Kearifan Lokal dan Kesalehan Sosial Dinilai Mampu Tangkal Hoaks
A
A
A
JAKARTA - Kearifan lokal masyarakat Indonesia dan kesalehan sosial umat beragama di Indonesia dinilai mampu menjadi sarana penting menangkal kabar bohong atau hoaks. Dua hal itu dinilai mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa-negara Indonesia.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Faisal Bakti mengatakan, kearifan lokal di Indonesia mencakup gagasan, nilai, pandangan, cara, norma, pola, hingga tindakan yang ada dalam budaya dan tradisi yang diwariskan masyarakat Indonesia sejak dahulu dipegang teguh dan masih dijalankan hingga saat ini.
Kearifan lokal tersebut dikatakannya kemudian menjadi perekat bagi segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan untuk memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan keutuhan, hingga menjaga persatuan dan kesatuan bangsa-negara Indonesia.
Bagi Faisal, kearifan lokal yang terkandung kebaikan, kebijaksanaan, dan keluhuran semestinya tetap dipegang teguh dan diamalkan seluruh anak bangsa termasuk saat menghadapi era revolusi industri 4.0, disrupsi informasi, dan hoaks termasuk di dalamnya disinformasi.
Faisal meyakini kearifan lokal yang masih dijalankan masyarakat Indonesia, mampu menjadi sarana penting membendung pembentukan, penyediaan, dan penyebaran pesan hoaks baik berupa informasi, keterangan, maupun berita di internet dan media sosial.
"Sekarang ini kita di masa disruption, di masa teknologi yang sangat cepat maka local values, local wisdom kita harus digunakan untuk melawan hoaks, berkaitan dengan penyebaran hoaks, berkaitan dengan manipulasi informasi atau berita. Maka yang paling penting adalah keutuhan kita, persatuan dan kesatuan. Makanya sila ketiga dalam Pancasila itu persatuan. Jangan sampai keutuhan kemudian persatuan dan kesatuan bangsa dan masyarakat itu terpecah-belah," tutur Faisal kepada KORAN SINDO dan SINDOnews, Rabu (14/8/2019).
Dia memaparkan, kearifan lokal yang dapat dipergunakan untuk menangkal hoaks dan disinformasi di antaranya gotong royong, kekeluargaan, tenggang rasa, musyawarah, hingga saling menghargai dan menghormati.
Karena itu, kata Faisal, semua anak bangsa harus saling apresiasi terhadap semua kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda dan menghindarkan diri dari sikap saling tuding.
"Persatuan dalam Pancasila itu agar sungguh-sungguh tradisi, bahasa, habbit, culture, values, semua bisa hidup saling menghargai. Istilah saya, teori baru yang saya temukan yakni recognitionisme dari asal kata recognition. Siapapun, semuanya kita, kita harus saling hargai karena kita semua adalah manusia," tutur Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah.
Faisal berpendapat, selama ini isu yang paling sensitif dan banyak ada dalam pesan hoaks di antaranya terkait dengan khilafah, demokrasi, hingga Pancasila.
Menurut dia, isu-isu tersebut maupun isu-isu lain yang diproduksi, disediakan, hingga disebarkan semestinya menjadi perhatian serius semua anak bangsa.
Segala informasi yang ada, tercantum, hingga disebarkan melalui internet dan media sosial harus benar-benar disaring.
Setiap kali menerima informasi, kata dia, masyarakat bisa mencari tahu lebih lanjut dan melakukan penelusuran lanjutan mengenai yang melempar isu, siapa yang berbicara, siapa yang dibicarakan, apa isu yang disampaikan, dokumen, data, dan fakta pendukungnya ada atau tidak, hingga apa maksudnya dan tujuannya.
Menurut Faisal, seandainya tidak ada dokumen dan data pendukung atau keabsahan keduanya masih diragukan maka bisa dipastikan infomasi atau kabar tersebut adalah bohong.
