Respons Putusan MA Soal Karhutla, Kementerian LHK Ajukan PK

Sabtu, 20 Juli 2019 - 18:01 WIB
Respons Putusan MA Soal...
Respons Putusan MA Soal Karhutla, Kementerian LHK Ajukan PK
A A A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menghormati setiap proses hukum, demikian pula dengan langkah Peninjauan Kembali atau PK yang akan dilakukan.

Hal itu dikatakan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait vonis bersalah kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pada pemerintah.

Menurut Siti, PK yang akan dilakukan merupakan upaya mempertegas bahwa pemerintah sudah melakukan banyak perubahan menangani Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pascakejadian 2015.

"PK yang akan kita ajukan berdasarkan data dan fakta bahwa Pemerintah dalam empat tahun terakhir telah melakukan langkah dan terobosan besar yang hasilnya dirasakan sekarang, Karhutla snagat menurun dan takl ada lagi asap yang melintas ke negara tetangga," kata Siti Nurbaya, Sabtu (20/7/2019).

Sebelumnya Jubir MA Andi Samsan Ngaro mengatakan di Kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (19/7). Bahwa MA menolak permohonan kasasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dkk berkaitan dengan kasus kebakaran hutan di Kalimantan.

MA menilai, alasan-alasan permohon kasasi Presiden Jokowi tidak dapat dibenarkan. Menteri Siti Nurbaya secara gamblang menjelakan awal mula sejarah gugatan tersebut. Gugatan tersebut dilandasi kejadian Karhutla tahun 2015.

Peristiwa yang menghanguskan sekitar 2,6 juta ha lahan dan hutan itu, terjadi belum setahun Presiden Jokowi dilantik, tepatnya mulai 6 September 2015. Karhutla sebelumnya sudah rutin masif terjadi selama puluhan tahun.

"Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan. Tapi sayangnya memang tidak tertolong, titik api sudah membesar di 2015," ucapnya.

"Karena baru menjabat, tentu kami semua harus pelajari penyebabnya, ada apa nih begini? Kenapa? Di mana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu-dulu, dan Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu," sambung Siti.

Menteri Siti menjelaskan, Karhutla dulunya disebabkan persoalan berlapis di tingkat tapak. Mulai dari lemahnya regulasi, sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.

Kata dia, ada konsensi buka lahan pakai kontraktor dengan menyuruh rakyat untuk bakar, setelah itu mereka lari. Itu memang terjadi dan terus terjadi berulang.

"Dulu penegakkan hukumnya lemah sekali, tata kelola lahannya kacau, ada korporasi besar tapi tak punya peralatan pemadaman, penetapan status yang lamban karena kepemimpinan di daerah lemah, alih fungsi lahan yang bermasalah, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lainnya," ujarnya.

"Jadi saat peristiwa Karhutla 2015 itu, memang luar biasa kita menabung ilmu masalahnya. Instruksi Presiden Jokowi jelas yakni perbaiki, benahi, jangan ada kejadian Karhutla lagi. Apalagi sampai terjadi asap lintas batas ke negara tetangga," tambahnya.

Lebih jauh Menteri Siti menjelaskan, dalam waktu relatif singkat pasca Karhutla 2015, di bawah Instruksi Presiden Jokowi, dikeluarkan berbagai kebijakan dan langkah koreksi besar-besaran untuk pengendalian Karhutla.

Di antaranya dengan keluarnya Instruksi Presiden nomor 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, Inpres 8/2018 tentang moratorium izin, PP 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Sementara di KLHK, dikeluarkan kebijakan krusial seperti Peraturan Menteri LHK nomor 32/2016 tentang pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat Karhutla, dan berbagai kebijakan tekhnis lainnya.

Jadi kata Menteri Siti, paradigma menangani Karhutla berubah total. Kalau sebelumnya api sudah besar saja belum tentu Pemda-nya bereaksi. Pemerintah pusat juga tidak dapat membantu karena harus menunggu status dahulu dan harus menunggu api besar, baru dipadamkan, itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang.

"Kalau sekarang kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir. Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholders, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1477 seconds (0.1#10.140)