Keamanan Data Pribadi
A
A
A
SALAH satu ciri era digital ada transparansi atau keterbukaan selain kecepatan. Digital yang inklusif ini seolah membuka tirai dunia. Seseorang di belahan bumi tertentu bisa melihat kegiatan seseorang lain di belahan bumi lainnya. Terjadi evolusi informasi atau bahkan banyak yang menyebut revolusi informasi.
Keterbukaan dan kecepatan ini membantu manusia di bumi untuk saling berkomunikasi. Namun, karena keterbukaan ini pula, jati diri atau data diri seseorang juga mudah diakses oleh semua pihak, baik individu maupun organisasi.
Keterbukaan ini melahirkan dua sisi. Di satu sisi bermanfaat dan di sisi lain bisa merugikan. Dengan digital semua orang dengan mudah mencari data diri tokoh terkenal atau individu yang lain. Bahkan kebiasaan seseorang bisa terbaca sehingga bisa menebak karakter, hobi, atau yang ihwal lain yang menyangkut individu. Dan, digitalisasi yang bisa membuat ini semua.
Namun, menjadi berbahaya ketika data pribadi yang sudah berada di dunia digital ini dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Parahnya lagi, kumpulan data pribadi yang terekam di dunia digital justru merugikan si pribadinya. Memang, mau tidak mau digitalisasi membuat data pribadi kita terekam.
Ketika kita memiliki akun e-mail, media sosial, mengunduh aplikasi, atau harus mendaftar di sebuah organisasi, maka data pribadi kita menjadi terbuka. Ini sebenarnya untuk mempermudah kegiatan manusia. Namun, ketika penyimpanan data pribadi tersebut menjadi tidak aman, maka bisa menjadi persoalan.
Beberapa kasus telah bermunculan. Salah satunya adalah tiba-tiba sebuah organisasi tertentu (baik nirlaba maupun laba) menghubungi kita untuk mengajak kerja sama. Kita kaget, bagaimana organisasi tersebut mendapatkan alamat e-mail atau bahkan nomor ponsel. Kasus Facebook tahun lalu mengagetkan kita semua karena kebocoran data. Pada Maret 2018 terjadi skandal pelanggaran data besar-besaran yaitu sekitar 87 juta data pribadi pengguna dibagikan tanpa izin ke perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica.
Perusahaan ini mengumpulkan data jutaan akun pengguna Facebook dan media sosial lain untuk memprediksi perilaku pemilih dan memengaruhi pendapat mereka. Memang data ini kebanyakan dari Amerika Serikat.
Lalu, ada modus lain ketika ramai di media sosial tentang FaceApp. Aplikasi ini diduga mempunyai modus untuk mengumpulkan data. Karena dianggap menyenangkan masyarakat dan sekadar mengikuti tren, masyarakat tanpa sadar memberikan data pribadinya. Namun, banyak apps yang memang bertujuan untuk mengumpulkan data seperti ini. Belum lagi di Tanah Air ketika Bank Mandiri bermasalah dengan sistem digitalisasi. Banyak rekening nasabah Bank Mandiri yang tiba-tiba kehilangan uang di rekeningnya atau bahkan bertambah. Kekacauan tak lama ini cukup membuat panik nasabahnya.
Beberapa peristiwa itu membuat tanda tanya tentang keamanan data pribadi. Memang, pemerintah telah membuat UU ITE yang memberikan perlindungan hukum terhadap keamanan data pribadi baik pencegahan dan penindakan. Namun, beberapa kasus di atas membuat kita semua harus waspada terhadap keamanan data pribadi kita masing-masing. Karena ini sudah menyangkut ranah privasi, maka kita semua harus benar-benar waspada. Jika tidak, maka data pribadi kita dengan mudah bisa dimainkan dan yang merugi adalah kita atau setidaknya menguntungkan kepentingan pihak lain.
Memang aparat dan pemerintah harus bisa memberikan tindakan tegas. Namun, sepertinya itu butuh waktu. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan kontrol diri kita. Bak melaju di jalan raya, keamanan kita bergantung kepada perilaku kita di jalan raya. Sebagian besar kecelakaan terjadi justru karena kita tidak waspada sebelum atau saat melaju di jalan raya.
Nah, seperti ketika masuk ke dunia digital, akan lebih baik kita menjadi diri dengan berhati-hati dalam mengeluarkan data pribadi kita. Meskipun ada jaminan keamanan, toh karena sifat inklusif dari digital, penyalahgunaan bisa dengan mudah dilakukan. Bijak dalam mengonsumsi digital akan membuat aman data pribadi kita. Sayang, hal ini belum benar-benar disadari oleh masyarakat kita. Banyak yang hanya memahami digitalisasi dengan platform tanpa mengetahui ciri-ciri lebih dalamnya.
