Gelar Dialog Peradaban, GMNI Undang Tokoh Militer, Islam dan Nasionalis
A
A
A
JAKARTA - DPP Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menggelar diskusi bertema Dialog Peradaban Bangsa dalam bingkai Nasionalis, Islam dan TNI: Siapa Berani Melahirkan Republik Harus Berani Mengawalnya, di Kantor DPP PA GMNI, Cikini, Menteng, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Diskusi menghadirkan narasumber Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga wakil Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Helmy Faishal Zaini dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.Dialog dibuka langsung oleh Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah.
Basarah mengakui sengaja menghadirkan tiga narasumber tersebut karena dianggap mewakili spektrum kebangsaan dan memiliki kontribusi lahirnya bangsa Indonesia.
Menurut dia, kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran yang dilakukan kalangan nasionalis, Islam dan juga TNI.
Namun, lanjut Basarah, akhir-akhir ini ada pihak-pihak yang ingin mempertentangkan agama dan negara."Muncul pertentangan relasi agama dan negara, NKRI dengan bentuk negara yang lain. Dalam situasi ini, sebuah bangsa yang kita inginkan sudah diproklamirkan terus lestari," tutur Basarah dalam sambutannya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan TNI tidak lahir secara ujug-ujug melainkan melalui proses panjang.Mantan Panglima TNI itu mengatakan, sebelum disahkan menjadi TNI oleh Bung Karno, para prajurit ikut berjuang melawan penjajah dalam wadah bernama Tentara Rakyat.
Menurut Moeldoko, sejak awal TNI bersama kalangan nasionalis dan agama bagaikan tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan mengawal berdirinya Republik Indonesia.Peran ini, katanya, semakin harmonis hingga sekarang. "Apakah tiga-tiganya eksis? Tidak perlu diragukan kalau bicara Islam, jelas perjuangan bagian dari iman. Kalau kita lihat kelompok nasionalis, kalau tidak ada nasionalis ambruk. Posisi nasionalis ini bisa bertahan dari tarikan kanan kiri," tutur Moeldoko.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyampaikan, Indonesia rumah untuk semua golongan dengan menempatkan Pancasila sebagai konsensus yang final.Jika dikaitkan dengan peradaban, kata dia, "tarikannya" terletak pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Menurut Mu'ti, Muhammadiyah bertanggung jawab terhadap itu semua. "Muhammadiyah bertanggung jawab sejak awal Pancasila milik kita bersama. Dalam rumusan Muktamar Muhammadiyah Darul Ahdi Wassahadah," kata Mu'ti.
"Konsensus segala bangsa harus hadir di dalamnya memberi makna kehadiran kita kemudian memberi kontribusi negara yang sesuai cita-cita bangsa alinea keempat pembukaan UUD 1945 ikut mencerdaskan kehidupan bangsa," lanjutnya.
Sekjen PBNU Helmy Faishal menyitir ucapan tokoh pergerakan Bung Tomo yang menyebut sebelum republik ini lahir atau sebelum pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah, pondok pesantren dianggap menjadi sumber pengetahuan masyarakat.
Bagi NU, sambung dia, politik adalah membangun keadilan dan kesejahteraan yang ujungnya kemaslahatan masyarakat.
"Kebijakan seorang pemimpin itu terkait langsung dengan kemaslahatan. Siapa pun jadi pemimpin sepanjang lahirnya kemaslahatan di masyarakat, kita dukung. Kita semua bersyukur meskipun suasana memanas Jokowi-Prabowo telah menunjukkan kelas kenegarawanannya dengan memberikan pendidikan politik," ucapnya.
Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberikan pandangan yang progresif tentang peradaban bangsa.Kalangan nasionalis dikatakannya sangat membutuhkan TNI, NU, Muhammadiyah dan lembaga atau organisasi keagamaan lainya.
Hasto menilai kontestasi Pemilu 2019 telah berlangsung dengan penuh demokratis. Jokowi-KH Ma'ruf Amin yang akan dilantik menjadi presiden-wakil presiden merupakan pemimpinseluruh rakyat Indonesia, bukan satu golongan.
"Kami berpendapat akar pembentuk republik ini harus kerja sana yang sinergis bagaimana yang disampaikan Bung Mu'ti dan Bung Faisal. Dengan demikian, ketika saat ini bicara nama-nama menteri bahwa menjadi menteri bukan ambisi orang per orang," ungkap Hasto.
Menurut Hasto, seorang calon menteri harus memahami berdirinya bangsa. Dengan demikian kepemimpinannya laksana mataharinya untuk rakyat jelata.
"Bung Karno belajar dari Muhammadiyah dan NU. Kita juga belajar dari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini selama sebuah ideologi Pancasila. Mengawal republik yang melahirkan lepas kepentingan pembentukan kabinet yang akan datang. Sebuah gotong royong nasional betul-betul tercermin," tutur Hasto.
