Indonesia Dilanda Kekeringan, Puluhan Juta Jiwa Terancam
A
A
A
JAKARTA - Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dalam sumber daya air karena menyimpan 6% potensi air dunia. Sumber air melimpah Indonesia tercantum dalam laporan badan kerja sama lintas negara, Water Environment Partnership in Asia (WEPA).
Ironisnya saat ini Indonesia terancam kekeringan. Pemerintah memprediksi musim kemarau tahun ini bakal mengakibatkan 48.491.666 jiwa terancam kekeringan di 28 provinsi. Diprediksi kemarau tahun ini akan lebih kering dari 2018 lalu.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia terjadi mulai Juli sampai Oktober 2019. Sedangkan, hasil prakiraan curah hujan, menurut BMKG, sebanyak 64,94% wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah (di bawah 100 mm/bulan) pada Agustus 2019. BMKG menyatakan musim kemarau tahun ini akan terjadi kekeringan panjang akibat beberapa faktor yaitu fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.
Senior Vice President ACT, N Imam Akbari mengatakan, kekeringan atau kemarau yang berkepanjang ini akan ada banyak aspek yang disoroti. Dengan terjadinya kemarau ada kualitas kehidupan sosial yang terdampak.
“Misalnya, debit air yang berkurang akan mempengaruhi konsumsi air. Sedangkan, air adalah kebutuhan vital manusia. Manusia sendiri masih bisa bertahan ketika tidak makan, namun ketika tidak ada air (tidak minum), hanya akan bertahan dalam hitungan hari,” katanya.
Kemiskinan dan Gizi Buruk
Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama. Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan status gizi buruk karena 30,8% balita di Indonesia menderita stunting. WHO menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20% jumlah keseluruhan balita World Food Programme (WFP) menyatakan adanya hubungan timbal balik antara gizi buruk dan kemiskinan.
Misalnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sektor pertanian menjadi yang paling terdampak atas terjadinya kemarau panjang. Akibatnya, jumlah penduduk miskin makin tinggi. NTT tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi balita stunting terbesar di Indonesia (42,6%).
“Tentu saja banyak sekali korban kekeringan hingga hampir semua balitanya mengalami gizi buruk dan dampak sosial lainnya. Tentu hal ini jangan sampai terjadi di negeri kita. Melalui Mobile Water Tank dan Sumur Wakaf, ACT terus berinovasi memberikan bantuan baik yang sifatnya jangka pendek hingga jangka panjang,” tambahnya.
Kondisi Terkini
Puncak kemarau 2019 di Indonesia diprakirakan terjadi pada Juli hingga September. Komposisi puncak musim kemarau di 44 ZOM (Zona Musim) terjadi pada bulan Juli, 233 ZOM di Agustus, dan 51 ZOM di September.
ZOM adalah penyebutan untuk daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan kajian studi latar belakang RPJMN Bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas 2018, ketersediaan air di Pulau Jawa hanya mencapai 100 juta m3.
Sementara, kebutuhannya mencapai 120 juta m3. Pada 2020, diperkirakan sebagian besar wilayah Pulau Jawa berada pada zona kuning atau kritis. Khusus Jawa, diperkirakan akan mengalami defisit air sepanjang tahun (12 bulan) pada 2025. Lalu, pada 2050 diperkirakan 2/3 penduduk bumi akan mengalami kekurangan air.
“Kami mengajak semua masyarakat untuk bahu-membahu mengirimkan bantuannya melalui aksi-aksi nyata untuk saudara-saudara kita di bit.ly/DermawanAtasiKekeringan . Mari kita atasi kekeringan yang mematikan ini dengan menjadi Dermawan. Dermawan, mari atasi kekeringan,” ajak Imam.
Ironisnya saat ini Indonesia terancam kekeringan. Pemerintah memprediksi musim kemarau tahun ini bakal mengakibatkan 48.491.666 jiwa terancam kekeringan di 28 provinsi. Diprediksi kemarau tahun ini akan lebih kering dari 2018 lalu.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia terjadi mulai Juli sampai Oktober 2019. Sedangkan, hasil prakiraan curah hujan, menurut BMKG, sebanyak 64,94% wilayah Indonesia mengalami curah hujan kategori rendah (di bawah 100 mm/bulan) pada Agustus 2019. BMKG menyatakan musim kemarau tahun ini akan terjadi kekeringan panjang akibat beberapa faktor yaitu fenomena El Nino, kuatnya Muson Australia, dan anomali peningkatan suhu udara akibat perubahan iklim.
Senior Vice President ACT, N Imam Akbari mengatakan, kekeringan atau kemarau yang berkepanjang ini akan ada banyak aspek yang disoroti. Dengan terjadinya kemarau ada kualitas kehidupan sosial yang terdampak.
“Misalnya, debit air yang berkurang akan mempengaruhi konsumsi air. Sedangkan, air adalah kebutuhan vital manusia. Manusia sendiri masih bisa bertahan ketika tidak makan, namun ketika tidak ada air (tidak minum), hanya akan bertahan dalam hitungan hari,” katanya.
Kemiskinan dan Gizi Buruk
Stunting adalah kekurangan gizi pada balita yang berlangsung lama. Indonesia ditetapkan sebagai negara dengan status gizi buruk karena 30,8% balita di Indonesia menderita stunting. WHO menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20% jumlah keseluruhan balita World Food Programme (WFP) menyatakan adanya hubungan timbal balik antara gizi buruk dan kemiskinan.
Misalnya, di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sektor pertanian menjadi yang paling terdampak atas terjadinya kemarau panjang. Akibatnya, jumlah penduduk miskin makin tinggi. NTT tercatat sebagai provinsi dengan prevalensi balita stunting terbesar di Indonesia (42,6%).
“Tentu saja banyak sekali korban kekeringan hingga hampir semua balitanya mengalami gizi buruk dan dampak sosial lainnya. Tentu hal ini jangan sampai terjadi di negeri kita. Melalui Mobile Water Tank dan Sumur Wakaf, ACT terus berinovasi memberikan bantuan baik yang sifatnya jangka pendek hingga jangka panjang,” tambahnya.
Kondisi Terkini
Puncak kemarau 2019 di Indonesia diprakirakan terjadi pada Juli hingga September. Komposisi puncak musim kemarau di 44 ZOM (Zona Musim) terjadi pada bulan Juli, 233 ZOM di Agustus, dan 51 ZOM di September.
ZOM adalah penyebutan untuk daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan kajian studi latar belakang RPJMN Bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas 2018, ketersediaan air di Pulau Jawa hanya mencapai 100 juta m3.
Sementara, kebutuhannya mencapai 120 juta m3. Pada 2020, diperkirakan sebagian besar wilayah Pulau Jawa berada pada zona kuning atau kritis. Khusus Jawa, diperkirakan akan mengalami defisit air sepanjang tahun (12 bulan) pada 2025. Lalu, pada 2050 diperkirakan 2/3 penduduk bumi akan mengalami kekurangan air.
“Kami mengajak semua masyarakat untuk bahu-membahu mengirimkan bantuannya melalui aksi-aksi nyata untuk saudara-saudara kita di bit.ly/DermawanAtasiKekeringan . Mari kita atasi kekeringan yang mematikan ini dengan menjadi Dermawan. Dermawan, mari atasi kekeringan,” ajak Imam.
(poe)