Luruskan Sejarah Lewat Buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah
A
A
A
JAKARTA - Dalam merayakan hari Kemerdekaan RI yang ke-74, Sejarawan Batara Richard Hutagalung kembali meluncurkan bukunya yang berjudul “Indonesia Tidak Pernah Dijajah”. Lewat buku ini, Batara dengan berani ingin meluruskan sejarah dan fakta-fakta yang selama ini dipercayai oleh bangsa Indonesia dan juga dunia bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
“Saya yang hanya tamatan SMA menulis buku dan dibahas oleh 3 guru besar. Kita ingin mendengar bagaimana pendapat 3 guru besar terhadap hasil penelitian saya selama 25 tahun. Kok selama ini, hanya dibahas Belanda jajah indonesia atau Jepang jajah Indonesia. Tidak ada pembahasan 5 tahun wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara direbut Inggris,” kata Batara membuka acara bedah bukunya di Ruang KK I, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.
Batara ingin bertukar pikiran dengan para ahli sejarah lainnya mengenai hasil penelitiannya bahwa Indonesia memang tidak pernah dijajah. Karena Indonesia baru terbentuk pada 17 Agustus 1945. “Jadi intinya saya ucapkan teirma kasih banyak pada guru besar dan para peserta. Kita bertukar pikiran apakah benar pendapat saya bahwa Indonesia sebagai entitas politik baru ada pada 17 Agustus 1945 dan belum pernah dijajah,” tegas Batara.
Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai bahwa buku ini menjadi tema yang cukup provokatif untuk didiskusikan karena selama ini, berbagai catatan sejarah mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. Padahal, yang dijajah selama itu hanya Batavia saja yang kini berubah menjadi DKI Jakarta.
Bahkan, di Aceh hanya dijajah 40 tahun saja dan di Jawa sendiri baru dijajah pada 1830 setelah Perang Jawa. “Buku ini suatu bahan yang sangat menarik kita diskusikan di hari yang masih bagian hari proklamasi HUT RI ke-74 tahun. Peristiwa penting di 17 Agustus dan banyak didiskusikan,” kata Fadli saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Bedah Buku “Indonesia Tidak Pernah Dijajah”.
Menurut Fadli, dia sangat mengenal Batara sejak 20 tahun lalu. Batara punya fokus pada sejarah Indonesia dan terus memperjuangkan hutang kehormatan Belanda sebagai ketua umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUB) karena, Belanda memiliki banyak hutang atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan di masa lampau. Bahkan sampai saat ini, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure yakni 17 Agustus 1945, Belanda hanya mengakui secara de facto.
“Dan meski sudah puluhan tahun berlalu, hal ini menjadi PR untuk terus diperjuangkan,” imbuhnya. Fadli percaya bahwa buku ini lahir secara organik dari penelitian Batara, karena seorang sejarawan sejati tidak hanya membaca buku intelektual mainstream tetapi juga harus mengasah pisaunya sendiri untuk benar/benar menguak sejarah.
“Pak Batara juga seorang sejarawan yang aktif. Bukan tipe yang berdiri di menara gading. Dia mengungkan bagaimana perjalanan bangsa menentukan positioning kita lewat sejarah,” ucap Fadli. Selain itu, Fadli yang juga sangat tertarik pada sejarah itu juga mengungkapkan bahwa secara arkeologi Indonesia ini berasal dari peradaban yang sudah sangat tua sekali.
Hal itu dibuktikan dengan penemuan Megatropus Paleojavanicus dan penemuan manusia prasejarah lainnya. Untuk itu, Fadli memiliki pemikiran tentang perlunya Indonesia kembali menulis ulang sejarahnya karena sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemerintahan kolonial Belanda.
“Kita perlu memikirkan kembali rewriting history Indonesia karena sejarah kita dipengaruhi oleh Belanda. Dan termasuk Indonesia tidak pernah dijajah karena yang dijajah kesultanan-kesultanan itu, belum menjadi Indonesia. Kalaupun kita dijajah jangan-jangan sekarang kita dijajah,” tutur Fadli.