Dalam konteks menangkal hoaks di era revolusi industri 4.0 dan disrupsi informasi, Faisal menegaskan, nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia pun bisa dipergunakan. Sebab nilai-nilai tersebut bahkan telah menyatu dan menjadi kearifan lokal Indonesia.
Menurut Faisal, ketika dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan maka akan menjadi kesalehan sosial saat berinteraksi antar-sesama umat Islam maupun dengan umat agama lain.
Dalam ajaran Islam misalnya, ada sejumlah nilai. Di antaranya tabayyun yang bermakna verifikasi atau kroscek atas sebuah kabar atau berita, ukhuwah atau persaudaraan, hingga musyawwarah atau musyawarah.
"Jadi semua nilai-nilai baik itu membuat kita saling menjaga. Jangan mudah percaya dengan informasi, ada pendeteksian yang namanya hoaks," ucap Faisal.
Dia mengungkapkan, pemerintah, baik pusat maupun daerah perlu terus menggandeng dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, maupun kalangan sivitas akademika untuk menangkal hoaks dan disinformasi melalui berbagai kegiatan baik bersifat umum maupun seni dan budaya, pemanfaatan literatur (manuskrip) lokal, hingga pengembangan literasi digital.
Selanjutnya, penegak hukum harus secara utuh dan tanpa pandang bulu memberantas dan menindak para pelaku yang memproduksi, menyediakan, dan menyebarkan hoaks.
"Harus ditindak. Siapapun. Jangan sampai malah bukan dari bawah, tapi dari atas yang melakukannya," tandas Faisal.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), sepanjang Januari hingga Juni 2019 ada total 2.199 hoaks, kabar bohong, dan berita palsu yang tersebar di internet dan media sosial.
Rinciannya Januari sebanyak 175 hoaks, Februari 353 hoaks, Maret 453 hoaks, April 486 hoaks, Mei 402 hoaks, dan Juni di angka 330. Berikutnya, kurun 2017 hingga Juli 2019, Kemkominfo telah memblokir ratusan ribu situs website dan akun media sosial mulai dari akun Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, hingga YouTube yang berisi hoaks, disinformasi, dan konten negatif.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Faisal Bakti mengatakan, kearifan lokal di Indonesia mencakup gagasan, nilai, pandangan, cara, norma, pola, hingga tindakan yang ada dalam budaya dan tradisi yang diwariskan masyarakat Indonesia sejak dahulu dipegang teguh dan masih dijalankan hingga saat ini.
Kearifan lokal tersebut dikatakannya kemudian menjadi perekat bagi segala perbedaan suku, agama, ras, dan golongan untuk memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan keutuhan, hingga menjaga persatuan dan kesatuan bangsa-negara Indonesia.
Bagi Faisal, kearifan lokal yang terkandung kebaikan, kebijaksanaan, dan keluhuran semestinya tetap dipegang teguh dan diamalkan seluruh anak bangsa termasuk saat menghadapi era revolusi industri 4.0, disrupsi informasi, dan hoaks termasuk di dalamnya disinformasi.
Faisal meyakini kearifan lokal yang masih dijalankan masyarakat Indonesia, mampu menjadi sarana penting membendung pembentukan, penyediaan, dan penyebaran pesan hoaks baik berupa informasi, keterangan, maupun berita di internet dan media sosial.
"Sekarang ini kita di masa disruption, di masa teknologi yang sangat cepat maka local values, local wisdom kita harus digunakan untuk melawan hoaks, berkaitan dengan penyebaran hoaks, berkaitan dengan manipulasi informasi atau berita. Maka yang paling penting adalah keutuhan kita, persatuan dan kesatuan. Makanya sila ketiga dalam Pancasila itu persatuan. Jangan sampai keutuhan kemudian persatuan dan kesatuan bangsa dan masyarakat itu terpecah-belah," tutur Faisal kepada KORAN SINDO dan SINDOnews, Rabu (14/8/2019).