Diskusi menghadirkan narasumber Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga wakil Ketua Dewan Pertimbangan PA GMNI, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Helmy Faishal Zaini dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.Dialog dibuka langsung oleh Ketua Umum PA GMNI Ahmad Basarah.
Basarah mengakui sengaja menghadirkan tiga narasumber tersebut karena dianggap mewakili spektrum kebangsaan dan memiliki kontribusi lahirnya bangsa Indonesia.
Menurut dia, kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran yang dilakukan kalangan nasionalis, Islam dan juga TNI.
Namun, lanjut Basarah, akhir-akhir ini ada pihak-pihak yang ingin mempertentangkan agama dan negara."Muncul pertentangan relasi agama dan negara, NKRI dengan bentuk negara yang lain. Dalam situasi ini, sebuah bangsa yang kita inginkan sudah diproklamirkan terus lestari," tutur Basarah dalam sambutannya.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan TNI tidak lahir secara ujug-ujug melainkan melalui proses panjang.Mantan Panglima TNI itu mengatakan, sebelum disahkan menjadi TNI oleh Bung Karno, para prajurit ikut berjuang melawan penjajah dalam wadah bernama Tentara Rakyat.
Menurut Moeldoko, sejak awal TNI bersama kalangan nasionalis dan agama bagaikan tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan mengawal berdirinya Republik Indonesia.Peran ini, katanya, semakin harmonis hingga sekarang. "Apakah tiga-tiganya eksis? Tidak perlu diragukan kalau bicara Islam, jelas perjuangan bagian dari iman. Kalau kita lihat kelompok nasionalis, kalau tidak ada nasionalis ambruk. Posisi nasionalis ini bisa bertahan dari tarikan kanan kiri," tutur Moeldoko.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyampaikan, Indonesia rumah untuk semua golongan dengan menempatkan Pancasila sebagai konsensus yang final.Jika dikaitkan dengan peradaban, kata dia, "tarikannya" terletak pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Menurut Mu'ti, Muhammadiyah bertanggung jawab terhadap itu semua. "Muhammadiyah bertanggung jawab sejak awal Pancasila milik kita bersama. Dalam rumusan Muktamar Muhammadiyah Darul Ahdi Wassahadah," kata Mu'ti.
"Konsensus segala bangsa harus hadir di dalamnya memberi makna kehadiran kita kemudian memberi kontribusi negara yang sesuai cita-cita bangsa alinea keempat pembukaan UUD 1945 ikut mencerdaskan kehidupan bangsa," lanjutnya.
Sekjen PBNU Helmy Faishal menyitir ucapan tokoh pergerakan Bung Tomo yang menyebut sebelum republik ini lahir atau sebelum pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah, pondok pesantren dianggap menjadi sumber pengetahuan masyarakat.
Bagi NU, sambung dia, politik adalah membangun keadilan dan kesejahteraan yang ujungnya kemaslahatan masyarakat.
"Kebijakan seorang pemimpin itu terkait langsung dengan kemaslahatan. Siapa pun jadi pemimpin sepanjang lahirnya kemaslahatan di masyarakat, kita dukung. Kita semua bersyukur meskipun suasana memanas Jokowi-Prabowo telah menunjukkan kelas kenegarawanannya dengan memberikan pendidikan politik," ucapnya.
Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberikan pandangan yang progresif tentang peradaban bangsa.Kalangan nasionalis dikatakannya sangat membutuhkan TNI, NU, Muhammadiyah dan lembaga atau organisasi keagamaan lainya.
Hasto menilai kontestasi Pemilu 2019 telah berlangsung dengan penuh demokratis. Jokowi-KH Ma'ruf Amin yang akan dilantik menjadi presiden-wakil presiden merupakan pemimpinseluruh rakyat Indonesia, bukan satu golongan.
"Kami berpendapat akar pembentuk republik ini harus kerja sana yang sinergis bagaimana yang disampaikan Bung Mu'ti dan Bung Faisal. Dengan demikian, ketika saat ini bicara nama-nama menteri bahwa menjadi menteri bukan ambisi orang per orang," ungkap Hasto.
Menurut Hasto, seorang calon menteri harus memahami berdirinya bangsa. Dengan demikian kepemimpinannya laksana mataharinya untuk rakyat jelata.
"Bung Karno belajar dari Muhammadiyah dan NU. Kita juga belajar dari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini selama sebuah ideologi Pancasila. Mengawal republik yang melahirkan lepas kepentingan pembentukan kabinet yang akan datang. Sebuah gotong royong nasional betul-betul tercermin," tutur Hasto.
(dam)