Keterbukaan dan kecepatan ini membantu manusia di bumi untuk saling berkomunikasi. Namun, karena keterbukaan ini pula, jati diri atau data diri seseorang juga mudah diakses oleh semua pihak, baik individu maupun organisasi.
Keterbukaan ini melahirkan dua sisi. Di satu sisi bermanfaat dan di sisi lain bisa merugikan. Dengan digital semua orang dengan mudah mencari data diri tokoh terkenal atau individu yang lain. Bahkan kebiasaan seseorang bisa terbaca sehingga bisa menebak karakter, hobi, atau yang ihwal lain yang menyangkut individu. Dan, digitalisasi yang bisa membuat ini semua.
Namun, menjadi berbahaya ketika data pribadi yang sudah berada di dunia digital ini dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Parahnya lagi, kumpulan data pribadi yang terekam di dunia digital justru merugikan si pribadinya. Memang, mau tidak mau digitalisasi membuat data pribadi kita terekam.
Ketika kita memiliki akun e-mail, media sosial, mengunduh aplikasi, atau harus mendaftar di sebuah organisasi, maka data pribadi kita menjadi terbuka. Ini sebenarnya untuk mempermudah kegiatan manusia. Namun, ketika penyimpanan data pribadi tersebut menjadi tidak aman, maka bisa menjadi persoalan.
Beberapa kasus telah bermunculan. Salah satunya adalah tiba-tiba sebuah organisasi tertentu (baik nirlaba maupun laba) menghubungi kita untuk mengajak kerja sama. Kita kaget, bagaimana organisasi tersebut mendapatkan alamat e-mail atau bahkan nomor ponsel. Kasus Facebook tahun lalu mengagetkan kita semua karena kebocoran data. Pada Maret 2018 terjadi skandal pelanggaran data besar-besaran yaitu sekitar 87 juta data pribadi pengguna dibagikan tanpa izin ke perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica.
Perusahaan ini mengumpulkan data jutaan akun pengguna Facebook dan media sosial lain untuk memprediksi perilaku pemilih dan memengaruhi pendapat mereka. Memang data ini kebanyakan dari Amerika Serikat.
Lalu, ada modus lain ketika ramai di media sosial tentang FaceApp. Aplikasi ini diduga mempunyai modus untuk mengumpulkan data. Karena dianggap menyenangkan masyarakat dan sekadar mengikuti tren, masyarakat tanpa sadar memberikan data pribadinya. Namun, banyak apps yang memang bertujuan untuk mengumpulkan data seperti ini. Belum lagi di Tanah Air ketika Bank Mandiri bermasalah dengan sistem digitalisasi. Banyak rekening nasabah Bank Mandiri yang tiba-tiba kehilangan uang di rekeningnya atau bahkan bertambah. Kekacauan tak lama ini cukup membuat panik nasabahnya.
Beberapa peristiwa itu membuat tanda tanya tentang keamanan data pribadi. Memang, pemerintah telah membuat UU ITE yang memberikan perlindungan hukum terhadap keamanan data pribadi baik pencegahan dan penindakan. Namun, beberapa kasus di atas membuat kita semua harus waspada terhadap keamanan data pribadi kita masing-masing. Karena ini sudah menyangkut ranah privasi, maka kita semua harus benar-benar waspada. Jika tidak, maka data pribadi kita dengan mudah bisa dimainkan dan yang merugi adalah kita atau setidaknya menguntungkan kepentingan pihak lain.
Memang aparat dan pemerintah harus bisa memberikan tindakan tegas. Namun, sepertinya itu butuh waktu. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan kontrol diri kita. Bak melaju di jalan raya, keamanan kita bergantung kepada perilaku kita di jalan raya. Sebagian besar kecelakaan terjadi justru karena kita tidak waspada sebelum atau saat melaju di jalan raya.
Nah, seperti ketika masuk ke dunia digital, akan lebih baik kita menjadi diri dengan berhati-hati dalam mengeluarkan data pribadi kita. Meskipun ada jaminan keamanan, toh karena sifat inklusif dari digital, penyalahgunaan bisa dengan mudah dilakukan. Bijak dalam mengonsumsi digital akan membuat aman data pribadi kita. Sayang, hal ini belum benar-benar disadari oleh masyarakat kita. Banyak yang hanya memahami digitalisasi dengan platform tanpa mengetahui ciri-ciri lebih dalamnya.
(kri)