain itu, pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, yang di dalamnya terdapat pemberatan hukuman bagi pelaku dalam kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) tidak menoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Kemen-PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa,” ungkap Menteri PPPA Yohana Yembise melalui siaran pers yang diterima SINDOnews, Senin (26/8/2019).
Yohana mengungkapkan, aturan hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual sudah seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum. (Baca juga: Belum Ada Juknis, Hukuman terhadap Aris Belum Bisa Dilaksanakan )
Sebelumnya, Majelis Hakim PN Mojokerto menjadi yang pertama di Indonesia menerapkan pemberatan hukuman dengan pidana kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hal ini merupakan sebuah langkah maju yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi terdakwa.
Menurut dia, kebiri adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan. Efek dari hukuman tambahan akan bisa dilihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok.
Yohana menegaskan hukuman tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak. "Seperti kita ketahui bahwa Presiden telah menyatakan kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa,” ungkap Yohana.
Oleh karena itu, sambung dia, diperlukan pemberatan hukuman. Pelakunya dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 Ayat 6 dan 7 pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2016 yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016,” kata Menteri Yohana.
Sesuai dengan fungsi koordinasi pelaksanaan penanganan perlindungan perempuan dan anak berbasis gender, Kemen-PPPA telah berkoordinasi dengan pusat dan daerah dalam melakukan pencegahan dan memperkuat advokasi dan sosialisasi guna menurunkan angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Selain itu, pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, yang di dalamnya terdapat pemberatan hukuman bagi pelaku dalam kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak.
(dam)