Sektor Padat Karya Kunci Atasi Pengangguran
A
A
A
JAKARTA - Pengembangan industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan sektor padat karya lain menjadi salah satu kunci mengatasi pengangguran di Indonesia. Sebab, segmen ini paling banyak menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar amat penting karena mengatasi pengangguran. Hal ini juga menjadi salah satu perhatian Jokowi yang disampaikan pada masa kampanye lalu.
Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Siti Jubaedah mengatakan angkatan kerja di Indonesia sebanyak 136,18 juta jiwa. “Angkatan kerja tersebut di dominasi oleh pendidikan SMP,” ucapnya pada diskusi yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP), Menteng, Jakarta, Sabtu (3/8/2019).
Menurut Siti, dengan profil angkatan kerja seperti itu, dibutuhkan industri berdaya serap tinggi sekaligus tidak menuntut persyaratan keterampilan kompleks. Tidak banyak industri bisa memenuhi kebutuhan seperti itu. Industri padat karya seperti SKT menjadi salah satunya.
Karena itu, penting menjaga iklim usaha di sektor industri padat karya agar tetap sehat dan bertumbuh. Gangguan pada sektor ini akan mengurangi kemampuan penyerapan tenaga kerja.
“Jika iklim investasi ditingkatkan akan meningkatkan hubungan negara dan industri semakin baik, sehingga pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan. Jangan sampai terdapat pengangguran yang bisa mengoyang (kestabilan) masyarakat,” ucap Siti Jubaedah.
Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PKB Faisol Reza menekankan perlunya insentif untuk industri padat karya untuk dapat berkembang. Insentif diperlukan padat karya untuk melindungi ketenagakerjaan.
”Padat karya secara filosofis merupakan jaminan sosial di masyarakat,” ucap Faisol Riza pada kesempatan yang sama.
Kemudian, Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto mengatakan Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan industri pengolahan hasil tembakau yang menyerap tenaga kerja yang besar. Kondisi SKT saat ini mengalami tren penurunan produksi, tercatat pada tahun 2011 produksi SKT mencapai 96,53 milyar batang, dan sedangkan produksi tahun 2018 mencapai 65,81 milyar batang. Dalam periode 2013 hingga 2018, 32.000 orang pekerja di sektor itu terpaksa kehilangan pekerjaan. Sebab, pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tutup.
“Tren penurunan ini berimbas bukan hanya tenaga kerja di industri namun juga pada petani cengkeh,” ucapnya di Menteng Jakarta.
Menurut data Kemenperin, lanjutnya, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,9 juta orang, terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara itu, 1,7 juta pekerja berada di sektor perkebunan. Selain dari aspek tenaga kerja, industri rokok telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal dari hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh.
“Pada tahun 2011 Kementerian Perindustrian juga mencatat ada 2.540 pelaku industri yang memesan cukai produk tembakau. Pada 2017, pemesannya tersisa 487 saja alias berkurang lebih dari 2.000 pelaku industri. Hal tersebut, berimbas luas bagi para pekerja sektor IHT yang lantas kehilangan pekerjaan,” tandasnya.
Direktur Persyaratan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Siti Jubaedah mengatakan angkatan kerja di Indonesia sebanyak 136,18 juta jiwa. “Angkatan kerja tersebut di dominasi oleh pendidikan SMP,” ucapnya pada diskusi yang diselengarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP), Menteng, Jakarta, Sabtu (3/8/2019).
Menurut Siti, dengan profil angkatan kerja seperti itu, dibutuhkan industri berdaya serap tinggi sekaligus tidak menuntut persyaratan keterampilan kompleks. Tidak banyak industri bisa memenuhi kebutuhan seperti itu. Industri padat karya seperti SKT menjadi salah satunya.
Karena itu, penting menjaga iklim usaha di sektor industri padat karya agar tetap sehat dan bertumbuh. Gangguan pada sektor ini akan mengurangi kemampuan penyerapan tenaga kerja.
“Jika iklim investasi ditingkatkan akan meningkatkan hubungan negara dan industri semakin baik, sehingga pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan. Jangan sampai terdapat pengangguran yang bisa mengoyang (kestabilan) masyarakat,” ucap Siti Jubaedah.
Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PKB Faisol Reza menekankan perlunya insentif untuk industri padat karya untuk dapat berkembang. Insentif diperlukan padat karya untuk melindungi ketenagakerjaan.
”Padat karya secara filosofis merupakan jaminan sosial di masyarakat,” ucap Faisol Riza pada kesempatan yang sama.
Kemudian, Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mogadishu Djati Ertanto mengatakan Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan industri pengolahan hasil tembakau yang menyerap tenaga kerja yang besar. Kondisi SKT saat ini mengalami tren penurunan produksi, tercatat pada tahun 2011 produksi SKT mencapai 96,53 milyar batang, dan sedangkan produksi tahun 2018 mencapai 65,81 milyar batang. Dalam periode 2013 hingga 2018, 32.000 orang pekerja di sektor itu terpaksa kehilangan pekerjaan. Sebab, pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tutup.
“Tren penurunan ini berimbas bukan hanya tenaga kerja di industri namun juga pada petani cengkeh,” ucapnya di Menteng Jakarta.
Menurut data Kemenperin, lanjutnya, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,9 juta orang, terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara itu, 1,7 juta pekerja berada di sektor perkebunan. Selain dari aspek tenaga kerja, industri rokok telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal dari hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh.
“Pada tahun 2011 Kementerian Perindustrian juga mencatat ada 2.540 pelaku industri yang memesan cukai produk tembakau. Pada 2017, pemesannya tersisa 487 saja alias berkurang lebih dari 2.000 pelaku industri. Hal tersebut, berimbas luas bagi para pekerja sektor IHT yang lantas kehilangan pekerjaan,” tandasnya.
(kri)