Semua Pihak Diharapkan Selamatkan Demokrasi di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - LP3ES Center for Media and Democracy mengungkapkan, Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran, yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi terkonsolidasi.
Menurut Associate Director, LP3ES Center for Media and Democracy, Wijayanto, Demokrasi indonesia belum terkonsolidasi yang ciri cirinya antara lain, pertama demokrasi bisa berjalan dan berprosen dalam masa waktu yang lama.
"Kedua, ada penegakan hukum berjalan baik. Ketiga, pengadilan yang independen. Keempat, pemilu yang adil dan kompetitif. Kelima civil society yang kuat. Serta keenam terpenuhinya hak-hak siplil, ekonomi dan budaya warga negara," kata Wijayanto, Kamis (8/8/2019).
Dijelaskan Wijayanto, masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masivnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu.
"Kemudian rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media, kebebasan berkumpul dan berserikat dan masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas," jelasnya.
"Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari 'stigma' berpihak kepada kelompok intoleran yang anti pancasila dan anti demokrasi," sambungnya.
Kata dia, sedikit banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara anti pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti pemerintah.
"Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang mebutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan," ucapnya.
Disamping itu menurut Wijayanto, kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era reformasi di mana kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan. Terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni kampus di mana orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masayarakat dan ilmu pengetahuan.
"Namun lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti. Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus," ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif LP3ES, Fajar Nursahid menambahkan, persoalan demokrasi terbesar saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan.
"Tokoh masyarakat, yang berkualitas dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah refromasi partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu," katanya.
"Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih massif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instan," tambahnya.
Pemilu kata, Fajar, berbiaya tinggi karena massifnya praktik politik uang merupakan catatan lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan pemilu 2019 sebagai pemilu termahal.
"Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislativ berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan," tegasnya.
Kemudian lemahnya internalisasi keadabaan sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam persteruan yang tajam, dangkal dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.
"Maraknya ujaran kebencian, intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gelaja yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya (trust), tolerasi (tolerance), saling tolong menolong (resiprocity) dan saling menghargai perbedaan," jelas Fajar.
Selain ada ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pembrangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwam dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.
Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan menurut Fajar, kritik dari pada analis dalam negeri maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve Warburton (2018 dan 2019) menganalisa perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandegan dan bahkan kemunduruan demokrasi.
"Di mana Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masivnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai manusia," jelasnya.
Untuk mengatasinya sambung Fajar, perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO's, jurnalis dan partai politik untuk menyadari situasi kemandegan bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
"Untuk bersama-sama berjuang Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemn itu adalah masalah demokrasi kita hari ini," pungkasnya.
Menurut Associate Director, LP3ES Center for Media and Democracy, Wijayanto, Demokrasi indonesia belum terkonsolidasi yang ciri cirinya antara lain, pertama demokrasi bisa berjalan dan berprosen dalam masa waktu yang lama.
"Kedua, ada penegakan hukum berjalan baik. Ketiga, pengadilan yang independen. Keempat, pemilu yang adil dan kompetitif. Kelima civil society yang kuat. Serta keenam terpenuhinya hak-hak siplil, ekonomi dan budaya warga negara," kata Wijayanto, Kamis (8/8/2019).
Dijelaskan Wijayanto, masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masivnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu.
"Kemudian rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media, kebebasan berkumpul dan berserikat dan masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas," jelasnya.
"Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari 'stigma' berpihak kepada kelompok intoleran yang anti pancasila dan anti demokrasi," sambungnya.
Kata dia, sedikit banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara anti pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti pemerintah.
"Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang mebutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan," ucapnya.
Disamping itu menurut Wijayanto, kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era reformasi di mana kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan. Terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni kampus di mana orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masayarakat dan ilmu pengetahuan.
"Namun lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti. Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus," ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif LP3ES, Fajar Nursahid menambahkan, persoalan demokrasi terbesar saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan.
"Tokoh masyarakat, yang berkualitas dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah refromasi partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu," katanya.
"Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih massif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instan," tambahnya.
Pemilu kata, Fajar, berbiaya tinggi karena massifnya praktik politik uang merupakan catatan lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan pemilu 2019 sebagai pemilu termahal.
"Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislativ berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan," tegasnya.
Kemudian lemahnya internalisasi keadabaan sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam persteruan yang tajam, dangkal dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.
"Maraknya ujaran kebencian, intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gelaja yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya (trust), tolerasi (tolerance), saling tolong menolong (resiprocity) dan saling menghargai perbedaan," jelas Fajar.
Selain ada ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pembrangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwam dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.
Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan menurut Fajar, kritik dari pada analis dalam negeri maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve Warburton (2018 dan 2019) menganalisa perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandegan dan bahkan kemunduruan demokrasi.
"Di mana Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masivnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai manusia," jelasnya.
Untuk mengatasinya sambung Fajar, perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO's, jurnalis dan partai politik untuk menyadari situasi kemandegan bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
"Untuk bersama-sama berjuang Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemn itu adalah masalah demokrasi kita hari ini," pungkasnya.
(maf)