Suap Kapal Distribusi Pupuk, General Manager PT HTK Divonis 1,5 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis terdakwa pemberi suap General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasty dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Majelis hakim yang dipimpin Rianto Adam Pontoh menilai, berdasarkan fakta-fakta persidangan mulai dari keterangan saksi, alat bukti berupa dokumen dan surat, alat bukti petunjuk seperti sadapan percakapan dan transkrip pesan singkat via WhatsApp, hingga keterangan terdakwa maka disimpulkan Asty Winasty telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut.
Asty terbukti melakukan perbuatannya bersama-sama dengan Direktur PT HTK Taufik Agustono (belum tersangka) telah memberikan suap sebesar USD158.733 dan Rp311.022.932 ke terdakwa penerima suap Bowo Sidik Pangarso selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar. Uang suap tersebut diterima Bowo baik secara langsung maupun melalui istri Bowo yakni Budi Waluyanti dan tersangka orang kepercayaan Bowo sekaligus pegawai PT Inersia Ampak Engineers (Inersia) M Indung Andriani K.
Majelis hakim meyakini, uang suap yang sempat disamarkan sebagai 'management fee' ke PT Inersia terbukti untuk pengurusan kontrak sewa-menyewa kapal antara PT HTK dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Kapal milik PT HTK adalah Kapal MT Griya Borneo dengan kapasitas 9.000 metrik ton disewa PT Pilog untuk pengangkutan amoniak pupuk dan kapal PT Pilog yang bernama Kapal MT Pupuk Indonesia dengan kapasitas 13.500 metrik ton dapat disewa PT. HTK untuk kebutuhan mengangkut Gas Elpiji Pertamina.
"Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Asty Winasty dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidiair kurungan selama 4 bulan," tegas Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan, amar putusan atas nama Asty, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Majelis menilai, perbuatan Asty terbukti telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Hakim Rianto membeberkan, saat terjadi perbuatan pidana terdapat keterlibatan sejumlah pihak. Mereka di antaranya, mantan Direktur Umum dan SDM PT Petrokimia Gresik (Persero) yang kini Direktur Utama PT Petrokimia Gresik (Persero) Rahmad Pribadi, makelar kontrak kerjasama bernama Steven Wang, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Aas Asikin Idat, Direktur Pemasaran PT PIHC Achmad Tossin Sutawikara, dan jajaran direksi PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) termasuk Direktur Utama PT Pilog Ahmadi Hasan.
"Terdakwa (Asty) juga telah memberikan uang kepada Ahmadi Hasan dan diterima seluruhnya sebesar USD28.500 oleh Ahmadi Hasan, serta kepada Steven Wang dan diterima seluruhnya USD32.300 dan Rp186.878.664 oleh Steven Wang," ujar anggota majelis hakim Ugo.
Atas putusan majelis hakim, Asty Winasty bersama tim penasihat hukumnya begitu juga Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengaku akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima atau banding
Majelis hakim yang dipimpin Rianto Adam Pontoh menilai, berdasarkan fakta-fakta persidangan mulai dari keterangan saksi, alat bukti berupa dokumen dan surat, alat bukti petunjuk seperti sadapan percakapan dan transkrip pesan singkat via WhatsApp, hingga keterangan terdakwa maka disimpulkan Asty Winasty telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik pemberian suap secara bersama-sama dan berlanjut.
Asty terbukti melakukan perbuatannya bersama-sama dengan Direktur PT HTK Taufik Agustono (belum tersangka) telah memberikan suap sebesar USD158.733 dan Rp311.022.932 ke terdakwa penerima suap Bowo Sidik Pangarso selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar. Uang suap tersebut diterima Bowo baik secara langsung maupun melalui istri Bowo yakni Budi Waluyanti dan tersangka orang kepercayaan Bowo sekaligus pegawai PT Inersia Ampak Engineers (Inersia) M Indung Andriani K.
Majelis hakim meyakini, uang suap yang sempat disamarkan sebagai 'management fee' ke PT Inersia terbukti untuk pengurusan kontrak sewa-menyewa kapal antara PT HTK dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Kapal milik PT HTK adalah Kapal MT Griya Borneo dengan kapasitas 9.000 metrik ton disewa PT Pilog untuk pengangkutan amoniak pupuk dan kapal PT Pilog yang bernama Kapal MT Pupuk Indonesia dengan kapasitas 13.500 metrik ton dapat disewa PT. HTK untuk kebutuhan mengangkut Gas Elpiji Pertamina.
"Mengadili, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Asty Winasty dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidiair kurungan selama 4 bulan," tegas Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan, amar putusan atas nama Asty, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Majelis menilai, perbuatan Asty terbukti telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Hakim Rianto membeberkan, saat terjadi perbuatan pidana terdapat keterlibatan sejumlah pihak. Mereka di antaranya, mantan Direktur Umum dan SDM PT Petrokimia Gresik (Persero) yang kini Direktur Utama PT Petrokimia Gresik (Persero) Rahmad Pribadi, makelar kontrak kerjasama bernama Steven Wang, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Aas Asikin Idat, Direktur Pemasaran PT PIHC Achmad Tossin Sutawikara, dan jajaran direksi PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) termasuk Direktur Utama PT Pilog Ahmadi Hasan.
"Terdakwa (Asty) juga telah memberikan uang kepada Ahmadi Hasan dan diterima seluruhnya sebesar USD28.500 oleh Ahmadi Hasan, serta kepada Steven Wang dan diterima seluruhnya USD32.300 dan Rp186.878.664 oleh Steven Wang," ujar anggota majelis hakim Ugo.
Atas putusan majelis hakim, Asty Winasty bersama tim penasihat hukumnya begitu juga Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengaku akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima atau banding
(pur)