Dia memaparkan, kearifan lokal yang dapat dipergunakan untuk menangkal hoaks dan disinformasi di antaranya gotong royong, kekeluargaan, tenggang rasa, musyawarah, hingga saling menghargai dan menghormati.
Karena itu, kata Faisal, semua anak bangsa harus saling apresiasi terhadap semua kelompok yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda dan menghindarkan diri dari sikap saling tuding.
"Persatuan dalam Pancasila itu agar sungguh-sungguh tradisi, bahasa, habbit, culture, values, semua bisa hidup saling menghargai. Istilah saya, teori baru yang saya temukan yakni recognitionisme dari asal kata recognition. Siapapun, semuanya kita, kita harus saling hargai karena kita semua adalah manusia," tutur Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Syarif Hidayatullah.
Faisal berpendapat, selama ini isu yang paling sensitif dan banyak ada dalam pesan hoaks di antaranya terkait dengan khilafah, demokrasi, hingga Pancasila.
Menurut dia, isu-isu tersebut maupun isu-isu lain yang diproduksi, disediakan, hingga disebarkan semestinya menjadi perhatian serius semua anak bangsa.
Segala informasi yang ada, tercantum, hingga disebarkan melalui internet dan media sosial harus benar-benar disaring.
Setiap kali menerima informasi, kata dia, masyarakat bisa mencari tahu lebih lanjut dan melakukan penelusuran lanjutan mengenai yang melempar isu, siapa yang berbicara, siapa yang dibicarakan, apa isu yang disampaikan, dokumen, data, dan fakta pendukungnya ada atau tidak, hingga apa maksudnya dan tujuannya.
Menurut Faisal, seandainya tidak ada dokumen dan data pendukung atau keabsahan keduanya masih diragukan maka bisa dipastikan infomasi atau kabar tersebut adalah bohong.
Dalam konteks menangkal hoaks di era revolusi industri 4.0 dan disrupsi informasi, Faisal menegaskan, nilai-nilai ajaran agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia pun bisa dipergunakan. Sebab nilai-nilai tersebut bahkan telah menyatu dan menjadi kearifan lokal Indonesia.
Menurut Faisal, ketika dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan maka akan menjadi kesalehan sosial saat berinteraksi antar-sesama umat Islam maupun dengan umat agama lain.
Dalam ajaran Islam misalnya, ada sejumlah nilai. Di antaranya tabayyun yang bermakna verifikasi atau kroscek atas sebuah kabar atau berita, ukhuwah atau persaudaraan, hingga musyawwarah atau musyawarah.
"Jadi semua nilai-nilai baik itu membuat kita saling menjaga. Jangan mudah percaya dengan informasi, ada pendeteksian yang namanya hoaks," ucap Faisal.
Dia mengungkapkan, pemerintah, baik pusat maupun daerah perlu terus menggandeng dan bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, maupun kalangan sivitas akademika untuk menangkal hoaks dan disinformasi melalui berbagai kegiatan baik bersifat umum maupun seni dan budaya, pemanfaatan literatur (manuskrip) lokal, hingga pengembangan literasi digital.
Selanjutnya, penegak hukum harus secara utuh dan tanpa pandang bulu memberantas dan menindak para pelaku yang memproduksi, menyediakan, dan menyebarkan hoaks.
"Harus ditindak. Siapapun. Jangan sampai malah bukan dari bawah, tapi dari atas yang melakukannya," tandas Faisal.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), sepanjang Januari hingga Juni 2019 ada total 2.199 hoaks, kabar bohong, dan berita palsu yang tersebar di internet dan media sosial.
Rinciannya Januari sebanyak 175 hoaks, Februari 353 hoaks, Maret 453 hoaks, April 486 hoaks, Mei 402 hoaks, dan Juni di angka 330. Berikutnya, kurun 2017 hingga Juli 2019, Kemkominfo telah memblokir ratusan ribu situs website dan akun media sosial mulai dari akun Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, hingga YouTube yang berisi hoaks, disinformasi, dan konten negatif.
(dam)