Pemikiran Batara ini juga diamini oleh para pembedah buku. Selain memuji alur penulisan Batara yang tidak membosankan, para pembedah yang juga ahli sejarah dan concern terhadap sejarah juga membenarkan hasil analisis Batara dalam bukunya.
“Walaupun dia menyatakan dia tidak sejarawan tapi karyanya lebih banyak dari sejarawan. Bukunya tidak membosankan, asik juga membacanya, karena buku sejarah biasanya membosankan karena ditulis sejarawan. Karena fakanya harus dibuktikan juga. Suasana buku suasana nasionalisme Indonesia,” kata Sejarawan Senior Taufik Abdullah.
Menurut dia, sejarah itu bukan hanya untuk memberitahukan apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga untuk menjelaskan siapa bangsa Indonesia. Dan memang saat nusantara dijajah Belanda masih Hindia Belanda. “Karena sebelumnya Indonesia adalah Hindia Belanda. Jadi buku ini setelah saya baca adalah rentetan dari peristiwa (sejarah sampai kemerdekaan),” ungkapnya.
Diplomat RI, Makarim Wibisono mengaku cukup bingung saat menjawab pertanyaan apakah Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Dia menceritakan bahwa pada 1975, dia pernah mengikuti acara persiapan sebelum menjadi diplomat di Australia. Salah satu peserta dari Amerika Latin bertanya apakah Indonesia berpenduduk 200 juta dan pernah dijajah negara kecil seperti Belanda. Dan dia bingung menjawab pertanyaan tersebut.
“Jadi saya pada waktu terima buku, pak Batara memperkaya khasanah orang Indonesia untuk bisa menjawab pertanyaan orang luar. Pak Batara anak seorang pahlawan, Kolonel Dokter Wiliater Hutagalung, salah satu orang yang menyusun konsep perang gerilya. Saya nggak aneh kalau buku ini penuh semangat cinta tanah air,” kata Makarim di kesempatan sama.
Menurut Makarim, buku semacam ini perlu disebarluaskan ke anak didik Indonedia karena dalam buku ini banyak kisah heroik yang tidak diketahui. Dan buku ini menggambarkan Belanda sebagai bangsa Belanda yang sebenarnya, yang sangat memeras, tanpa peri kemanusiaan yg beradab.
Sejak zaman VOC, Belanda memperjualbelikan lada, rempah-rempah, Belanda juga memperjualbelikan orang-orang dari Banda, Bali dan daerah-daerah lain sebagai budak-budak. “Saat bertugas di Capetowm ada pasar budak yang dijalankan Belanda, ada list-list orangnya. Jadi memang kita kurang beruntung karena dijajah satu bangsa kecil, bukan hanya SDA tapi juga SDM. Dalam buku ini dikatakan bahwa bangsa Belanda penjajah yang kejam,” ungkapnya.
Karena itu, menurutnya, gambaran bahwa Indonesia telah dijajah bangsa kecil selama 350 tahun sungguh merugikan bangsa Indonesia. Padahal, Indonesia itu baru berdiri pada 17 Agustus 1945. Dan yang pertama kali dijajah Belanda adalah Jayakarta, Banda, Maluku.
Bahkan tahun 1900 Tapanuli masih merdeka, kerajaan Badung dan Klungkung Bali juga masih berkuasa penuh. “Saya hargai buku ini karena ini bisa menjawab kita terhadap pertanyaan bangsa-bangsa lain. Ini buku wajib buat sekolah supaya mereka bisa tahu,” tambah Makarim.
Kemudian, Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar Marthen Napang mengakui bahwa buku ini merupakan salah satu literatur utama dan pertama yang mampu meluruskan fakta-fakta sejarah masa lalu. “Buku pak Batara salah satu literatur utama dan pertama untuk meluruskan fakta-fakta sejarah masa lalu. Sejarah selalu membawa kita pada 3 dimensi, masa lalu, masa kini dan masa depan, memberikan inspirasi-inspirasi,” tutur Marthen.
