Pengamat: Salah Besar Pemilihan Pimpinan MPR lewat Voting
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan paket pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan dilakukan dengan sistem paket yang terdiri dari lima unsur pimpinan, yakni satu ketua dan empat wakil ketua.
Dari jumlah itu, satu di antaranya berasal dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan empat lainnya dari partai politik (parpol).
Sejauh ini sejumlah nama dari parpol sudah muncul sebagai kandidat ketua MPR. Di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Partai Golkar yang memperoleh kursi terbanyak kedua setelah PDIP juga sudah menyiapkan lima nama di antaranya Bambang Soesatyo (Bamsoet), Azis Syamsuddin, Ridwan Hisjam, Zainuddin Amali, dan Muhidin.
Sementara Partai Nasdem memunculkan nama Lestari Moerdijat atau Rerie untuk kursi wakil ketua. Dari parpol oposisi, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasaan juga disebut pernah melobi Presiden Jokowi untuk kembali menduduki kursi ketua MPR yang sekarang dipegangnya.
Sementara pertemuan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memunculkan spekulasi adanya deal-deal politik, salah satunya kemungkinan Gerindra mengincar kursi Ketua MPR. Bahkan, PKS yang sudah jelas-jelas bakal menjadi oposisi pun tetap membuka kemungkinan untuk bersaing mendapatkan kursi unsur pimpinan MPR.
Karena itu, banyak pihak menyebut akan ada dua paket dalam pemilihan Ketua MPR. Jika ada dua paket atau lebih artinya proses pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak alias voting.
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing, mengatakan, sesuai dengan namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka seharusnya pemilihan pimpinan MPR dilakukan dengan cara musyawarah mufakat.
”Kalaupun ada paket ya paket itu dinegosiasikan menjadi satu. Kalau voting itu salah besar. Namanya juga permusyawaratan harusnya ya dilakukan dengan cara mustyawarah mufakat,” ujar Emrus Sihombing dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Rekomendasi Amandemen (Konstitusi) Terbatas Untuk Haluan Negara?" di Media Center DPR/MPR/DPD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Praktik voting dalam pemilihan ketua MPR periode 2014-2019 yang mendudukkan Zulkifli Hasan sebagai ketua merupakan kesalahan besar. Dalam Sidang Paripurna MPR yang dihadir 680 anggota DPR dan DPD saat itu, ada dua paket yang diajukan dalam rapat. Paket A yang diusung Koalisi Indonesia Hebat, mencalonkan Oesman Sapta sebagai Ketua MPR. Sementara empat calon wakil ketua MPR yaitu, Ahmad Basarah (PDIP), Imam Nachrowi (PKB), Patrice Rio Capella (Nasdem), dan Hasrul Azwar (PPP).
Sedangkan Paket B, yang diusung oleh Koalisi Merah Putih, mengusung Zulkifli Hasan (PAN) sebagai ketua MPR, bersama empat calon wakil ketua, yaitu Mahyudin (Golkar), E E Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta Odang, perwakilan dari DPD.
Hasil pemungutan suara dimenangkan paket B yang memperoleh 347 suara sementara paket A yang diusung Koalisi Partai pendukung Jokowi JK memperoleh 330 suara. Satu suara lainnya abstain.
Dari jumlah itu, satu di antaranya berasal dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan empat lainnya dari partai politik (parpol).
Sejauh ini sejumlah nama dari parpol sudah muncul sebagai kandidat ketua MPR. Di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar. Partai Golkar yang memperoleh kursi terbanyak kedua setelah PDIP juga sudah menyiapkan lima nama di antaranya Bambang Soesatyo (Bamsoet), Azis Syamsuddin, Ridwan Hisjam, Zainuddin Amali, dan Muhidin.
Sementara Partai Nasdem memunculkan nama Lestari Moerdijat atau Rerie untuk kursi wakil ketua. Dari parpol oposisi, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasaan juga disebut pernah melobi Presiden Jokowi untuk kembali menduduki kursi ketua MPR yang sekarang dipegangnya.
Sementara pertemuan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memunculkan spekulasi adanya deal-deal politik, salah satunya kemungkinan Gerindra mengincar kursi Ketua MPR. Bahkan, PKS yang sudah jelas-jelas bakal menjadi oposisi pun tetap membuka kemungkinan untuk bersaing mendapatkan kursi unsur pimpinan MPR.
Karena itu, banyak pihak menyebut akan ada dua paket dalam pemilihan Ketua MPR. Jika ada dua paket atau lebih artinya proses pemilihan dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak alias voting.
Pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing, mengatakan, sesuai dengan namanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka seharusnya pemilihan pimpinan MPR dilakukan dengan cara musyawarah mufakat.
”Kalaupun ada paket ya paket itu dinegosiasikan menjadi satu. Kalau voting itu salah besar. Namanya juga permusyawaratan harusnya ya dilakukan dengan cara mustyawarah mufakat,” ujar Emrus Sihombing dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Rekomendasi Amandemen (Konstitusi) Terbatas Untuk Haluan Negara?" di Media Center DPR/MPR/DPD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Praktik voting dalam pemilihan ketua MPR periode 2014-2019 yang mendudukkan Zulkifli Hasan sebagai ketua merupakan kesalahan besar. Dalam Sidang Paripurna MPR yang dihadir 680 anggota DPR dan DPD saat itu, ada dua paket yang diajukan dalam rapat. Paket A yang diusung Koalisi Indonesia Hebat, mencalonkan Oesman Sapta sebagai Ketua MPR. Sementara empat calon wakil ketua MPR yaitu, Ahmad Basarah (PDIP), Imam Nachrowi (PKB), Patrice Rio Capella (Nasdem), dan Hasrul Azwar (PPP).
Sedangkan Paket B, yang diusung oleh Koalisi Merah Putih, mengusung Zulkifli Hasan (PAN) sebagai ketua MPR, bersama empat calon wakil ketua, yaitu Mahyudin (Golkar), E E Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta Odang, perwakilan dari DPD.
Hasil pemungutan suara dimenangkan paket B yang memperoleh 347 suara sementara paket A yang diusung Koalisi Partai pendukung Jokowi JK memperoleh 330 suara. Satu suara lainnya abstain.
(cip)