CSIS: Tidak Ada Urgensi Jokowi Tambah Parpol Koalisi

Kamis, 25 Juli 2019 - 15:14 WIB
CSIS: Tidak Ada Urgensi Jokowi Tambah Parpol Koalisi
CSIS: Tidak Ada Urgensi Jokowi Tambah Parpol Koalisi
A A A
JAKARTA - Partai politik (parpol) Koalisi Indonesia Kerja (KIK) pendukung Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin yang mencapai lebih dari 60% kursi di Parlemen dinilai sudah lebih dari cukup.

Pengamat Politik Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan dengan kondisi yang ada tidak ada urgensi bagi Jokowi untuk menambah parpol koalisi. Bahkan, koalisi yang terlalu gemuk bisa menimbulkan berbagai risiko. Salah satunya risiko ketidakstabilan internal parpol koalisi.

”Sebenarnya tak ada kebutuhan khusus bagi Jokowi untuk menambah parpol koalisi. Dengan mempertahankan 60 persen lebih koalisi parpol di Parlemen saja situasinya relatif aman. Menambah anggota koalisi bisa menciptakan risiko politik internal yang tidak mudah dan bisa menciptakan kerepotan politik yang tidak mudah mengelolanya,” tutur Arya Fernandes dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema 'Gerindra Gabung Ancaman Kursi Koalisi?' di Media Center DPR/MPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).

Arya mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa koalisi yang gemuk di Parlemen terbukti tidak terlalu penting. Dia mencontohkan, prestasi legislasi pemerintah dalam lima tahun terakhir dengan koalisi parpol yang gemuk pendukung Jokowi-Jusuf Kalla, ternyata pretasi legislasi pemerintah juga dinilai tidak maksimal.

”Kalau logikanya tingkat dukungan DPR kepada pemerintah akan mudah menggolkan program-program atau rancangan undang-undang (RUU) tertentu, ternyata faktanya selama lima tahun terakhir hanya ada 52 RUU yang diusulkan pemerintah. Kalau koalisi itu efektif seharusnya ya RUU usulan pemerintah itu tinggi,” ujarnya.

Ironisnya, dari 52 RUU usulan pemerintah tersebut hanya ada 6 RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Dari 6 UU tersebut, ternyata tiga di antaranya sudah diusulkan pada program legislasi nasional (Prolegnas) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono.

”Dan hanya ada tiga UU baru yang diusulkan Kabinet Jokowi dalam lima tahun pemerintahan. Kalau koalisi efektif, harusnya lebih besar,” tuturnya.

Arya berpendapat, pemerintahan era SBY lebih berhasil dalam mengelola koalisi parpol di pemerintahan. Salah satu buktinya RUU yang diusulkan Pemerintahan SBY-Boediono lebih besar.

”Karena itu menurut saya tidak ada kebutuhan khusus bagi pemerintahan Jokowi ke depan untuk menambah koalisi karena tidak linier dengan prestasi legislasi,” paparnya.

Selain itu, menurutnya, menambah koalisi baru juga menimbulkan risiko politik. Dia mencontohkan, jika ternyata nantinya Gerindra atau parpol lainnya yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno masuk dalam KIK akan ada dua situasi berbeda.

Sebab dalam Pemilu 2019, parpol yang sebelumnya mendukung Prabowo-Sandi tentu memiliki platform politik yang berbeda dengan parpol KIK. Misalnya dalam platform ekonomi seperti kebijakan soal utang, perdagangan, investasi asing, ketenagakerjaan, dan lainnya yang sama sekali berbeda.

”Betapa rumitnya pemerintah menyatukan perbedaan platform itu. Saya tidak bisa bayangkan dengan pengelolaan koalisi yang lemah dan akan bertambah koalisi baru yang berbeda platform, Anda bisa bayangkan betapa sulitnya mengelola koalisi,” katanya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8173 seconds (0.1#10.140)