“Saya yang hanya tamatan SMA menulis buku dan dibahas oleh 3 guru besar. Kita ingin mendengar bagaimana pendapat 3 guru besar terhadap hasil penelitian saya selama 25 tahun. Kok selama ini, hanya dibahas Belanda jajah indonesia atau Jepang jajah Indonesia. Tidak ada pembahasan 5 tahun wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara direbut Inggris,” kata Batara membuka acara bedah bukunya di Ruang KK I, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.
Batara ingin bertukar pikiran dengan para ahli sejarah lainnya mengenai hasil penelitiannya bahwa Indonesia memang tidak pernah dijajah. Karena Indonesia baru terbentuk pada 17 Agustus 1945. “Jadi intinya saya ucapkan teirma kasih banyak pada guru besar dan para peserta. Kita bertukar pikiran apakah benar pendapat saya bahwa Indonesia sebagai entitas politik baru ada pada 17 Agustus 1945 dan belum pernah dijajah,” tegas Batara.
Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai bahwa buku ini menjadi tema yang cukup provokatif untuk didiskusikan karena selama ini, berbagai catatan sejarah mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. Padahal, yang dijajah selama itu hanya Batavia saja yang kini berubah menjadi DKI Jakarta.
Bahkan, di Aceh hanya dijajah 40 tahun saja dan di Jawa sendiri baru dijajah pada 1830 setelah Perang Jawa. “Buku ini suatu bahan yang sangat menarik kita diskusikan di hari yang masih bagian hari proklamasi HUT RI ke-74 tahun. Peristiwa penting di 17 Agustus dan banyak didiskusikan,” kata Fadli saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Bedah Buku “Indonesia Tidak Pernah Dijajah”.
Menurut Fadli, dia sangat mengenal Batara sejak 20 tahun lalu. Batara punya fokus pada sejarah Indonesia dan terus memperjuangkan hutang kehormatan Belanda sebagai ketua umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUB) karena, Belanda memiliki banyak hutang atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan di masa lampau. Bahkan sampai saat ini, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure yakni 17 Agustus 1945, Belanda hanya mengakui secara de facto.
“Dan meski sudah puluhan tahun berlalu, hal ini menjadi PR untuk terus diperjuangkan,” imbuhnya. Fadli percaya bahwa buku ini lahir secara organik dari penelitian Batara, karena seorang sejarawan sejati tidak hanya membaca buku intelektual mainstream tetapi juga harus mengasah pisaunya sendiri untuk benar/benar menguak sejarah.
“Pak Batara juga seorang sejarawan yang aktif. Bukan tipe yang berdiri di menara gading. Dia mengungkan bagaimana perjalanan bangsa menentukan positioning kita lewat sejarah,” ucap Fadli. Selain itu, Fadli yang juga sangat tertarik pada sejarah itu juga mengungkapkan bahwa secara arkeologi Indonesia ini berasal dari peradaban yang sudah sangat tua sekali.
Hal itu dibuktikan dengan penemuan Megatropus Paleojavanicus dan penemuan manusia prasejarah lainnya. Untuk itu, Fadli memiliki pemikiran tentang perlunya Indonesia kembali menulis ulang sejarahnya karena sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemerintahan kolonial Belanda.
“Kita perlu memikirkan kembali rewriting history Indonesia karena sejarah kita dipengaruhi oleh Belanda. Dan termasuk Indonesia tidak pernah dijajah karena yang dijajah kesultanan-kesultanan itu, belum menjadi Indonesia. Kalaupun kita dijajah jangan-jangan sekarang kita dijajah,” tutur Fadli.
