Polemik Rektor Asing

Kamis, 01 Agustus 2019 - 06:11 WIB
Polemik Rektor Asing
Polemik Rektor Asing
A A A
Keinginan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohamad Nasir mengundang rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia mulai tahun depan, terus memicu polemik. Meski ditentang banyak pihak, sang menteri rupanya bergeming. Bahkan, sebagaimana dikutip dari Setkab.go.id kemarin, perkembangan mengenai rencana itu sudah dilaporkan Menristek-Dikti kepada Presiden Joko Widodo.

Jika rencana mengundang rektor asing ini menimbulkan kontroversi, tentu sangat wajar. Apalagi, alasan yang digunakan Menristek-Dikti terkesan hanya perkara reputasi, yakni demi mengatrol peringkat perguruan tinggi Indonesia yang masih rendah. Menristek-Dikti berharap suatu saat ada perguruan tinggi di Tanah Air yang mampu menembus peringkat 200 dunia, bahkan 100 besar.

Saat ini peringkat perguruan tinggi di Indonesia disebut belum bisa bersaing. Hanya Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mampu bertahan dalam persaingan, itu pun hanya di peringkat 500-an. Menristek-Dikti ingin meniru beberapa negara, di antaranya Singapura, China, dan Arab yang disebutnya berhasil menaikkan peringkat setelah rektor asing masuk memimpin perguruan tinggi.

Jika melihat hasil pemeringkatan yang ada, posisi PTN di Indonesia memang masih tergolong rendah. Baru-baru ini Quacquarelli Symonds (QS) merilis peringkat universitas terbaik dunia. PTN Indonesia masih berkutat di 500 besar pada 2018, meski terjadi kenaikan peringkat yang signifikan. UI yang pada 2015 peringkat 358, kini menjadi 292. Kemudian ITB yang pada 2015 peringkat 431, kini menjadi 359; dan UGM dari posisi 551 naik menjadi 391.

Pertanyaan yang kini muncul, pantaskah peringkat perguruan tinggi yang rendah jadi alasan utama dalam merekrut rektor asing? Seberapa penting peringkat internasional naik, namun pada saat yang sama banyak aspek dalam pendidikan kita yang kemungkinan terabaikan. Kita tentu memahami bahwa urusan belajar-mengajar, termasuk di perguruan tinggi, tidak hanya melulu transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga ada transfer nilai. Melalui pendidikan diajarkan tentang nilai kebangsaan, keagamaan, kebudayaan, dan moralitas.

Jadi, pendidikan bukan melulu urusan akademik, melainkan juga penanaman nilai-nilai, termasuk menanamkan Pancasila sebagai dasar dalam bernegara. Rektor asing yang dipilih nanti tentu memiliki kualifikasi yang dibutuhkan dalam mengatrol peringkat yang diinginkan.

Namun, bagaimana dengan perkara nilai-nilai tersebut? Belum lagi mekanisme perekrutan yang bisa saja menciptakan ketidakadilan. Rektor asing nanti, meski perekrutannya harus memenuhi kualifikasi tertentu, dia memimpin karena diminta atau diundang. Bandingkan dengan calon rektor dalam negeri yang harus bersaing dan melewati beberapa tahapan untuk bisa terpilih.

Kebijakan rektor asing ini memberi kesan ketidakmampuan Kementerian Ristek-Dikti dalam merumuskan masalah yang selama ini menghambat peningkatan kualitas perguruan tinggi kita. Idealnya seorang menteri mampu menguraikan permasalahan, lalu menyampaikan gagasan yang visioner mengenai solusi jangka pendek maupun jangka panjang dalam memajukan perguruan tinggi sehingga peringkatnya bisa naik, sebab menterilah yang paling tahu bidang yang dipimpinnya itu mengapa berjalan tidak efisien.

Kendati baru sebatas wacana, upaya mewujudkan rencana rektor asing terus berjalan. Nasir bahkan memastikan anggaran untuk menggaji rektor luar negeri akan disediakan langsung oleh pemerintah tanpa mengurangi anggaran PTN. Ditargetkan pada 2024 jumlah PTN yang rektornya asing menjadi lima.

Hambatan pada sisi regulasi pun sudah disiapkan jalan keluarnya. Berhubung peraturan pemerintah (PP) yang berlaku saat ini belum memberi ruang bagi masuknya rektor asing, aturan tersebut segera diubah. Setelah PP direvisi, tinggal dibuatkan peraturan menteri sebelum kebijakan diberlakukan.

Karena memicu polemik, sangat penting mengkaji matang rencana ini sebelum benar-benar diberlakukan. Masalah yang berpotensi muncul harus bisa diantisipasi, termasuk perbedaan kultur akademisi asing dengan kita. Misalnya, siapkah nanti rektor asing menghadapi realitas perguruan tinggi kita yang demikian kompleks? Cukup siapkah mereka dengan urusan politik yang biasa mewarnai dinamika kampus Tanah Air? Jika tidak, apakah tidak akan mengganggu kinerjanya?

Penting mengingat kembali bahwa misi utama perguruan tinggi kita tidak sekadar mencari reputasi. Jadi, peringkat internasional yang baik memang penting, tapi bukan segalanya. Lebih dari itu, fungsi perguruan tinggi adalah bagaimana ia berkontribusi dalam memecahkan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi bangsa.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0765 seconds (0.1#10.140)