Pemikiran Batara ini juga diamini oleh para pembedah buku. Selain memuji alur penulisan Batara yang tidak membosankan, para pembedah yang juga ahli sejarah dan concern terhadap sejarah juga membenarkan hasil analisis Batara dalam bukunya.
“Walaupun dia menyatakan dia tidak sejarawan tapi karyanya lebih banyak dari sejarawan. Bukunya tidak membosankan, asik juga membacanya, karena buku sejarah biasanya membosankan karena ditulis sejarawan. Karena fakanya harus dibuktikan juga. Suasana buku suasana nasionalisme Indonesia,” kata Sejarawan Senior Taufik Abdullah.
Menurut dia, sejarah itu bukan hanya untuk memberitahukan apa yang terjadi di masa lalu, tapi juga untuk menjelaskan siapa bangsa Indonesia. Dan memang saat nusantara dijajah Belanda masih Hindia Belanda. “Karena sebelumnya Indonesia adalah Hindia Belanda. Jadi buku ini setelah saya baca adalah rentetan dari peristiwa (sejarah sampai kemerdekaan),” ungkapnya.
Diplomat RI, Makarim Wibisono mengaku cukup bingung saat menjawab pertanyaan apakah Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Dia menceritakan bahwa pada 1975, dia pernah mengikuti acara persiapan sebelum menjadi diplomat di Australia. Salah satu peserta dari Amerika Latin bertanya apakah Indonesia berpenduduk 200 juta dan pernah dijajah negara kecil seperti Belanda. Dan dia bingung menjawab pertanyaan tersebut.
“Jadi saya pada waktu terima buku, pak Batara memperkaya khasanah orang Indonesia untuk bisa menjawab pertanyaan orang luar. Pak Batara anak seorang pahlawan, Kolonel Dokter Wiliater Hutagalung, salah satu orang yang menyusun konsep perang gerilya. Saya nggak aneh kalau buku ini penuh semangat cinta tanah air,” kata Makarim di kesempatan sama.
Menurut Makarim, buku semacam ini perlu disebarluaskan ke anak didik Indonedia karena dalam buku ini banyak kisah heroik yang tidak diketahui. Dan buku ini menggambarkan Belanda sebagai bangsa Belanda yang sebenarnya, yang sangat memeras, tanpa peri kemanusiaan yg beradab.
Sejak zaman VOC, Belanda memperjualbelikan lada, rempah-rempah, Belanda juga memperjualbelikan orang-orang dari Banda, Bali dan daerah-daerah lain sebagai budak-budak. “Saat bertugas di Capetowm ada pasar budak yang dijalankan Belanda, ada list-list orangnya. Jadi memang kita kurang beruntung karena dijajah satu bangsa kecil, bukan hanya SDA tapi juga SDM. Dalam buku ini dikatakan bahwa bangsa Belanda penjajah yang kejam,” ungkapnya.
Karena itu, menurutnya, gambaran bahwa Indonesia telah dijajah bangsa kecil selama 350 tahun sungguh merugikan bangsa Indonesia. Padahal, Indonesia itu baru berdiri pada 17 Agustus 1945. Dan yang pertama kali dijajah Belanda adalah Jayakarta, Banda, Maluku.
Bahkan tahun 1900 Tapanuli masih merdeka, kerajaan Badung dan Klungkung Bali juga masih berkuasa penuh. “Saya hargai buku ini karena ini bisa menjawab kita terhadap pertanyaan bangsa-bangsa lain. Ini buku wajib buat sekolah supaya mereka bisa tahu,” tambah Makarim.
Kemudian, Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar Marthen Napang mengakui bahwa buku ini merupakan salah satu literatur utama dan pertama yang mampu meluruskan fakta-fakta sejarah masa lalu. “Buku pak Batara salah satu literatur utama dan pertama untuk meluruskan fakta-fakta sejarah masa lalu. Sejarah selalu membawa kita pada 3 dimensi, masa lalu, masa kini dan masa depan, memberikan inspirasi-inspirasi,” tutur Marthen.
(don)